NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 26

Hari-hari di rumah baru terasa sangat berbeda. Tak ada lagi jeritan, tak ada teriakan minta tolong dari balik dinding yang dingin. Rumah itu tenang. Damai. Hanya ada hembusan angin yang berdesir lembut dari celah jendela dan kicau burung yang merdu setiap pagi.

Penjagaan? Nyaris tak ada. Tak seperti rumah lama mereka yang dipenuhi kamera pengawas dan pria-pria bertubuh kekar bersenjata di setiap sudut, rumah ini hanya dijaga satu orang: Juno.

Satu pelayan muda dari rumah lama juga ikut diboyong untuk membantu kebutuhan Dewi. Rafael tak ingin Dewi kelelahan. Ia tahu benar, kelelahan bisa berdampak buruk pada janin yang kini tumbuh di perut istrinya.

Setiap pagi Rafael pergi, dan kembali ketika matahari tenggelam atau bahkan malam menjelang. Dan setiap kepergiannya selalu sama. selalu dengan pesan singkat pada Juno dan sentuhan lembut pada Dewi.

Pagi ini, matahari belum terlalu tinggi ketika Rafael bersiap-siap pergi. Ia mengenakan jas hitam, rambutnya disisir rapi ke belakang, wajahnya serius namun tetap menyisakan kelembutan ketika menatap Dewi yang duduk di sofa dengan tangan mengelus perutnya yang mulai membesar.

“Aku akan keluar sebentar. Ada urusan yang harus kuselesaikan,” ucap Rafael sambil menghampiri Dewi.

Dewi mendongak, menatapnya.

“Urusan seperti apa, Rafael?” suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.

Rafael tidak langsung menjawab. Ia menunduk, mengusap perut Dewi dengan telapak tangannya yang hangat.

“Kau harus banyak istirahat. Jangan terlalu sering berdiri.”

“Rafael...” Dewi menghela napas.

“Kau tahu aku tak akan tenang kalau kau terus melakukan hal yang... sama. Kau tahu maksudku.”

Rafael menatapnya sejenak, lalu tersenyum miris. “Dunia kita tak sesederhana itu, sayang. Ada orang-orang yang harus diberi pelajaran. Jika aku diam, mereka akan datang padamu. Padaku. Pada anak kita.”

“Tapi kau bisa melindungi kami tanpa harus... menumpahkan darah.”

Suara Dewi bergetar sedikit. Ia tahu, Rafael tak pernah benar-benar berhenti. Meski tangannya kini tak kotor, namun tangan anak buahnya yang menggantikan. Dan itu tetap membuat hatinya tak tenang.

Rafael menunduk, mencium keningnya. “Aku akan berhati-hati. Aku janji.”

Janji yang sudah terlalu sering ia dengar.

Saat Rafael beranjak menuju pintu, Juno sudah berdiri di depan, menunggu dengan posisi siap. Pria tampan dan selalu terlihat santai, namun kehadirannya selalu memberi rasa aman sekaligus waspada.

“Juno,” kata Rafael tanpa menoleh.

“Jaga dia. Jangan biarkan siapa pun mendekat.”

Juno hanya mengangguk. “Selalu.”

Ketika Rafael melangkah ke luar, Juno mengikutinya dari belakang. Ia membuka pintu mobil dengan gerakan pelan, nyaris tak bersuara. Rafael masuk ke dalam mobil tanpa bicara lagi, hanya sempat melirik ke arah jendela rumah, tempat Dewi berdiri, mengamati dari balik tirai.

Mobil hitam itu melaju pelan, meninggalkan rumah yang tenggelam dalam kesunyian lagi.

Di dalam rumah, Dewi duduk kembali. Ia menatap ke arah perutnya dan mengelusnya perlahan.

“Papa memang keras kepala, Nak,” gumamnya sambil tersenyum pahit.

“Tapi dia selalu pulang. Selalu kembali.”

Di dapur, pelayan bernama Mia. tengah menyiapkan kopi hangat. Dengan raut wajah yang sulit untuk di jelaskan. Wajah nya menegang, pikirannya melayang jauh entah kemana.

Juno berdiri di beranda, merokok dengan santai sambil memandang langit.

“Rafael terlalu lembut kalau sudah menyangkut perempuan itu,” gumamnya.

Ia tertawa sendiri, lalu membuang puntung rokok ke tempat sampah. Wajahnya kembali datar, tajam. Meski terlihat santai, namun tubuhnya siaga. Tak ada yang bisa mengelabui Juno. Apalagi menyentuh Dewi.

Karena kalau sampai itu terjadi...

Darah akan mengalir. Dan kali ini, tak ada peringatan sebelumnya.

Mia berjalan perlahan menuju beranda, membawa secangkir kopi hangat yang tadi ia buat. Uapnya mengepul, dan aroma pahit bercampur dengan sesuatu yang lebih samar. bau dari bubuk putih halus yang telah ia larutkan diam-diam beberapa menit sebelumnya. Obat tidur dosis tinggi yang diberikan langsung oleh Malik. Tak seorang pun tahu. Tidak Rafael, tidak juga Dewi. Dan tentu saja, tidak Juno.

Ia meletakkannya di meja kecil tak jauh dari tempat Juno berdiri.

Juno melirik cangkir itu, dahinya berkerut.

“Aku tidak memintanya,” katanya dingin, tanpa menoleh.

Mia menunduk sopan, suaranya lirih tapi jelas.

“Maaf, Tuan. Menurut saya... sesekali menikmati secangkir kopi adalah hal yang bagus.”

Juno mengangkat sebelah alis, menatap Mia untuk beberapa detik. Seolah menilai setiap gerak-geriknya. Namun akhirnya ia mengangguk pelan.

“Terima kasih,” ucapnya datar.

Mia segera pergi, melangkah dengan tenang. Tapi dalam ketenangan itu, hatinya menjerit. Tangannya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya. Ia tahu, keputusannya ini bisa menghancurkan segalanya. Tapi demi adiknya... Yang tengah sekarat di rumah sakit.

Beberapa menit berlalu. Juno mengangkat cangkir dan menyesap pelan. Rasanya pahit, tapi ada sesuatu yang berbeda. Lidahnya terasa tebal. Matanya mulai berat.

Ia mengumpat pelan. Menyadari ada yang tidak beres di kopinya.

“Sial...”

Dengan susah payah, ia merogoh saku celananya, mencoba meraih ponsel. Tapi sebelum ia sempat menekan nomor Rafael, tubuhnya tumbang. Matanya terpejam, dan kesadarannya lenyap dalam hitungan detik.

Dari kejauhan, Mia mengintip. Dan dengan tangan gemetar, ia mengirim pesan singkat.

“ aku sudah melakukan apa yang kau perintahkan.”

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah. Tiga pria bertato keluar cepat-cepat. Mereka mengenakan pakaian gelap dan masker kain menutupi wajah sebagian. Langkah mereka pasti dan tanpa suara.

Begitu masuk ke rumah, mereka langsung menemukan Juno tergeletak di lantai dekat beranda.

“Ini dia,” ucap salah satu dari mereka. “Ikat dia. Kencang.”

Pria bertato lainnya mengangguk dan segera mengikat tangan serta kaki Juno dengan tali plastik tebal. Mulutnya pun dibekap dengan lakban hitam.

“Jangan sampai dia bisa ngomong kalau bangun nanti,” kata yang ketiga. “Dia bisa bunuh kita semua kalau Rafael tahu.”

Sementara mereka sibuk dengan Juno, suara langkah pelan terdengar dari arah tangga. Dewi keluar dari kamar, wajahnya bingung.

“Ada apa di bawah? Aku dengar suara ribut…”

Begitu matanya menangkap ketiga pria asing itu, tubuhnya membeku. Wajahnya pucat seketika.

“Siapa kalian?! Apa yang kalian lakukan?! Juno?!”

Dewi menoleh ke sudut ruangan.

“Mia?! Apa yang sedang terjadi?!” tanyanya panik.

Tapi Mia tak menjawab. Ia berdiri mematung di dekat rak, kepalanya tertunduk. Tak sanggup menatap Dewi. Napasnya tersengal. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan maaf. Tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

“Jawab aku, Mia!” jerit Dewi.

“Apa kau...”

Tiba-tiba, salah satu pria bertato bergerak cepat. Ia meraih tangan Dewi dan membekap mulutnya. Dewi berusaha menendang, menggigit, tapi tenaganya kalah jauh.

“Tenang, sayang. Kita cuma mau ajak kau jalan-jalan,” bisik pria itu di telinganya, mengejek.

Dewi mencoba menjerit, tapi suaranya teredam kain yang menutupi mulut. Matanya menatap Mia dengan rasa dikhianati.

Mia gemetar. Air matanya jatuh tanpa suara.

“Maaf... maafkan aku…” bisiknya, hampir tak terdengar.

Dengan cepat, Dewi digotong keluar oleh dua pria. Yang satu lagi menoleh ke Mia.

“Kau tahu yang harus kau lakukan,” katanya tajam. “Pergi. Sekarang.”

Mia mengangguk, tak berani membantah. Ia mengambil tas kecilnya yang sudah ia siapkan sejak pagi dan melangkah keluar melalui pintu belakang, menghilang dari rumah itu. Hatinya penuh luka. Tapi ia tahu, jika ia bertahan, nyawanya akan jadi taruhan. Dan adiknya… ia harus bertahan hidup.

Mobil hitam kembali melaju, kali ini membawa Dewi yang pingsan di dalam, dengan tangan terikat dan mulut dibekap. Tujuan mereka jelas.

Sebuah gudang tua di pinggiran kota. tempat Malik menunggu.

Tempat di mana dendam lama akan dibayar lunas dengan air mata… dan mungkin darah.

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!