Setelah menaklukan dunia mode internasional, Xanara kembali ke tanah air. Bukan karena rindu tapi karena ekspansi bisnis. Tapi pulang kadang lebih rumit dari pergi. Apalagi saat ia bertemu dengan seorang pria yang memesankan jas untuk pernikahannya yang akhirnya tak pernah terjadi. Tunangannya berselingkuh. Hatinya remuk. Dan perlahan, Xanara lah yang menjahit ulang kepercayaannya. Cinta memang tidak pernah dijahit rapi. Tapi mungkin, untuk pertama kalinya Xanara siap memakainya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yayalifeupdate, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan Yang Terlalu Lama
Rey bersandar santai di sofa ruang tamu butik, kaki terentang, seolah tempat itu miliknya. Pandangannya mengikuti setiap gerakan Xanara, dari langkahnya yang luwes hingga jemari rampingnya yang sibuk memilah kain. Ada intensitas aneh di sana—bukan sekadar kagum, tapi seperti predator yang sedang mengukur jarak ke mangsanya.
“Gak pernah bosan lihat kamu jalan mondar-mandir,” ucapnya Rey dengan nada suaranya berat, rendah, dan nyaris terdengar seperti gumaman di telinga Xanara.
Xanara melirik sekilas, bibirnya melengkung tipis.
“Kalau bosan, pintu di sana,” balasnya tanpa berhenti bekerja.
Suaranya tenang, tapi ada sedikit ketegangan di baliknya—ia menyadari tatapan Rey yang tak pernah lepas dari tubuhnya.
Rey berdiri, langkahnya pelan namun pasti, mendekat. Ia berhenti di belakang Xanara, cukup dekat hingga aroma parfumnya bercampur dengan wangi tubuhnya.
“Aku lebih suka pintu yang mengarah ke kamu,” bisiknya Rey nyaris menyentuh daun telinganya.
Xanara menegakkan tubuhnya, menoleh sedikit, menatapnya dengan sorot tajam.
“Jangan main api, Rey. Aku bukan orang yang bisa kamu perlakukan sembarangan.”
Tapi Rey tidak mundur. Jemarinya menyusuri meja, lalu berhenti tepat di samping tangan Xanara, dengan jarak hanya beberapa sentimeter.
“Kamu pikir aku nggak bisa bikin kamu jatuh juga?” ucapnya, matanya menelusuri wajah Xanara dengan intens.
Xanara menarik napas panjang, lalu melangkah mundur satu langkah, menjaga jarak.
“Kalau itu impianmu, sebaiknya bangun sekarang. Karena aku bukan hadiah hiburan dari drama hidup kamu,” ujarnya tajam, lalu berbalik meninggalkan Rey.
Namun di belakangnya, Rey hanya tersenyum miring, senyum yang berbahaya, menandakan ia belum selesai.
Langkah sepatu kulit terdengar mendekat dari pintu depan butik. Harvey muncul, kemeja putihnya sedikit tergulung di lengan, wajahnya tampak lelah tapi matanya langsung fokus dan membeku melihat Rey berdiri terlalu dekat dengan Xanara.
“Apa yang kau lakukan di sini, Rey?” suara Harvey datar, tapi ada nada tajam yang tak bisa disamarkan.
Rey meliriknya sambil tersenyum santai.
“Ah, cuma mampir. Ngobrol sama Xanara. Gak salah, kan?” ucapnya, tapi tatapannya kembali ke Xanara dengan sengaja, seolah ingin menunjukkan sesuatu.
Xanara bisa merasakan aura Harvey berubah dingin, tegang, seperti kawat baja yang siap memutus.
“Dia hanya bertanya soal kain,” potong Xanara cepat, meski tahu itu tidak akan menghapus ketegangan di udara.
Harvey melangkah mendekat, posisinya kini berdiri di antara Rey dan Xanara.
“Kalau soal kain, aku rasa aku bisa jadi orang yang lebih tepat untuk membantunya,” ucap Harvey, nadanya penuh sindiran.
Rey tersenyum tipis, tidak mundur sedikit pun.
“Lucu, Harvey. Kamu selalu berpikir semua orang punya niat tersembunyi.”
“Kalau kamu, aku gak perlu berpikir,” balas Harvey tanpa berkedip.
Tatapan keduanya terkunci, udara di ruangan menjadi berat. Xanara menatap mereka bergantian, lalu memutuskan untuk meraih gulungan kain di meja hanya untuk memberi alasan bergerak dan memutus momen itu sebelum berubah menjadi pertarungan fisik.
“Aku punya kerjaan. Kalau kalian mau saling tatap sampai lupa waktu, silakan di luar,” ucap Xanara tajam.
Rey terkekeh pelan, melirik sekali lagi ke arah Xanara sebelum melangkah pergi.
“Sampai ketemu lagi, Xanara.”
Harvey baru menghela napas ketika pintu tertutup. Ia menoleh pada Xanara, sorot matanya masih gelap.
“Kalau dia datang lagi, pastikan aku yang pertama tahu.”
Xanara menatap balik, tidak gentar.
“Kalau kamu mau merasa aman, pastikan kamu percaya sama aku, bukan cuma cemburu buta.”
Ucapan itu membuat Harvey terdiam, tapi ia tahu satu hal Rey bukan ancaman biasa.
Pintu butik sudah tertutup rapat, meninggalkan keheningan yang hanya dipecah oleh napas Harvey yang masih berat. Xanara sedang merapikan kain di meja, pura-pura sibuk.
Namun, Harvey tidak bergerak ke arah pintu atau kursi, ia malah melangkah cepat, berdiri tepat di belakangnya.
“Kamu tahu,” bisik Harvey rendah di telinga Xanara
“Aku gak suka kalau ada pria lain berdiri sedekat itu sama kamu.”
Xanara berhenti, tangannya menggenggam kain lebih erat.
“Kalau aku bilang dia nggak berarti apa-apa, kamu percaya?” tanya Xanara.
Harvey meraih pinggangnya, memutar tubuhnya hingga mereka berhadapan. Tatapannya menusuk, rahangnya mengeras.
“Percaya? Iya. Tapi bukan berarti aku gak mau menghapus bayangan dia dari kepala kamu, sekarang juga.”
Tangan Harvey menekan punggungnya, menarik Xanara hingga tubuh mereka rapat. Napas panasnya menyapu pipinya, dan sebelum sempat membalas, bibirnya sudah ditangkap ciuman yang kasar, penuh rasa memiliki.
Xanara sempat mendorong dada Harvey, tapi genggamannya malah makin kuat.
“Harvey…” suaranya bergetar, antara protes dan menyerah.
“Aku butuh kamu ingat” ucap Harvey di sela napas.
“Kalau cuma aku yang boleh berdiri sedekat ini.”
Ciumannya turun ke rahang, lalu lehernya, membuat lutut Xanara melemah. Harvey mendorongnya pelan hingga punggungnya menempel pada meja kerja, kain yang tadi ia rapikan jatuh berantakan ke lantai.
Suara serak Harvey terdengar di telinganya, “Katakan, kamu milikku, Xanara.”
Xanara menatapnya, bibirnya terbelah oleh napas yang tersengal.
“Aku milikmu”
Senyum puas terukir di bibir Harvey sebelum ia kembali menuntut bibirnya, kali ini lebih dalam, lebih panas, seolah ingin menandai wilayahnya tanpa sisa.
Meja kerja itu sudah tidak lagi menjadi tempat untuk menaruh kain. Harvey menunduk, menangkup wajah Xanara dengan kedua tangannya, ciumannya berubah dari sekadar kasar menjadi berbahaya, dalam, dan memaksa setiap inci bibirnya menyerah.
Tangannya menyusuri pinggang Xanara, mengunci pergerakannya. Satu tarikan lembut tapi tegas, dan Xanara sudah terduduk di tepi meja, rok yang dikenakannya tersingkap tanpa ampun.
“Harvey” suaranya nyaris hanya bisikan, tapi nadanya lebih seperti sebuah undangan daripada larangan.
Harvey menarik napas berat, pandangannya menyapu tubuhnya dari atas sampai bawah.
“Kamu gak ngerti, ya, seberapa gila aku waktu liat Rey berdiri deket kamu.” Tangannya meraih tengkuknya, menariknya ke dalam ciuman lagi, kali ini disertai desahan yang terdengar seperti ancaman dan pengakuan cinta sekaligus.
Bibirnya turun ke leher, menciptakan jejak panas yang akan sulit disembunyikan. Jemarinya menjalar ke pahanya, menggambar lingkaran-lingkaran kecil yang membuat Xanara hampir kehilangan kendali.
Kain jatuh ke lantai satu per satu, suara gesekannya nyaris tenggelam oleh napas mereka yang semakin berat.
Harvey menatap mata Xanara, tatapan itu dalam, penuh rasa memiliki yang mengikat sekaligus membakar.
“Aku mau kamu lupa semua pria selain aku, mulai sekarang.”
Xanara mengangguk pelan, tapi tubuhnya sudah memberi jawaban lebih dulu mendekat, membiarkan setiap sentuhan Harvey meruntuhkan batas terakhirnya.