Kimi Azahra, memiliki keluarga yang lengkap. Orang tua yang sehat, kakak yang baik, juga adek yang cerdas. Ia miliki semuanya.
Namun, nyatanya itu semua belum cukup untuk Kimi. Ada dua hal yang belum bisa ia miliki. Perhatian dan kasih sayang.
Bersamaan dengan itu, Kimi bertemu dengan Ehsan. Lelaki religius yang membawa perubahan dalam diri Kimi.
Sehingga Kimi merasa begitu percaya akan cinta Tuhannya. Tetapi, semuanya tidak pernah sempurna. Ehsan justru mencintai perempuan lain. Padahal Kimi selalu menyebut nama lelaki itu disetiap doanya, berharap agar Tuhan mau menyatukan ia dan lelaki yang dicintainya.
Belum cukup dengan itu, ternyata Kimi harus menjalankan pernikahan dengan lelaki yang jauh dari ingin nya. Menjatuhkan Kimi sedemikian hebat, mengubur semua rasa harap yang sebelumnya begitu dasyat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmbunPagi25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Jangan Menunda
Pagi ini adalah hari yang panjang, Kimi bersama Arkan sekarang sedang berada di dalam mobil lelaki itu. Melewati jalan yang terasa sama panjangnya, melewati berbagai bangunan juga semaraknya orang-orang yang juga sama melintasi jalan. Semua orang nampak sibuk dengan semua aktivitas mereka.
Kendati demikian, untuk beberapa saat yang telah Kimi lewati. Untuk sesuatu tentang seorang Arkana Savero. Kimi merasa bahwa ia mulai terbiasa dengan keberadaan Arkan yang akan selalu mengorbit di garis edarnya.
"Mau berhenti, dulu, Dek?" Arkan menoleh sejenak pada Kimi, yang menghadapkan wajahnya pada kaca pintu mobil yang setengah terbuka. Memerhatikan jalan yang telah mereka lewati.
"Engga, Mas. Nanti saja, sekalian sholat dzuhur."
Arkan mengangguk, disaat bersamaan dengan suara dering ponselnya dari saku celana.
Arkan merogoh sakunya, di sana tertera nama Bunda di layar ponselnya.
"Wa'alaikumussalam, Bunda." Jawab Arkan ketika Bunda memberikan salam saat sambungan itu terhubung.
"Sudah, berangkat?" Tanya Bunda di seberang telepon. Di sana terdengar ramai, suara Bunda jadi sedikit sulit didengar.
"Baru berangkat, Bunda. Ini masih di jalan." Arkan merasa sedikit kesulitan memegang ponselnya sambil menyetir. Hanya sebentar saja. Karena setelahnya, tangan mungil dengan kulit putih bersih itu mengambil alih ponsel dari tangannya.
Arkan menoleh sebentar pada pemilik tangan yang sekarang sedang terulur di dekat telinganya. Yang sesekali ujung jari itu tanpa sengaja menyentuh daun telinganya.
"Menantu Bunda, kamu ajak, kan?" Pertanyaan Bunda membuat Arkan sekali lagi menoleh pada Kimi yang menatapnya datar.
Arkan berdeham sebentar lalu tanpa sadar menyentuh tengkuknya dengan sebelah tangan kanannya, untuk suatu yang tidak bisa Arkan mengerti. "Iya, Bunda."
"Yaudah. Hati-hati nyetirnya, yah! Sampaikan salam Bunda pada istrimu, Ar." Lalu sambungan itu terputus setelah Arkan membalas salam Bunda.
Kimi menarik kembali tangannya, lalu menaruh Handphone Arkan di dasboard mobil.
"Apa kata, Bunda?"
"Bunda titip salam ke kamu, Dek." Ucap Arkan mencoba fokus menyetir.
"Wa'alaikumussalam ...." Jawab Kimi pada salam Bunda.
Untuk beberapa saat mobil kembali hening, hingga mobil berhenti di depan halaman Masjid ditepi jalan.
"Kita sholat Dzuhur disini, Dek."
Kimi mengangguk lalu keluar dari mobil, saat mobil sudah terparkir. Kemudian mereka melaksanakan sholat dzuhur berjamaah usai iqamah itu dikumandangkan.
Usai kewajiban mereka terlaksana, Arkan mengajak Kimi untuk sekalian menepi mencari makan siang.
Mereka sekarang duduk di kursi panjang yang berada di dalam warung makan 'Bakso Mak Saly, Anti Galau'. Arkan tidak menduga, diantara tempat makan yang lebih mewah dan mahal, pilihan Kimi justru tertuju pada warung Bakso itu.
"Aku mau makan Bakso, Mas!"
Kata Kimi, saat wanita itu memintanya melimpir ke warung bakso.
Pesanan mereka tiba, dua mangkok bakso urat beserta dua gelas es teh. Juga berbagai cemilan pelengkap berada di atas meja mereka.
Arkan memerhatikan Kimi yang memasukan sedikit cuka, kecap, saos, juga sambal ke dalam mangkoknya. Sesekali mencicipi kuah bakso tersebut lalu kembali menuangkan kecap juga saos sampai racikannya terasa pas dilidahnya.
Juga ekspresi puas Kimi saat menemukan rasa yang pas ketika menyeruput kuah bakso itu.
Semuanya tidak luput dari perhatian Arkan.
"Mas, mau diracikan juga?" Kimi bertanya pada Arkan yang sedari tadi hanya memerhatikannya. Entah sejak kapan lelaki itu jadi sering memerhatikannya.
Namun Kimi menyadari satu hal. Dan hal ini yang pernah ia tanyakan pada dirinya sendiri.
Kimi tidak keberatan sama sekali, ia tidak merasa terganggu saat Arkan menatapnya dalam waktu lama.
Kimi juga tahu, ketika ia belum tertidur sepenuhnya. Arkan menatapnya seraya menopang dagu. Dan, Kimi membiarkannya hingga ia benar-benar tertidur.
"Mau!" Arkan mendorong pelan mangkok baksonya di depan Kimi.
"Pake sambal?"
"Boleh, dikit!"
Kimi mendengkus,"Cemen, dong. Kalah sama punyaku."
Arkan terkekeh saja, melihat mangkok Kimi yang kuahnya terlihat berubah merah.
Kimi belum meracik kuah bakso untuk Arkan, wanita itu justru sibuk menyingkirkan potongan daun Seledri dari mangkok Arkan.
"Loh, Dek. Kenapa?"
Kimi menyendok daun seledri dari mangkok Arkan lalu memindahkannya ke dalam mangkoknya sendiri.
"Mas, kan, ngga suka daun seledri."
Benar. Apa yang Kimi ucapkan barusan itu memang benar adanya. Akan tetapi, dari mana Kimi tahu, kalau ia tidak suka daun seledri?
"Kamu tahu dari mana, Dek?"
"Dari Bunda." Kimi menjawab dengan enteng seraya mendorong kembali mangkok Arkan ke depan lelaki itu, setelah Kimi meracik kuahnya.
Arkan tidak bisa untuk tidak terperangah, bukan pada fakta bahwa Bunda memberitahu Kimi tentang suatu hal yang tidak ia sukai. Melainkan pada kenyataan, bahwa Kimi mengingat hal itu dan mau menyingkirkan hal yang tidak Arkan sukai itu dari mangkoknya dengan tanpa tersisa sedikit pun.
Arkan tidak bisa untuk tidak semringah sekarang, lalu mengulurkan tanganya untuk bisa menyentuh kepala Kimi yang ditutupi hijab itu. Arkan mengelus kepala wanita itu lalu tanganya turun ke bawah, berhenti dipipi kiri, Kimi.
Mengelus pipi itu dengan ibu jarinya. "Makasih, cantik!"
Kimi tidak menyangka jika perjalanan mereka bisa menghabiskan waktu sampai tiga jam lebih. Luar biasa!
Pantas rasanya badannya terasa sakit sekarang, ia juga merasa lelah.
Namun lantas tergantikan saat mobil Arkan terparkir di dalam halaman rumah yang terlihat begitu luas.
Dan Kimi lebih dibuat tertegun lagi, ketika ia keluar dari mobil lalu dapat melihat ramainya orang-orang. Sampai-sampai Kimi mengira acara itu berlangsung hari ini.
"Acaranya disini, Mas?" Kimi bertanya pada Arkan yang berjalan di sampingnya.
"Iya, Dek."
Mata Kimi tertuju pada dekorasi pernikahan yang juga berada dihalaman yang telah disulap menjadi dekorasi yang indah. Para wedding organizer masih menghias area yang akan dijadikan tempat pernikahan dengan menggunakan bunga-bunga segar yang ditata apik, lampu-lampu kecil yang digantung, kain putih sebagai backdrop, serta kursi kayu yang unik berjejer di depan pelaminan yang juga telah disulap.
"Aku pikir digedung, Mas."
Arkan menggeleng, "Warga sini memang punya tradisi, Dek. Jika sedang ada hajatan, maka akan dirayakan ditempat. Pada warga juga bahu-membahu untuk membantu sampai acara selesai."
Kimi manggut-manggut mengerti, pantas saja orang-orang begitu ramai kesana-kemari."Rame, yah!"
Arkan mengangguk. "Kamu tunggu nanti malam, Dek. Orang-orang bakalan lebih rame lagi." Arkan berucap dengan antusias.
"Oh, yah? Ada apa memangnya?" Tanya Kimi dengan penasaran.
"Bakalan ada acara gitu, Dek."
Lalu pembicaraan mereka berhenti disana, saat Arkan membawanya masuk ke dalam rumah yang ternyata luas, sama seperti halamannya.
Lalu Arkan mengajaknya untuk menemui Paman dan Bibi, Arkan. Sebagai tuan rumah. Juga pada kerabat-kerabat yang ternyata banyak sekali.
Kimi bahkan tidak bisa melihat Arkan lagi, karena dirinya yang diseret kesana-kemari oleh Bibi Arkan.
"Siapa, Yun?" Tanya Ibu gempal saat Bibi Yunda yang mengajaknya ke halaman belakang rumah itu, yang ternyata sebagi tempat memasak. Para ibu-ibu banyak berkumpul disana, menyiapkan berbagai masakan.
Bibi merangkul bahunya, "Menantunya Fatma." Lalu Ibu-ibu mulai riuh mengoda Bunda yang ternyata juga ada disana, ikut menyiapkan berbagai hal.
"Cantiknya menantu, mu. Fatma!"
"Putih sekali, yah, istrinya Arkan!"
"Cocok sama Arkan. Cantik dan ganteng."
Ucap Ibu-ibu itu pada Bunda yang hanya tersenyum dan menjawabnya sesekali.
"Jangan nunda, Neng! Langsung saja." Kata ibu dengan rambut pendek ala cowok. Saat Kimi melangkah menghampiri Bunda. Kimi tidak mengerti apa yang dimaksud oleh ibu berambut pendek itu.
"Anak-anak sekarang, mah. Kalau sudah menikah. Lama ... mau punya momongan, ditunda dulu sampai katanya sama-sama siap." Lanjut Ibu itu lagi yang disahuti teman-teman nya.
"Kalau Neng sama Arkan sepakat nunda, kah?" Tanya Ibu yang lain.
Kimi gelagapan. Ia bingung ingin menjawab seperti apa, hingga suara Bunda yang lebih dulu menjawab pertanyaan ibu tadi.
"Mereka ngga nunda, memang belum dikasih. Pernikahan mereka baru aja beberapa minggu kemaren." Jawab Bunda yang di angguki Ibu-ibu tadi.
Lalu mulai bercerita tentang pasangan-pasangan disana yang katanya banyak menunda kehamilan karena alasan pekerjaaan.
Kimi hanya bisa diam, sembari membantu Bunda yang sibuk menyiapkan berbagai bumbu. Meski Bunda dan Bibi sudah melarangnya, dan memintanya untuk istirahat saja lebih dulu karena perjalanan yang baru mereka tempuh itu cukup panjang.