“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Kembali Hadir
Di kamar remang itu, Kemala duduk di tepi ranjang. Bahunya turun naik menahan sesak, sementara air matanya tak lagi bisa ia bendung. Di sampingnya, Kevia menggenggam erat tangannya yang dingin.
“Via… maafkan Ibu…” suara Kemala pecah, nyaris berbisik. “Semua ini… semua penderitaan ini… karena Ibu. Kalau bukan karena Ibu, kau dan Ayahmu tak perlu hidup terpenjara, diinjak-injak seperti sekarang. Seharusnya dulu… kalian biarkan Ibu mati saja…”
Kalimat itu membuat dada Kevia sesak. Dengan cepat ia menggeleng, air matanya ikut jatuh, tapi genggamannya semakin kuat.
“Jangan bilang begitu, Bu! Jangan pernah!”
Kemala menunduk, matanya bergetar. Kevia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan isak. Suaranya bergetar, namun ada keteguhan yang tak biasa untuk anak seusianya.
“Ini bukan salah Ibu. Ini keputusan Via… keputusan Ayah juga. Karena kami masih ingin Ibu bersama kami. Meskipun berat, meskipun sakit… Via nggak pernah menyesal. Jadi Ibu jangan salahkan diri sendiri.”
“Via…” suara Kemala nyaris patah.
Kevia menatap lurus ke mata ibunya, meski air mata terus jatuh di pipinya yang muda. “Ibu tadi bilang 'kan… kalau Tuhan nggak pernah tidur? Via percaya itu, Bu. Pasti akan ada saatnya Tuhan kasih kita jalan keluar. Kita cuma harus kuat, sabar, dan terus bersama. Karena kalau Via punya Ibu dan Ayah… itu sudah cukup buat Via. Itu alasan Via bertahan.”
Kemala tertegun, tubuhnya gemetar. Ia tak kuasa menahan perasaan bersalah yang kini bercampur haru. Gadis kecilnya… baru tiga belas tahun, tapi kata-katanya seolah lahir dari jiwa yang telah ditempa luka berkali-kali.
Dengan tangis yang semakin deras, Kemala menarik Kevia ke dalam pelukannya. “Maafkan Ibu… maafkan Ibu, Nak…”
Kevia memeluk balik, pipinya menempel di dada ibunya. “Jangan minta maaf lagi, Bu… Via nggak butuh Ibu minta maaf. Via cuma butuh Ibu janji buat terus bertahan. Demi Via… demi Ayah.”
Suasana kamar itu penuh dengan tangisan lirih, tapi di balik air mata, lahir secercah cahaya kecil. Seorang anak perempuan yang dipaksa dewasa oleh penderitaan, tapi justru menjadi sandaran bagi ibunya.
Kemala menarik napas panjang, menahan dadanya yang terasa sesak. Lidahnya kelu, seolah setiap kata yang ingin keluar tertahan di kerongkongan.
"Sampai kapan aku harus menelan semua hinaan ini? Apa aku memang pantas diperlakukan seperti budak di rumah ini?" pikirnya getir.
Ia menggenggam jemari Kevia erat, seakan dari putrinya itu ia bisa menarik kekuatan untuk tetap berdiri. "Aku tak boleh runtuh… demi Kevia. Jika aku jatuh, siapa lagi yang akan melindunginya dari tatapan kejam itu? Bertahanlah, Kemala… bertahanlah, meski setiap langkah menuju kamar ini terasa seperti berjalan di atas bara."
***
Jam sekolah akhirnya usai. Biasanya Yuni menemaninya berangkat dan pulang dengan berboncengan sepeda, namun hari ini Yuni tidak masuk sekolah. Alhasil, Kevia harus pulang-pergi dengan berjalan kaki seorang diri.
Ia menarik napas panjang sebelum menapaki tangga jembatan penyeberangan yang lengang. Langkah kakinya berat, pikirannya masih berputar dengan semua yang terjadi di rumah. Angin sore berembus, membuat helaian rambutnya beterbangan menutupi wajah.
Setengah jalan, ia menegakkan tubuh, berusaha menenangkan hati. Namun tiba-tiba—
“Sreet!”
Kakinya menginjak sesuatu yang licin. Kulit pisang tergeletak sembarangan di anak tangga.
“Ah!” seru Kevia terperanjat.
Tubuhnya kehilangan keseimbangan. Tangannya berusaha meraih pegangan, tapi jari-jarinya justru melayang di udara. Dunia seperti berputar cepat. Pandangannya kabur, jantungnya seakan terlempar keluar dari dada.
Detik berikutnya, tubuhnya miring, siap terjatuh dari ketinggian. Napasnya tercekat, sebuah jeritan nyaris pecah dari bibirnya—
Gelap.
Tubuh Kevia meluncur ke bawah, tapi sebelum sempat membentur kerasnya aspal, sepasang lengan kuat meraih pinggangnya.
“Tenang,” suara berat itu terdengar tepat di telinganya.
Kevia membelalak, napasnya terengah. Saat ia mendongak, wajah yang familiar menyambut pandangannya. Sosok pria yang pernah menolongnya. Kini kembali hadir, tepat di saat hidupnya nyaris melayang.
Kevia tertegun. Pria itu lagi, dengan wajah yang selalu tersenyum tanpa beban. Senyum yang entah bagaimana bisa membuat dadanya lebih tenang hanya dengan menatapnya.
“Hei, gadis kecil, kamu lagi?” ujarnya tiba-tiba, seraya menjulurkan tangan dan mencolek hidung Kevia.
Kevia sontak tersentak, buru-buru berdiri tegak. Wajahnya panas, memerah begitu saja.
“Te… terima kasih, Om,” ucapnya terbata, menunduk dalam-dalam.
Pria itu terkekeh ringan. “Kemarin hampir ketabrak mobil, sekarang hampir jatuh dari jembatan penyeberangan. Sebenarnya kamu melamun apa sih? Sudah punya pacar? Atau sedang patah hati?” tanyanya dengan nada menggoda.
Kevia cepat-cepat menggeleng, pipinya makin merona.
Pria itu memicingkan mata, lalu pura-pura mengusap dagunya seolah sedang berpikir keras. Detik berikutnya, ia menyunggingkan senyum lebar.
“Ah, Om tahu! Kamu melamun karena nggak punya pacar, ya?”
Kevia menatapnya, terperangah. Pria itu malah terkekeh kecil, lalu mengacak rambut Kevia dengan gemas, seolah mereka bukan orang asing.
“Jangan khawatir,” lanjutnya, “kalau sampai kamu nggak punya pacar juga… ya nikah aja sama Om. Jadi sugar baby Om, gimana?” ujarnya lagi-lagi sambil mencolek hidung Kevia.
Kevia hanya bisa menunduk makin dalam. Malu, bingung, sekaligus anehnya… hatinya hangat.
“Ayo, Om antar pulang. Kalau nggak, bisa-bisa kamu nyasar ke rumah sakit, bukan rumah. Kasihan Ayah Ibumu kalau anak semanis ini harus opname cuma gara-gara kebanyakan melamun.”
Sebelum Kevia sempat memberi jawaban, tangannya sudah diraih pria itu. Hangat. Aneh. Dan entah kenapa, Kevia menurut saja, melangkah di sampingnya.
Pria itu terus berbicara sepanjang jalan, menanyakan hal-hal remeh: sekolah, teman, kegiatan di rumah. Kevia menjawab sekenanya, singkat-singkat. Tapi matanya… lebih sering melirik pria itu diam-diam, seperti mencoba menebak siapa sebenarnya dia.
Tak terasa, mereka berhenti di samping sebuah motor. Pria itu menepuk jok sambil tersenyum lebar.
“Ayo, naik.”
Kevia sempat ragu sepersekian detik, tapi senyumnya keburu muncul. Ia mengangguk pelan, lalu naik tanpa banyak pikir. Dan sebelum diminta pun, tangannya refleks memeluk pinggang pria itu.
Pria itu menoleh sekilas, tersenyum nakal. Kevia buru-buru berpaling, menahan degup jantungnya sendiri.
“Rumahmu masih di tempat kemarin, 'kan?” tanya pria itu sambil melirik sekilas ke arah Kevia, suaranya terdengar di sela deru motor.
“Udah pindah, Om,” sahut Kevia sedikit mengeraskan suara agar terdengar jelas.
Motor itu terus melaju, melewati jalanan padat hingga akhirnya berhenti tak jauh dari gerbang besar rumah Rima, sesuai permintaan Kevia.
Pria itu memiringkan kepala, menatap bangunan megah di depan mereka. “Kenapa minta berhenti di sini? Pintu masuknya ‘kan di depan sana?”
Kevia tersenyum tipis, jelas dipaksakan. “Nggak apa-apa, Om. Sampai sini aja.”
Pria itu menatapnya sejenak, seolah membaca ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum itu. Namun ia tidak bertanya lagi. Pandangannya kembali ke rumah besar itu. “Rumahmu sekarang bagus,” gumamnya ringan.
Kevia cepat menggeleng. “Ini bukan rumah saya, Om. Ini rumah tempat ayah saya bekerja.” Senyumnya terbit lagi, tapi kali ini lebih getir.
Pria itu hanya mengangguk pelan. “Oh, begitu…” ucapnya singkat. Lalu, tanpa banyak kata, ia merogoh dompetnya, menarik selembar uang seratus ribuan, dan menyodorkannya pada Kevia.
Kevia tertegun. “Ini… untuk apa?” tanyanya, kening berkerut.
Pria itu tersenyum, hangat sekaligus jail, lalu menggenggamkan uang itu ke tangan Kevia. “Buat uang jajan. Biar kamu nggak melamun di jalan sampai nyaris celaka lagi. Om nggak mau lihat kamu masuk rumah sakit cuma karena pikiranmu terbang entah ke mana.”
Kevia menunduk, menatap lembaran uang di tangannya, hatinya berdesir aneh. Ada sesuatu dari pria itu. Entah hangat, entah berbahaya, tapi untuk sesaat, ia merasa seperti benar-benar diperhatikan.
Namun sebelum Kevia sempat bereaksi, suara motor meraung, memaksanya mendongak. Pria itu sudah melaju menjauh, hanya menyisakan bayangan punggung dan hembusan angin yang menampar wajahnya.
"Eh! Uang ini… Om!" teriak Kevia, tapi satu-satunya balasan hanyalah lambaian tangan santai dan seulas senyum samar yang sempat ia lihat lewat kaca spion.
"Akkh… kenapa aku selalu lupa menanyakan siapa namanya?" gerutunya, menepuk kening sendiri dengan jengkel.
Tepat saat itu, sebuah suara memecah lamunannya.
"Kevia, apa yang kau lakukan di sini? Uang siapa itu?"
Jantung Kevia langsung terhentak. Seketika jemarinya mengepal di atas lembaran uang itu, seakan benda itu bukan sekadar uang, tapi rahasia yang tak boleh diketahui siapa pun.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....