Di tengah reruntuhan kota Jakarta yang hancur, seorang pria tua berlari terengah. Rambutnya memutih, janggut tak terurus, tapi wajahnya jelas—masih menyisakan garis masa muda yang tegas. Dia adalah Jagat. Bukan Jagat yang berusia 17 tahun, melainkan dirinya di masa depan.
Ledakan menggelegar di belakangnya, api menjilat langit malam. Suara teriakan manusia bercampur dengan derap mesin raksasa milik bangsa alien. Mereka, penguasa dari bintang jauh, telah menguasai bumi dua puluh tahun terakhir. Jagat tua bukan lagi pahlawan, melainkan budak. Dipaksa jadi otak di balik mesin perang alien, dipaksa menyerahkan kejeniusannya.
Tapi malam itu, dia melawan.
Di tangannya, sebuah flashdisk kristal berpendar. Tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya terkandung segalanya—pengetahuan, teknologi, dan sebuah AI bernama Nova.
Jagat tua menatap kamera hologram di depannya. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi matanya berkilat. “Jagat… kalau kau mendengar ini, berarti aku berhasil. Aku adalah dirimu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon morro games, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang Terlalu Tenang
Dapur masih berantakan.
Panci aluminium berdenting pelan tiap kali Ibu mengaduk sayur, seolah rumah ikut bernapas.
Bau bawang goreng menempel di udara—hangat, tapi ada getir sisa semalam yang tidak ikut menguap.
“Gat, makan dulu. Nanti telat,” kata Ibu, suaranya dibuat setenang mungkin.
Jagat menarik kursi. “Siap, Bu.”
Sendok menyentuh piring, bunyinya terlalu jelas.
Nadia duduk di seberang, hoodie kebesaran menutupi sebagian wajahnya, menatap dari balik gelas teh.
“Kalau boleh jujur…” bisiknya pelan, “tetangga depan tadi subuh ngintip lagi. Katanya semalam ada suara kayak petasan. Padahal... bukan, ya?”
Jagat tersenyum tipis. “Paling kembang api sisa tahun baru—ngelindur.”
Nadia mendengus. “Kembang api apa yang sampai tembok Mas Darto retak begini.”
Humor getir bercampur ketakutan kecil.
Ibu menaruh piring buah. “Nad, jangan diperpanjang. Sudah ada yang menjaga.”
Matanya melirik ke jendela—bayangan orang menyeberang halaman: santai, membawa kantong belanja. Ayunda.
Rambut diikat tinggi, kaos polos, celana training. Tetangga ideal. Tapi Jagat tahu pola langkahnya: tidak pernah memunggungi jalan.
Ayunda mengetuk pintu dua kali. “Permisi, Bu. Saya bawakan tahu bacem yang baru lewat. Mumpung hangat.”
Senyumnya ramah, aroma kedai kaki lima ikut masuk.
“Sekalian antar paket dari Bu RT.”
Ibu tersenyum. “Terima kasih, Nduk.”
Namun saat menatap Jagat, Ayunda menurunkan nada suara.
“Rute aman. Dua kendaraan standby. Kita low-profile, jalan seperti biasa.”
Hanya Jagat yang paham arti kalimat itu.
Nadia cekikikan. “Mbak Ayunda, kalau tiap pagi bawa tahu bacem, aku setuju banget ada pengawalan negara.”
Ibu ikut tertawa. Hangat. Rapuh. Manusiawi.
Sejenak, rumah ini kembali terasa seperti rumah.
---
Gang keluar perumahan ramai. Tukang sayur menawar, anak kecil lari membawa balon.
Ayunda berjalan setengah langkah di belakang Jagat, matanya bergerak seperti jam—kiri, kanan, depan.
Dua pria di warkop mengangkat gelas, seolah menyapa semua orang. Tim Angsa Induk.
“Nanti di kampus, saya ambil spot dekat gerbang belakang,” bisik Ayunda.
“Kalau ada yang memaksa kontak fisik, kamu mundur. Biarkan saya yang ribut.”
“Kalau mereka maksa ngobrol?”
“Ngobrol boleh. Ngajak kawin, saya tendang.”
Jagat nyaris tertawa. Candaan ringan, tapi di baliknya perintah penuh makna.
Mobil kota berhenti di depan mereka. Sopir membuka pintu.
Ayunda duduk di depan, Jagat di belakang. Dua motor mengikuti di kejauhan. Ekor Angsa.
> [NOVA] “Ada mata lain jam dua. Kamera dashcap komersial, tapi lensanya upgrade. Pemilik: akun palsu.”
[JAGAT] “Catat. Jangan konfrontasi.”
[NOVA] “Mengalihkan satu drone mikro untuk tail-check.”
Mobil berbelok melewati baliho kampus. Gerbang utama ramai: spanduk lomba robotika, poster UKM, pengumuman beasiswa.
“Gat!”
Bimo melambai dari parkiran, menenteng kotak Tupperware. “JENGKOL GORENG! Dari ibu kos!”
Jagat mengangkat alis. “Bro… Tuhan mengujiku.”
Ardi datang membawa dua minuman kaleng. “Wajah lo kayak server crash.”
“Server-nya mungkin kebakar.”
Tawa kecil pecah—sedikit normalitas di tengah dunia yang tak lagi normal.
---
Kantin kampus penuh riuh.
Sendok-garpu beradu, es batu berderak.
Bimo dengan bangga membuka kotak.
“Cium dulu aromanya!”
“Jauh-jauh,” Rani menahan kotak dengan dua jari.
“Kalau kamu makan itu, jangan dekat-dekat aku di kelas.”
Mereka tertawa. Nova menampilkan overlay transparan di sudut pandang Jagat.
> [NOVA] “Sentimen media naik 37% pada kata kunci ‘pahlawan misterius’. Spekulasi liar 58%.”
[JAGAT] “Filter semua feed buat Ibu dan Nadia.”
[NOVA] “Sudah. Rumah tetap steril.”
Di tengah hiruk pikuk itu, Li Meiyun muncul—senyum ramah, langkah anggun.
“Boleh saya duduk?”
Jagat mempersilakan.
“Mata kamu kelihatan lelah,” katanya.
“Kelihatan, ya?”
“Sedikit. Aku dengar ada keributan di beberapa titik kota. Semoga keluargamu baik-baik saja.”
“Baik,” jawab Jagat singkat.
Rani melirik diam-diam. Ardi cepat-cepat mengalihkan dengan lelucon.
Namun Nova kembali berbisik:
> [NOVA] “Tiga eyes-on. Dua di pintu kiri, satu di balkon. Dua unknown.”
[JAGAT] “Bukan Angsa?”
[NOVA] “Gerakan terlalu halus untuk amatir.”
Jagat mengangguk samar. Meiyun menatap ke arah yang sama sepersekian detik—seolah tahu.
Tak lama kemudian, Melissa, dosen baru, muncul di pintu.
“Jagat? Aku dengar kamu jago sistem siber. Ada proyek riset. Bisa kita diskusikan nanti?”
Tatapan Meiyun dan Melissa saling singkat, tapi tajam.
Jagat hanya mengangguk. “Boleh, Bu.”
Hari berjalan seolah normal.
Namun di setiap langkah, Jagat merasakan mata dunia yang terus mengintai dari balik bayangan.