NovelToon NovelToon
Rumah Hantu Batavia

Rumah Hantu Batavia

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri
Popularitas:437
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.

Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”

Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.

”Dion...”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pembunuh Berantai

Dion meneliti tanggal pengiriman setiap pesan, semuanya dikirim pada tengah malam dengan jarak satu hari antara pesan yang satu dengan yang lain. Pola ini persis sama dengan apa yang dikatakan Tama, sebuah kesesuaian yang justru membuat Dion bergidik ngeri.

’Bagaimana mungkin mayat yang membeku di dalam dinding mampu mengirim pesan secara tepat waktu setiap malam?’

Apakah ini ulah kekuatan gaib? Jika benar pesan-pesan itu dikirim oleh arwah yang kuat, seharusnya para penghuni Apartemen Seroja yang mengusik mayat tersebut sudah lama binasa.

’Ada sesuatu yang janggal.’ Dion mulai menyusun semua petunjuk yang dimiliki, dan sebuah kesimpulan mengerikan terbentuk di benaknya. ’Orang yang mengirim pesan kepada Tama setiap malam bukanlah arwah, melainkan pembunuh tunangannya, serta orang yang bertanggung jawab atas kebakaran besar bertahun-tahun lalu.’

’Dan aku kira… tahu siapa dia,’ Dion berdiri membeku di dalam rumah kayu. Tama selalu dianggap orang gila oleh para penghuni apartemen, dan pemilik penginapan mengejarnya setiap kali berpapasan. Tetapi, ia adalah satu-satunya orang yang muncul malam ini tanpa benar-benar tinggal di apartemen. Meskipun begitu, ia sering berkeliaran di sekitar sana. Itu berarti tempat tinggal aslinya pasti dekat dengan Apartemen Seroja.

Namun ketika Dion berdebat dengan pemilik penginapan soal sewa, orang itu dengan yakin mengatakan tidak ada tempat tinggal lain dalam radius beberapa kilometer. Jika demikian, rumah kayu ini kemungkinan besar adalah tempat tinggal Tama. Tempat ia bersembunyi ketika tidak sibuk menyebarkan selebaran tentang tunangannya yang hilang.

Jika benar demikian, banyak hal menjadi masuk akal. Pria malang yang setiap hari berkeliaran menanyakan tunangannya, bisa jadi sebenarnya adalah pembunuh tunangannya sendiri.

Dion merasa mual menyadari pernah bercakap-cakap dengan ramah dengan seorang pembunuh berdarah dingin, bahkan sempat berempati pada kisah sedihnya. Ia menelan ludah, tubuhnya digelayuti rasa takut.

’Orang gila ini pasti mengalami trauma parah, hingga timbul dorongan untuk mengumpulkan pakaian milik wanita yang sudah meninggal, bahkan menggunakan ponselnya untuk mengirim pesan kepada dirinya sendiri setiap malam. Bisa jadi ada kepribadian lain di dalam dirinya yang mengambil alih ketika ia tertidur.’

Semakin Dion memikirkannya, semakin merasa tidak nyaman. Ia menggenggam ponsel itu erat-erat, ’Ponsel ini memuat sidik jari pelaku, itu bukti penting, dan aku harus menyimpannya baik-baik.’

Namun saat menatap layar, Dion hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sesosok gadis muncul di layar berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun, mengenakan seragam sekolah yang berlumuran darah.

Ia mengusap matanya, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya ilusi. Namun tiba-tiba ia merasakan hawa dingin merayap di leher, seperti ada sesuatu yang menyentuh kulitnya. Dion terlonjak, berbalik seketika.

Udara di dalam rumah kayu seketika membeku, jantung Dion berdegup kencang, nyaris meloncat dari rongga dadanya. Pintu rumah kayu itu terbuka tanpa suara, dan berdiri sekitar dua meter darinya, Tama menatap dengan mata merah menyala. Di tangannya terangkat sebuah kapak yang perlahan ia acungkan ke udara.

Waktu seolah berhenti, keduanya saling menatap, terperangkap dalam ketegangan mematikan.

“Sangat dekat…” suara Tama terdengar jauh berbeda dari sebelumnya, seakan kegilaan yang lama terpendam akhirnya dilepaskan.

Dion tidak menjawab, hanya menggenggam palu lebih kuat, menyadari bahwa arwah yang tadi muncul mungkin telah menyelamatkan hidupnya. Tanpa peringatan itu, kepalanya pasti sudah terpisah dari tubuhnya.

“Sungguh sia-sia,” kata Tama sambil melangkah maju, dan Dion segera mengangkat palunya dengan waspada.

“Tenanglah, kamu sudah melihat isi ponsel itu kan?”

Dion tetap diam, tidak berani lengah, dan tidak tahu apa yang direncanakan pria gila itu.

“Sebenarnya jika kamu memikirkannya, aku tidak benar-benar berbohong padamu.” Senyum dingin menyungging di wajah Tama, sosok lesu yang Dion temui sebelumnya telah lenyap. Kini  berganti dengan seseorang yang tampak bersemangat, seolah ia berhadapan dengan orang lain sama sekali.

“Ketika pertama kali kamu berbicara denganku saat memasuki apartemen, aku sudah mengatakan bahwa tunanganku tersembunyi di dalamnya. Lihatlah… aku tidak berbohong, bukan?”

Ia menggunakan ujung tumpul kapak untuk menarik pakaian yang pernah dipakai tunangannya. “Bagaimanapun juga, akulah yang secara pribadi menyegelnya di dalam dinding.”

Nada bicara Tama kemudian berubah drastis, emosinya memuncak seakan-akan peristiwa traumatis kembali menghantui. Dengan gerakan kasar, ia membelah pakaian itu menjadi dua bagian menggunakan kapak. “Aku tidak melakukan kesalahan apa pun! Dialah yang bersalah. Dia ingin pergi, jadi apa yang bisa kulakukan selain berusaha sekuat tenaga agar tetap berada di sisiku?”

Tama berdiri di depan pintu, menghalangi jalan keluar sambil menggoyangkan kapak di tangannya. Tatapannya melekat pada kain yang kini terbelah, dengan suara bergetar ia melanjutkan, “Aku tidak ingin melakukannya… kamu mengerti kan? Aku tidak bermaksud begitu…”

Tapi apa pun alasan yang diucapkan, satu hal tetap tidak terbantahkan, Tama telah membunuh lebih dari satu orang. Dion tidak memberi ruang pada penjelasan itu, dan menggenggam erat palu di tangannya, lalu menyelipkan ponsel milik wanita malang itu ke saku. Pandangannya tertuju pada pintu, berusaha menemukan celah untuk melarikan diri.

“Aku adalah sosok yang dibenci, semua orang di sekitarku selalu mengatakannya. Tidak, bahkan jika mereka tidak mengucapkannya, aku tahu itulah yang mereka pikirkan. Aku bisa merasakannya!” Tama berbicara dengan nada kacau, seolah-olah akalnya telah runtuh. Pikiran dan jiwanya terjebak dalam pusaran gelap, bagaikan seseorang yang tersesat di dalam labirin batin tanpa jalan keluar.

Sementara Tama terus bergumam, Dion perlahan menyesuaikan posisinya. Ia membayangkan berbagai skenario pelarian, termasuk upaya untuk mengalihkan perhatian orang gila itu. Namun setiap rencana ia gugurkan, rumah kayu ini terlalu sempit untuk siasat semacam itu.

Suara Tama semakin meninggi, melengking dan pecah, tanda nyata sedang berada di ambang kehancuran.

Dion sadar, semakin lama menunggu, semakin besar pula risiko bagi dirinya. Ia harus segera bertindak, tubuhnya menegang, dan otot-ototnya bersiap. Kapak di tangan Tama berayun liar, mengancam setiap inci ruang, dan pada saat itulah Dion melihat celah. Ia mengerahkan seluruh keberaniannya, lalu menerjang Tama dengan kekuatan penuh!

Seperti kelinci terpojok yang melawan, langkah Dion kali ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambil dalam dua puluh tahun terakhir. Menghadapi pembunuh berantai, ia justru bertindak lebih nekat daripada lawannya.

Dalam kegelapan ruangan, reaksi Tama sedikit lebih lambat. Ia tidak mampu menghindari hantaman palu Dion yang melayang tepat ke arah kepalanya.

Bang!

Benturan keras terdengar, palu itu menghantam kulit dan tengkorak. Dion merasakan sesuatu yang hangat dan lengket melekat di tangannya, tapi tidak berhenti. Dengan cepat, ia meluncurkan tendangan keras ke perut Tama. Pria itu terhuyung, membungkuk kesakitan, memberi kesempatan bagi Dion untuk melarikan diri keluar pintu!

Tanpa menoleh ke belakang, Dion berlari menembus gelapnya hutan. Kali ini ia berhasil menangkap arah pelarian dengan jelas. Pepohonan mulai jarang, tanah semakin rata. Tetapi ia sadar, bahaya masih membuntutinya. Cahaya bergetar dari belakang, disertai suara ranting patah, menandakan Tama masih mengejar.

Dion tidak berani memperlambat langkah, bahkan untuk sekadar menarik napas dalam-dalam. Barulah ketika ia melihat jalan berlapis semen, suara di belakangnya perlahan meredup.

“Orang-orang itu seharusnya sudah pergi…” gumamnya sambil berlari menyusuri jalan.

Beberapa ratus meter kemudian, suara sirene polisi terdengar jelas. Di kejauhan, lampu mobil tampak mendekat.

“Aku selamat!” Dion berteriak, melompat-lompat di tengah jalan. “Aku yang menelepon polisi! Aku menangkap pembunuh yang beraksi empat tahun lalu!”

1
Gita
Membuat penasaran dan menegangkan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!