NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

hasil putusan

Ruang sidang itu tidak besar. Dindingnya pucat, kursi-kursi kayu tersusun rapi, dan pendingin ruangan bekerja setengah hati. Bau kertas, kayu tua, dan sesuatu yang kaku—bau keputusan hidup—menggantung di udara.

Aku duduk di barisan belakang bersama paman dan mace. Bian dan Ayyan dititipkan di ruang tunggu, paman tidak ingin mereka mendengar apa pun yang akan diputuskan di dalam ruangan ini.

Anna duduk di kursi penggugat. Punggungnya tegak, kedua tangan terlipat rapi di atas meja. Tidak ada tangis, tidak ada wajah memelas. Hanya ketenangan yang nyaris dingin. Seolah semua air matanya sudah habis semalam.

Di seberangnya, Rian duduk dengan jas rapi yang hari ini terasa seperti baju pinjaman. Wajahnya pucat, matanya cekung. Beberapa kali ia mengusap wajahnya sendiri, gelisah, sementara pengacaranya sibuk membolak-balik berkas.

Hakim memasuki ruangan. Semua berdiri.

Sidang putusan dimulai.

Suara hakim perempuan itu datar, tegas, tanpa emosi. Setiap kata terdengar jelas, memantul di dinding ruang sidang.

“Berdasarkan fakta persidangan, bukti-bukti yang diajukan, serta keterangan para pihak…”

Aku menahan napas. Paman duduk tenang, tapi rahangnya mengeras.

“…maka majelis hakim memutuskan mengabulkan gugatan cerai penggugat.”

Anna tidak bereaksi. Tidak menunduk, tidak tersenyum. Hanya menarik napas pelan.

Rian menutup mata sesaat.

“Hak asuh atas dua anak, Bian dan Ayyan, ditetapkan berada di bawah asuhan ibunya, Anna Maida, dengan tetap memberikan hak kunjung kepada ayah kandungnya.”

Dadaku terasa sesak—bukan sedih, tapi lega.

Aku melirik Anna. Jari-jarinya bergetar sangat halus, nyaris tak terlihat. Tapi wajahnya tetap tenang.

“Penggugat tidak menuntut pembagian harta gono-gini secara pribadi.”

Aku tahu ini bagian yang membuat semua orang heran sejak awal.

“Namun, terkait rumah bersama yang diperoleh selama pernikahan, majelis memutuskan rumah tersebut dijual, dan hasil penjualannya dibagi dua secara adil antara kedua belah pihak.”

Rian tersentak kecil. Seolah baru menyadari bahwa ini benar-benar akhir.

“Putusan ini bersifat final dan mengikat.”

Palu diketukkan.

Tok.

Tok.

Tok.

Selesai.

Tidak ada tepuk tangan. Tidak ada tangisan histeris. Hanya keheningan yang berat.

Anna berdiri lebih dulu. Ia membungkuk hormat pada majelis hakim, lalu berbalik. Langkahnya mantap, seolah beban berton-ton yang ia pikul selama ini baru saja diletakkan di lantai ruang sidang.

Rian masih duduk. Wajahnya kosong. Tangannya gemetar saat mencoba berdiri, tapi kakinya seperti lupa caranya menyangga tubuh.

Di luar ruang sidang, Anna berhenti sejenak. Aku menghampirinya.

“Sudah?” tanyaku pelan.

Anna mengangguk. “Sudah, Lif.”

Aku ingin memeluknya. Tapi aku tahu batasnya. Jadi aku hanya berdiri di sisinya—cukup dekat untuk menjaga, cukup jauh untuk menghormati.

Beberapa menit kemudian, Rian keluar. Tatapannya bertemu dengan Anna.

“Aku… aku tetap ayah mereka,” katanya lirih, hampir seperti permohonan.

Anna menatapnya lurus. “Dan itu nggak akan pernah gue ambil dari kamu. Tapi hidup gue… selesai sampai di sini.”

Tidak ada amarah. Tidak ada dendam.

Hanya garis batas yang ditarik dengan sangat jelas.

Anna berjalan pergi.

Dengan dua anak.

Tanpa harta.

Tapi dengan harga diri yang utuh

---

Aku yang nyetir kali ini.

Anna duduk di kursi penumpang depan, menatap jalan tanpa banyak bicara. Bian dan Ayyan di belakang, awalnya diam, lalu mulai berbisik-bisik sendiri—anak-anak selalu punya caranya bertahan.

“Tadi Om Rusdi sama mace bilang ada urusan penting,” ucapku sambil menyalakan mesin. “Entah mau ke mana.”

Anna hanya mengangguk. “Biarin,” katanya pelan. “Mereka orang dewasa.”

Aku nyengir tipis. “Iya. Walau definisi dewasa di keluarga kita itu… fleksibel.”

Anna melirikku sekilas. Sudut bibirnya naik sedikit. Cukup. Aku tahu dia dengar.

Mobil melaju meninggalkan gedung pengadilan. Aku tidak menoleh ke belakang. Tidak ada alasan lagi.

“An,” kataku akhirnya, “hari ini jangan pulang dulu.”

Anna menoleh. “Kenapa?”

“Karena hari ini… lo resmi jadi singa betina,” jawabku enteng. “Dan singa habis perang itu makan enak.”

Bian menyembul dari kursi belakang. “Jadi kita makan apa, Om?”

Aku menoleh ke spion. “Apa pun yang bikin mama kalian senyum.”

Ayyan langsung bersorak. “Mall! Timezone!”

Aku tertawa. “Anak lo nih, instingnya tajam.”

Anna menghela napas, kali ini bukan napas berat. “Sebentar aja ya, Lif.”

“Iya. Sebentar. Tapi niatnya serius.”

Kami makan di restoran sederhana tapi hangat. Bukan tempat mewah—cukup tempat yang tidak menghakimi siapa pun yang datang dengan hati lelah.

Ayyan sibuk cerita soal game yang mau dia mainkan. Bian makan pelan, tapi wajahnya lebih ringan dari biasanya.

Anna… makan.

Bukan pura-pura. Bukan sekadar formalitas. Ia benar-benar makan.

Setelah itu kami ke mall. Timezone penuh suara tawa, mesin berbunyi, lampu warna-warni. Ayyan berlari duluan, menarik tanganku.

“Om! Yang balap mobil!”

“Pelan, Nak. Om bukan atlet lagi.”

Bian memilih mesin basket. Diam-diam aku lihat dia senyum kecil waktu bolanya masuk.

Anna berdiri di sampingku, memperhatikan mereka.

“Terima kasih, Lif,” katanya tiba-tiba.

Aku pura-pura sibuk masukin koin. “Bilangnya nanti aja kalau gue udah nikah. Sekarang mah gratis.”

Anna mendengus kecil. “Dasar.”

Aku menoleh ke arahnya. “An… lo nggak runtuh. Lo cuma berhenti berdiri di tempat yang salah.”

Ia terdiam lama. Lalu mengangguk pelan.

Sore menjelang. Kami duduk di bangku panjang dekat arena permainan. Ayyan bersandar di bahu Anna, kelelahan tapi bahagia. Bian duduk di sebelahnya, sibuk membuka hadiah kecil dari mesin capit.

Aku memperhatikan mereka bertiga.

Dalam hati aku bergumam: Bukan lagi singa kecil, An.

Lo singa betina.

Dan kali ini… lo nggak sendirian.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!