"Biar saya yang menikahi Dira, Om."
"Apa? Gak bisa! Aku gak mau!"
***
Niat hati menerima dan bertunangan dengan Adnan adalah untuk membuat hati sang mantan panas, Indira malah mengalami nasib nahas. Menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari, Adnan malah kedapatan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Rada—mantan kekasihnya, datang menawarkan diri untuk menjadi pengganti Adnan. Indira jelas menolak keras karena masih memiliki dendam, tetapi kedua orang tuanya malah mendukung sang mantan.
Apa yang harus Indira lakukan? Lantas, apa yang akan terjadi jika ia dan Rada benar-benar menjadi pasangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deshika Widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa?
"Itu mobil Rada?" gumam Revan pelan sembari terus menatap ke arah mobil hitam yang baru saja keluar dari area parkir kantor Nuswantara.
Ia baru saja turun dari lift dan berniat menuju basement untuk mengambil mobil ketika pandangannya sempat menangkap sekilas sosok Rada di balik kemudi. Namun, belum sempat ia memastikan, mobil itu sudah keburu melaju ke luar.
Tanpa pikir panjang, Revan bergegas masuk ke dalam mobilnya dan mulai mengikuti arah mobil hitam itu melaju. Ia tidak peduli akan terlihat mencurigakan atau tidak. Yang ada di kepalanya hanya satu, mencari tahu siapa Rada sebenarnya.
Jujur saja, sejak awal Rada masuk sebagai staf baru di Nuswantara, Revan tidak terlalu peduli. Namun, rasa penasarannya tiba-tiba timbul ketika siang tadi melihat Indira lebih memilih makan siang bersama pria itu daripada bersamanya. Padahal, Revan sangat yakin jika ia yang mengajak Indira lebih dulu.
Tadi saat jam istirahat tiba, Indira tiba-tiba menemuinya di depan ruangan.
"Dira? Kamu nunggu saya?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.
Wanita cantik itu balas tersenyum tipis sembari melirik sejenak pada Rumi yang berdiri di sampingnya. Kemudian, kembali membawa tatapan pada Revan.
"Emh ... sebenernya saya mau bicara, Pak."
"Kenapa gak sekalian ketika makan siang? Ayo, kita pergi se—"
"Maaf, Pak Revan." Indira memotong cepat ucapan pria di depannya. "Saya ke sini mau bilang kalau ... saya gak bisa makan siang sama Bapak."
Seketika kening Revan berkerut. Ada perasaan kecewa yang menyelusup di hatinya karena pembatalan sepihak dari Indira.
"Kenapa, Dira?"
"Mungkin lain kali, ya, Pak. Siang ini saya gak bisa."
Wanita itu seolah sengaja tak mau memberi alasan yang spesifik. Meski begitu, Revan tidak bisa memaksa dan membiarkan Indira pergi dengan Rumi.
Sudah belasan menit Revan terus membuntuti mobil Rada dari jarak yang cukup aman. Matanya tak lepas dari lampu belakang mobil yang menjadi target. Setiap belokan, putaran, Revan selalu sigap mengikutinya.
"Siapa kamu sebenarnya, Rada? Apa hubunganmu dengan Dira?" gumamnya.
Laju mobil Revan melambat kala mobil Rada berhenti di depan sebuah toko buah yang cukup ramai. Ia pun segera menepi, memarkir mobilnya di pinggir jalan.
Rada tampak keluar dari mobil. Hanya sendirian.
"Apa dia memang sendiri? Tapi, ke mana Indira?" Pasalnya, tadi ada seorang staf yang mengatakan jika Indira terlihat masuk ke dalam mobil Rada.
Mata Revan makin menyipit, mencoba menangkap setiap detail gerak-gerik pria itu. Rada tampak masuk ke dalam toko, lalu keluar beberapa menit kemudian dengan kantong belanjaan berisi buah-buahan.
Begitu Rada kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan, Revan pun buru-buru menyalakan mesin dan kembali mengikuti. Ia tak peduli bahwa sekarang jam pulang kantor dan jalanan mulai padat yang bisa menyebabkan ia terjebak dalam kemacetan.
Setelah beberapa waktu, mobil Rada akhirnya berhenti di sebuah kompleks perumahan yang cukup elit. Revan memilih berhenti beberapa puluh meter dari rumah yang dituju. Ia mematikan mesin dan turun perlahan. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara saat menyusuri jalan sambil sesekali melirik ke arah rumah yang kini jadi sasaran.
Pagar rumah itu terbuka otomatis, lalu Rada masuk dengan mobilnya. Setelah memarkir mobil hitam itu di garasi, Rada turun sambil membawa kantong buah tadi.
Revan masih mengamati dari balik pohon di seberang jalan. Tak ada siapa pun yang ikut turun dari mobil Rada. Lagi, tak ada yang menyambut pria itu dari dalam rumah.
"Jadi ... ternyata Indira gak bareng sama dia?"
***
Indira membuka pintu mobil perlahan setelah memastikan mobil Revan benar-benar menjauh. Nafasnya sedikit berat, seperti baru saja melewati sebuah drama menegangkan. Ia keluar dengan cepat, lalu menyusul Rada yang sejak tadi sudah lebih dulu masuk rumah.
"Pak Revan udah pergi," ucapnya pada sang suami.
Rada menoleh cepat. Matanya masih menyisakan emosi yang belum mereda. "Sebegitu terobsesinya, ya, dia sama kamu?"
"Yaa ampun, Rad ... udah, dong. Aku juga gak ngerti kenapa dia bisa ngikutin mobil kamu." Indira jadi pusing juga lama-lama. Apalagi sejak tadi Rada terus marah-marah karena cemburu buta.
Huh, lagipula Revan ada-ada saja. Untuk apa sampai mengikuti mobil Rada segala?
Embusan napas berat terdengar keluar dari bibir Rada. Pria tampan itu memijat pelipisnya pelan. Ia benar-benar dibuat jengkel oleh aksi Revan yang menurutnya sudah keterlaluan.
"Kita harus lebih hati-hati lagi sekarang," gumamnya yang diangguki oleh Indira.
"Kita pikirin nanti. Aku masuk kamar dulu."
Rada hanya mengangguk, membiarkan sang istri masuk ke kamar. Sementara ia masih menyandarkan punggung di sofa sembari berusaha menghilangkan rasa kesalnya pada Revan.
"Revan sialan!"
Sementara itu, Indira langsung menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang begitu tiba di kamar.
Huft!
"Untung aja tadi aku sempet lihat mobil Pak Revan. Kalau enggak ...." Sudah pasti ia dan Rada akan tertangkap basah.
Semua berawal dari Indira yang tak sengaja melihat mobil Revan mengikuti mereka di belakang.
"Rad ... Rad, itu mobil Pak Revan," ucapnya cepat dengan ekspresi panik.
Rada melirik kaca spion tengah. Benar saja. Mobil Revan berada tepat di belakang mobilnya.
"Sialan! Mau apa, sih, dia?"
"Kayaknya ... dia mulai curiga sama kita. Duh, gimana ini?" Indira benar-benar panik. Beberapa kali ia melirik ke belakang, dan mobil Revan masih tetap membuntuti dengan santai.
"Gak ada pilihan, Sayang. Biar aku turun dan kasih pelajaran sama dia!"
"Jangan!" Indira langsung meletakkan tangannya di atas paha Rada, mencoba menenangkan. "Aku gak mau kamu sampai ribut sama dia."
"Tapi dia berani ngikutin kita. Ini udah ganggu privasi, Sayang."
Yang dikatakan Rada memang benar. Namun, membiarkan pria itu turun dan ribut dengan sang atasan bukanlah hal yang benar. Hingga setelah beberapa saat berpikir, ia berhasil menemukan cara lain.
"Kamu tenang aja. Aku punya ide," cetusnya.
"Ide apa?"
"Kamu turun aja di toko buah langganan kita. Beli sesuatu terus masuk mobil lagi seolah kamu emang sendirian. Aku yakin, dia pasti berharap aku keluar di saat itu."
Pria itu terdiam sesaat sebelum kemudian mengangguk pelan.
Akan tetapi, ternyata rencana itu tak berhasil membuat rasa penasaran Revan hilang. Alhasil, Rada dan Indira harus kembali bersandiwara.
Rada sengaja masuk rumah lebih dulu, membiarkan sang istri menunggu di dalam mobil hingga Revan benar-benar pergi.
"Aku pergi dulu, Sayang."
Lamunan Indira seketika buyar mendengar suara Rada. Namun, tunggu! Pria itu mau ke mana?
"Kamu mau ke mana?" tanyanya sembari menatap sang suami yang ternyata sudah mandi.
Huh, entah ia melamun selama apa tadi.
"Ada urusan," jawab Rada singkat. Kini ia sudah siap dengan outfit casual yang melekat di tubuhnya.
"Ke mana?" tanya Indira lagi. Ia belum puas dengan jawaban sang suami.
Akan tetapi, Rada memilih bungkam. Pria itu berjalan keluar kamar. Namun, sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Indira, ia sempatkan untuk berkata, "Jangan tunggu aku pulang. Kamu makan dan tidur duluan."
Deg.
Sungguh perkataan itu membuat Indira tak nyaman. Untuk apa Rada pergi selama itu? Apa sengaja untuk menghindarinya? Tapi ... kenapa?
mumet ini pasti rada udah kerjaan belum dapet, kek nya mau nambah anggota baru ke
selamat ya dir mau jd ibu
ayo thor ksh rada anak😀😅