Dendam dua jiwa.
Jiwa seorang mafia cantik berhati dingin, memiliki kehebatan dan kecerdasan yang tak tertandingi, namun akhirnya hancur dan berakhir dengan mengenaskan karena pengkhianatan kekasih dan sahabatnya.
Jiwa yang satu adalah jiwa seorang gadis lugu yang lemah, yang rapuh, yang berlumur kesedihan dan penderitaan.
Hingga akhirnya juga mati dalam kesedihan dan keputus asaan dan rasa kecewa yang mendalam. Dia mati akibat kelicikan dan penindasan yang dilakukan oleh adik angkatnya.
Hingga akhirnya dua jiwa itu menyatu dalam satu tubuh lemah; jiwa yang penuh amarah dan kecewa, dan jiwa yang penuh kesedihan dan putus asa, sehingga melahirkan dendam membara. Dendam dua jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ikri Sa'ati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24. Pengadilan dan Penghakiman part. 2
"Maaf, Tuan Abraham, kalau boleh tahu ada apa Anda memanggilku?" tanya Annabella bernada datar tapi kalem dan tenang. Sikapnya tampak formal, terkesan sopan.
Pandangan matanya serta perhatiannya hanya ditujukan pada orang yang ditargetkannya, yaitu Abraham Winata. Seolah-olah di ruangan yang luas ini tidak ada orang lain selain orang tua tersebut.
Sedangkan Abraham Winata, ditatap sedemikian rupa begitu, membuat hatinya gentar juga. Tapi tentu saja dia gengsi menunjukkan rasa takutnya di depan anak kandungnya itu.
"Kau semakin kurang ajar saja, anak brengsek," Arden yang menanggapi pertanyaannya bernada kasar, mendengus sinis. "Kenapa kau terus saja menindas Niki? Apa kau iri padanya karena dia lebih kami sayangi dari kau?"
Annabella tidak bergeming, tidak menanggapi ucapan murahan itu, apalagi mau menoleh pada orang yang bicara itu.
Annabella tidak menganggap, tidak menggubris kalau Arden berbicara padanya. Dia menganggap suara dan keberadaan pria itu laksana kotoran busuk di tempat sampah yang tidak perlu dihiraukan dan ditengok.
Sepasang matanya terus saja menatap Abraham dengan tatapan datar namun biasa, kalem dan tenang. Sikapnya pun begitu tenang dan rileks, tapi termuat keberanian yang absolut.
Melihat sikap Annabella yang begitu rupa, membuat Abraham Winata, Nyonya Chalinda serta Dareen dan Nindira semakin dibuat heran.
Sedangkan Nikita, melihat sikap Annabella yang begitu tenang dan berani seperti itu, membuatnya sedikit tidak tenang, bahkan ada rasa takut. Tapi dia berusaha bersikap tenang. Semua keluarga ini pasti menolongnya, mendukungnya, dan mempercayainya sepenuhnya.
Tidak pada Annabella, itu pikirannya.
Adapun Arden, melihat Annabella menganggap angin dirinya, bahkan sejak tadi, tidak bisa lagi menahan kemurkaannya.
"Bella, aku bicara padamu, brengsek!" bentaknya demikian murka dengan wajah penuh emosi.
Annabella masih tidak bergeming, masih tidak menggubris. Kepala serta sepasang matanya masih saja tertuju lurus pada Abraham Winata.
Melihat itu Arden semakin murka. Tapi baru saja dia hendak mendamprat lagi, sudah terdengar Dareen menegurnya dengan nada dingin.
"Kamu dia saja dulu, Arden! Biar papa yang bicara!"
Dengan terpaksa Arden menelan kemurkaannya demi mengindahkan teguran kakaknya. Meski amarah dan kekesalannya semakin menggila.
"Apa sebegitu tidak hormatnya kamu terhadap kakakmu," Abraham Winata mulai berbicara bernada datar, menegur, "sehingga kamu tidak menggubris ucapannya, Bella?"
"Tuan Abraham, aku nggak punya waktu meladeni ocehan yang nggak berguna," tanggap Annabella datar, kalem, dan tenang. "Jika ada hal yang hendak Anda bicarakan padaku, langsung saja ke intinya...."
"Nggak usah pake drama segala," tambahnya lebih menekan nada suaranya pada kalimat itu.
Tidak bisa tidak ucapan Annabella itu membuat seisi ruangan itu tercengang bukan main. Begitu enteng dan beraninya gadis itu berkata demikian seolah tidak punya rasa takut sama sekali.
Dan sikapnya sama sekali tidak menganggap Tuan Abraham sebagai papanya.
Ini yang membuat Abraham Winata merasa terganggu dan tidak tenang dan tidak senang. Annabella sekarang benar-benar tidak lagi menganggapnya sebagai papanya.
Hatinya tidak senang dan sedikit merasa sakit.
Sedangkan Arden tidak bisa lagi menahan amarahnya dan tangannya sudah gatal ingin menghajar Annabella yang sudah begitu kurang ajar.
"Anak brengsek sialan! Kau benar-benar ingin pelajaran dariku hah!"
"Tahan, Arden!"
Arden tidak perduli lagi cegatan Dareen. Arden seolah lupa kalau beberapa hari yang lalu dia habis dihajar oleh Annabella.
Dengan cepat dia berdiri, lalu secepat itu pula bergerak ke arah Annabella. Kali ini niatnya bukan lagi hendak menampar, tapi memberikan hajaran yang akan membuatnya jera.
Pemuda itu tidak tahu kalau dia hendak berhadapan dengan Fiorella, sang ratu mafia yang kejam. Apalagi aura sehabis latihannya tadi belum sepenuhnya menguar. Masih ada sisa-sisa latihan pada dirinya.
Tapi....
★☆★☆
Tampak Abraham Winata seakan baru terbangun dari rasa terkejutnya saat mendengar suara Dareen yang hendak mencegah perbuatan Arden. Begitu kesadarannya sudah pada penglihatannya, dia sudah melihat Arden hendak menghajar Annabella yang tampak diam saja.
"Hentikan, Arden!" bentak Abraham Winata cukup keras, memenuhi seantero ruangan itu, bahkan menggema hampir di seantero kediaman megah itu.
Suara bentakan Abraham Winata memang cukup hebat, bukan saja membuat Chalinda Winata, Nindira dan Nikita tersentak kaget, tapi langsung menahan tindakan Arden.
Arden segara menoleh ke arah papanya. Menatap pria tua itu dengan sorotan dan ekspresi tidak puas.
"Kenapa papa menahanku memberi pelajaran anak nggak tahu diri ini?" tanyanya dengan nada kesal.
"Cepat kembali ke tempat dudukmu, Arden!" perintah Abraham Winata bernada tegas seakan tidak menggubris protes anak ke duanya itu.
Terpaksa Arden menuruti perintah papanya meski hati masih memendam amarah dan kedongkolan yang sangat.
"Kali ini kau selamat, anak brengsek," dengusnya sebelum kembali dari kursinya.
Annabella tidak menggubris ucapan Arden yang meremehkannya itu. Dia cuma diam laksana patung manekin di tempat berdirinya. Sikapnya tetap rileks dan tenang laksana telaga.
"Kenapa kamu selalu saja menindas adikmu, Bella?" kata Abraham Winata bernada datar penuh amarah setelah agak lama suasana terendam kebisuan. "Tidak bisakah kamu berhenti berbuat masalah terhadapnya?"
"Tuan Abraham, sebenarnya Anda memanggil aku ke sini dalam rangka apa?" kata Annabella kalem dan tenang menanggapi. "Apakah Anda hendak menghakimi aku terhadap suatu perbuatan yang belum tentu aku bersalah di situ?"
"Terus... tanpa mengecek dulu benar nggaknya, Anda langsung menjatuhkan dakwaan bahwa aku yang bersalah..," lanjutnya tetap tenang. "Apakah itu tujuan Anda memanggil aku...? Untuk mendengar keputusan Anda yang menghakimi aku sebagai orang yang bersalah?"
Abraham Winata hanya bisa bungkam, tidak bisa langsung menyanggah ucapan Annabella terucap dengan teratur dan tenang itu.
Dia seakan tidak melihat jika yang berkata itu adalah putrinya. Dia melihat seperti orang lain yang berucap kalimat-kalimat itu.
Begitu juga dengan Chalinda Winata, Dareen maupun Nindira, mereka melihat Annabella semakin aneh, semakin seperti orang lain. Bukan Annabella yang mereka ketahui selama ini.
Sedangkan Arden hanya mendengus sinis mendengar ucapan Annabella dan semakin membenci adiknya itu.
Sementara Nikita, setenang bagaimana pun dia bersembunyi di balik kelicikan dan sifat busuknya, kekhawatiran dan ketakutan yang hakiki sedikit demi sedikit semakin menggerogotinya. Membuatnya tidak tenang dan tidak nyaman.
"Jika tujuan Anda memanggil aku hanya untuk memperdengarkan padaku keputusan Anda yang menghakimi aku sebagai orang yang bersalah," lanjut Annabella yang tadi sempat menjeda sedikit ucapannya, "aku pikir nggak ada manfaatnya aku hadir di sini hanya untuk mendengar omongan Anda yang nggak ada gunanya."
"Bella...!" bentak Abraham Winata begitu murkanya mendengar semua ucapan Annabella yang jelas-jelas merendahkan dirinya sebagai seorang ayah.
Seketika suaranya seakan tercekat di tenggorokan, tak mampu berkata-kata mendengar kelancangan dan keberanian Annabella barusan.
"Bella...," desah Chalinda Winata dalam sedih. Menatap putrinya dengan sejuta kecewa dan amarah.
Dareen semakin dingin menatap Annabella. Di situ terpendam rasa penasaran yang tinggi akan sikap dan prilaku adiknya itu yang semakin aneh.
Arden mendengus kesal melihat tingkah Annabella. Kalau tidak mendengar peringatan papanya, ingin dia beri pelajaran atas kelancangannya itu.
Sementara Nikita yang terus mengamati situasi, tersenyum licik dalam hati. Melihat sikap Annabella yang semakin kurang ajar begitu, hukuman berat pasti akan dia dapat. Bisa jadi dia diusir dari kediaman megah ini. Itu pikirnya.
★☆★☆
"Bella, nggak bisakah kamu berkata sopan kepada papa?" tegur Nindira bernada sedih bercampur marah. "Kamu itu sudah keterlaluan, tahu nggak?"
"Kamu berbicara soal kesopanan padaku, Nona Nindira," kata Annabella bernada sinis dan ketus, tapi tetap tenang. "Tapi... apakah kamu nggak berpikir kalau papamu itu yang nggak sopan padaku?"
"Dia...," Annabella menunjuk langsung ke wajah Abraham Winata dengan telunjuknya dengan berani, "menuduh aku dan selalu menuduh aku tentang suatu perbuatan yang aku nggak bersalah. Tapi anehnya dia langsung memvonis aku sebagai orang yang bersalah...."
"Apakah itu yang kamu sebut kesopanan, Nona Nindira?" Annabella menatap lekat pada kakaknya yang naif itu. "Dan... tindakan aku yang hanya ingin membela diri kamu sebut sebagai perbuatan yang nggak sopan?"
"Begitu, Nona Nindira?" Annabella lebih menekan nada suaranya pada ucapan itu.
Pikiran Nindira yang naif seolah belum bisa mencerna ucapan Annabella barusan. Namun dia tidak berdaya untuk membalas ucapan adiknya itu.
Sedangkan Abraham Winata masih terdiam dalam kebungkaman. Tubuhnya kini sedikit gemetar karena menahan amarah terhadap kelancangan Annabella yang sudah menginjak harga dirinya sebagai seorang ayah.
"Bella, kamu menyiram air jus ke wajah Niki," kata Dareen seketika, tetap bernada dingin, jelas sekali menghakimi. "Lalu menampar wajahnya. Apa kamu menganggap dirimu tidak bersalah?"
"Hah, menampar wajahnya?!" dengus Annabella dengan ketus, jelas menolak tuduhan itu dengan sangat.
"Tuan Dareen, aku menyiram wajahnya dengan air jus, itu memang benar," lanjut Annabella mencoba mengklarifikasi sekaligus membela diri. "Tapi aku menamparnya, itu nggak benar, sama sekali nggak benar."
"Tapi, Tuan Dareen, jika dia menginginkan agar aku benar-benar menamparnya, dengan senang hati...."
Mendengar itu Nikita langsung merinding ketakutan. Tapi dengan cepat dia langsung menindih perasaannya dengan mengingat jika papa mama dan semua kakaknya pasti akan melindunginya.
"Coba saja kalau kau berani berlaku macam-macam pada Niki, anak brengsek!" berang Arden dengan nada mengancam.
"Tapi sebelum itu," kata Annabella melanjutkan ucapannya, tidak menggubris ancaman Arden, "kenapa kau nggak bertanya dulu padaku, Tuan Dareen, kenapa aku menyiram wajahnya yang jelek itu?"
"Tidak perlu aku bertanya tentang hal yang tidak berguna," dingin ucapan pria kulkas itu, tidak menerima pembelaan dan alasan. "Kamu tetap saja bersalah dengan kesalahan yang fatal."
"Kamu menindas Nikita untuk kesekian kalinya," lanjutnya menjatuhkan tuduhan yang tidak bisa dibantah. "Ditambah lagi kamu ugal-ugalan di jalan raya dengan motor curianmu itu. Kamu ikut-ikutan balap liar."
Annabella langsung terdiam mendengar ketetapan dakwaan itu, seakan tidak mau lagi membantah. Bukan karena dia tidak ingin membela diri. Tapi percuma saja dia bicara, sudah tidak dianggap lagi.
Dareen itu laksana duplikasi Abraham Winata. Ucapan dan ketetapannya, itu juga ucapan dan ketetapan Abraham Winata.
"Dan juga...," lanjut Dareen, masih memuntahkan dakwaan, "belakangan ini kamu semakin bertingkah aneh dan sesuka hatimu, tidak lagi menjadi anak yang patuh sebagaimana yang biasa kamu lakukan."
"Kesalahanmu sudah berlipat-lipat, Bella. Itu tidak bisa ditolerir lagi...."
"Jadi...," Dareen segera menoleh pada Abraham Winata, "Pa, segera saja jatuhkan hukuman berat pada anak tak tahu diri itu."
"Kamu benar, Dareen," tanggap Abraham Winata dengan antusias, "kesalahan anak tak tahu diri ini tidak bisa lagi ditolerir karena sudah berlipat-lipat."
Tatapan matanya begitu tajam menatap Annabella dengan amarah yang berlipat. Sungguh harga dirinya telah diinjak-injak oleh putri kandungnya itu. Tidak memberi hukuman berat padanya, rasanya tidak pantas.
"Maka aku putuskan hukuman keluarga atasmu, Bella," kata Abraham Winata bernada tegas. "Kamu mendapat hukuman cambuk 50 kali, dan dikurung di gudang bawah tanah selama 1 minggu, biar kamu dapat merenungkan tentang kesalahanmu...."
★☆★☆★
bella menunggu momen di mana dia benar benar diusir oleh keluarga winata, baru dia mau keluar.