Bianca Mith. Doktor muda arogan yang selalu saja mencari masalah setiap hari saat sedang bekerja. Ayahnya yang seorang pebisnis terkenal tidak tahan dengan kelakukan anaknya itu. Maka dari itu perjodohan itu diadakan.
Bianca menikah dengan Aether Beatrice. Dosen muda dari Universitas Mith. Sesuai kesepakatan awal, beberapa tahun setelah menikah, salah satu dari mereka harus mengorbankan cita-cita mereka untuk memimpin perusahaan keluarga.
Namun tepat setelah satu hari setelah pernikahan, Aether baru mengetahui bahwa ia memiliki penyakit serius pada bagian otaknya. Membuat Aether akan kehilangan sedikit demi sedikit ingatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Athena_Shou, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menguping Percakapan
Irene dan Bianca duduk di kursi taman yang diletakkan di halaman depan rumah. Atau lebih tepatnya di bawah pohon mangga. Bianca bisa menikmati udara sejuk yang sebelumnya tidak bisa Bianca rasakan. Pusat kota dipenuhi oleh polusi udara. Sehingga Bianca merasa sedikit senang bisa menikmati udara di daerah pedesaan malam ini.
"Apa kamu tidak ikut bersama suamimu ke balai desa?" tanya Irene menatap saksama wajah Bianca.
"Tidak. Aether tidak mengizinkanku. Dia memintaku untuk istirahat di rumah. Dia terus mengomel dan memintaku untuk tidur lebih dulu. Dia takut aku kecapean," jawab Bianca menggelengkan kepala.
"Kebiasaan belum berubah, 'ya? Dia selalu berbicara tanpa henti saat sedang kesal dengan seseorang. Aku merasa kasihan denganmu harus menghadapinya setiap hari."
"Aku rasa itu termasuk ke sisi kebaikannya. Dia melakukannya karena mengkhawatirkanku. Jadi aku tidak menyalahkannya. Aku sedikit senang karena dia peduli denganku."
Irene tersenyum. Mengangguk. Irene senang karena akhirnya ada perempuan yang bisa memahami sifat kekanak-kanakan Aether. Ada seseorang yang bisa melihat sisi baik dari keburukan yang ditampilkan oleh Aether.
"Apakah nyaman tinggal di sini?" tanya Bianca memandang jauh sawah dan perkebunan yang letaknya di kawasan yang lebih rendah dari kediaman Irene.
"Di sini sangat nyaman. Udaranya cukup segar. Bahan makanan yang murah. Dan orang-orang yang ada di kampung ini selalu bergotong royong setiap minggunya untuk membersihkan desa," jawab Irene.
"Bagaimana dengan pendapatannya? Aku dengar orang-orang di sini mendapatkan pendapatan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan orang-orang di desa lainnya."
"Di sini kebanyakan hanya ada orang tua. Anak muda yang dulunya ada di sini memilih untuk pergi ke luar kota. Bersekolah dan bekerja di sana. Kembali lagi ke sini saat hari libur."
"Lalu bagaimana dengan Anda? Aether selalu mengirimkan sebagian uangnya, 'kan? Apakah itu cukup?"
"Tentu saja itu cukup. Aether membelikanku sawah dan sapi. Aku mendapatkan keuntungan besar dari sana. Dan Aether masih mengirimku uang setiap bulan. Aku bahkan tidak tau harus menggunakan uang itu untuk apa."
Bianca memandang Irene. Aneh. Irene mendapatkan uang dari persawahan dan peternakan. Belum lagi dari uang bulanan yang dikirimkan oleh Aether. Namun Irene tidak memilih untuk merenovasi rumahnya. Membangun rumahnya lebih besar dan membeli perabotan yang lebih mahal.
"Maaf, jika ini sedikit lancang. Tapi mengapa Anda tidak menggunakan uang itu untuk membangun rumah? Atau mungkin membeli rumah baru yang lebih besar?" tanya Bianca menaruh tangannya di atas meja. Menatap lekat manik mata Irene.
"Rumah ini saksi bisu kelahiran Aether. Aku membesarkan Aether bersama mendiang suamiku di rumah ini. Ada banyak sekali kenangan di sini. Jika aku merobohkannya dan membangun ulang, aku takut kenangan itu akan hilang. Aku lebih nyaman seperti ini," jawab Irene tersenyum.
"Seperti itu, 'ya?" tanya Bianca memandang ke arah rumah.
Rumah kecil. Perabotan yang terbilang tidak terlalu mahal. Ada banyak yang harus dibenahi dari rumah itu jika ingin mendapatkan rumah yang layak huni. Namun Irene tidak menginginkan itu untuk menjaga kenangan yang ada di dalamnya.
Itu adalah pilihan yang mungkin tidak akan pernah Bianca pilih. Karena menurutnya kenyamanan adalah hal yang utama. Terkait kenangan, itu sudah tersimpan rapi di otak. Akan muncul kapanpun ingatan itu terlintas di otaknya.
"Apa Aether bersikap baik saat denganmu? Apa dia pernah bersikap kasar saat denganmu?" tanya Irene khawatir.
"Tidak pernah. Dia selalu baik saat bersamaku. Bahkan terkadang dia memasak untukku," jawab Bianca kembali menatap Irene.
"Memasak, 'ya? Bagaimana masakannya? Apakah enak?" tanya Irene antusias.
"Cukup enak," jawab Bianca.
"Apakah dia tidak pernah masak saat bersama Anda?" tanya Bianca balik.
"Aku sudah mengatakanmu bukan? Dia cukup pemalu dalam beberapa hal. Dia tidak mau aku memakan masakannya. Dia malu saat aku tau dia pintar memasak. Jadi dia tidak pernah mencoba memasak saat berada di sini," jelas Irene.
Bianca mengangguk. Sebelumnya ia berpikir bahwa Aether adalah orang aneh yang tidak tau malu. Namun sekarang Bianca melihat ada beberapa hal yang dapat membuat Aether malu.
"Aku sempat melihat piala tadi siang. Itu semua piala Aether menangkan dalam kompetisi apa?" tanya Bianca mengingat piala yang disimpan di akrilik.
"Ibu tidak terlalu ingat jika harus menjelaskan semuanya. Dia mengikuti semua lomba yang ada. Kompetisi cerdas cermat, beladiri, pidato, memanah, menembak, melukis. Dan masih ada banyak lagi," jelas Irene.
"Semua itu? Dia belajar sendiri atau ada seseorang yang mengajarinya?"
"Dia belajar sendiri. Sebelum dia menjadi dosen, kehidupan kami terbilang sederhana. Kami saja lebih sering makan ubi daripada daging. Mana mungkin kami bisa menyewa pengajar untuk melatihnya."
"Sepertinya Anda diberkahi dengan anak yang jenius."
"Ibupun merasa seperti itu. Dan kamu sekarang juga mendapatkan berkah yang sama dengan Ibu. Mendapatkan suami yang jenius."
Irene pun sekarang masih belum percaya bahwa anak kecil yang ia besarkan bisa sampai pada titik sekarang. Memenangkan banyak penghargaan. Memberikannya kehidupan yang layak. Dan mengirimkan banyak uang setiap bulannya. Seakan-akan Aether sekarang sedang mengguyur kehidupan Irene dengan bongkahan emas yang tak akan habis sampai kapanpun.
"Apakah kamu tidak digigit oleh nyamuk?" tanya Irene mengelus tangannya sendiri.
"Tidak, apakah ada nyamuk di sini?" jawab Bianca melihat kedua tangannya.
"Cukup banyak nyamuk di sini. Sebentar, tunggulah di sini. Aku akan mengambil lotion. Dengan itu kamu tidak akan digigit nyamuk."
Irene berdiri dari kursi. Berjalan cepat menuju rumah supaya Bianca tidak lama menunggu. Sesampainya di dalam rumah, Irene melihat pintu kamar Aether sedikit terbuka. Membuat Irene ingat bahwa anaknya itu belum pergi ke balai desa. Irene menunda niatannya untuk mengambil lotion dan kembali pada Bianca. Irene ingin mengingatkan Aether dan menyuruh anaknya itu untuk segera ke balai desa.
"Iya, aku tau itu. Tapi sekarang aku sedang ada di desa. Aku tidak bisa datang kepadamu dan memeriksakan diriku setiap hari seperti dulu. Tenang saja aku meminum obatku secara rutin. Dan aku juga sedang berusaha sebisa mungkin menyembunyikannya dari istri dan ibuku," ujar Aether dari dalam kamar.
Mendengar itu Irene menghentikan langkahnya. Mengintip dari sedikit celah. Dan mendapati anaknya sedang duduk di pinggir kasur sambil memegang telepon di dekat telinganya.
"Bulan depan, aku akan ke Jepang untuk mencari dokter yang sudah kamu rekomendasikan. Kamu tidak perlu khawatir. Bekerjalah dengan tenang di sana. Kamu seorang dokter. Kamu memiliki banyak pasien. Bukan cuma aku saja pasienmu. Aku akan baik-baik saja di sini."
Irene mulai menggerakkan tangannya ke gagang pintu. Irene berniat untuk menanyakan apa yang sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu. Sakit apa yang sedang dirasakan oleh anaknya itu. Namun tangannya berhenti. Irene menghela nafas. Bergerak ke arah televisi. Mengambil lotion. Dan kembali ke luar rumah menemui Bianca.
Irene menyadari bahwa bukan cuma rumahnya saja yang rapuh. Namun anaknya juga.