Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Baru Awal
Anggasta tak lantas menuju ke kantor. Melainkan ke rumah Jeno untuk menjemput sahabatnya itu. Semalam, Jeno mengirim sebuah lokasi yang mana menurut om dari Jeno Alma pernah menemui orang yang ada di alamat tersebut.
"Penderita autoimun bukan hanya perlu dokter untuk menangani. Dia juga butuh psikolog untuk sistem terapi."
Mobil sudah dibawa oleh Jeno. Anggasta cukup duduk manis karena lelaki itu terlihat sangat pusing. Jeno pun tak banyak bertanya karena sudah pasti Anggasta akan pindah mode ke senggol bacok.
"Gua disuruh tunangan sama Alma."
Jeno terkejut. Untungnya posisi mobil tengah berhenti di lampu merah. Jika, tidak sudah pasti akan terjadi laka lantas.
"Are you kidding?"
Anggasta menoleh dengan sorot mata yang tak berdusta. Jeno curiga ada yang sudah Anggasta katakan kepada opanya Alma sehingga diminta sehingga titahan itu terjadi. Ditatapnya sang sahabat dengan sangat tajam. Anggasta pun menceritakan dan sebuah tawa yang keluar dari bibir Jeno.
"Makanya jangan sok-sokan jadi pahlawan kesiangan. Akhirnya kecebur kan."
Lelaki itu tak bisa berkata. Sungguh kepalanya terasa mau pecah karena satu orang, yakni Alma.
Dua lelaki yang sudah sampai di lokasi yang semalam Jeno kirim saling pandang sebelum keluar dari mobil. Anggukan kecil yang Anggasta beri membuat mereka segera turun. Sambutan hangat pun mereka berdua terima. Pasalnya, omnya Jeno bersahabat dengan orang yang pernah Alma temui yang tak lain seorang psikolog.
"Om Jefran pasti udah cerita ke Tante kan?" Jeno sudah membuka suara.
Psikolog perempuan itu hanya terdiam. Tatapan matanya sekarang tertuju pada Anggasta. Lelaki yang tak mirip dengan dokter Jefran.
"Saya ingin bicara empat mata sama tunangannya." Sang psikolog itu sangat meyakini jika tunangan yang dokter Jefran adalah lelaki yang sedari tadi diam dengan seribu pertanyaan di kepala.
Jeno segera menatap Anggasta yang sudah tak terkejut dan mulai menganggukkan kepala. Mereka berdua masuk ke ruang prakter. Dan Jeno menunggu di mobil.
Dokter Vior sudah menatap Anggasta dengan begitu serius. Begitu juga Anggasta yang tengah menanti penjelasan wanita tersebut.
"Secara psikolog autoimun adalah bahasa ngambeknya tubuh atas trauma dan kemarahan yang terus bertumpuk. Seringnya menekan tangis dan pura-pura bahagia demi melayani. Sampai lupa mendengarkan diri sendiri."
"Maksudnya? Alma punya trauma?" tanya Anggasta yang menangkap arti yang berbeda. Sebuah anggukan menjadi jawaban dan itu membuat Anggasta semakin penasaran.
"Boleh saya tahu trauma apa yang membuatnya seperti ini?" Hembusan napas panjang serta mata yang dipejamkan untuk sesaat membuat Anggasta semakin penasaran.
Sembilan belas tahun yang lalu ...
Suara anak perempuan tertawa riang terdengar di sebuah ruang keluarga. Tengah bermain dan bercanda dengan seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan anak perempuan tersebut. Namun, suara yang begitu keras mengubah tawa menjadi teriakan.
Dorr!!
"Mami!!"
Anak perempuan itu melihat jelas betapa derasnya darah di dada ibunya mengalir. Bahkan dia tak segan menyentuh darah segar itu dengan air mata yang sudah menetes.
"Mami bangun! Mami jangan tidur!"
Telinga mulai mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Anak perempuan itu segera menoleh dan lelaki yang menjadi cinta pertamanya sudah mulai menghampiri.
"Papi! Ma--"
Suara keras kembali terdengar dan kini kepala ayahnya bersimbah darah. Di mana dia melihat jelas bagaimana ayahnya sendiri mengarahkan pistol ke dahi bagian samping. Lalu, menarik pelatuknya tanpa berkata apapun.
Hanya teriakan dan tangisan yang bisa anak perempuan itu lakukan. Melihat jelas kedua orang tuanya meninggal tepat di depan mata.
##
Tubuh Anggasta menegang mendengarnya. Ternyata kepergian kedua orang tua Alma bukan karena kecelakaan yang pernah opanya bilang.
"Itu baru awal," ujar dokter Vior dan membuat Anggasta semakin tercengang.
"Setelah kedua orang tuanya meninggal, kakeknya sedikit depresi karena ibunya Alma adalah anak satu-satunya yang Beliau miliki. Dan dari situlah Alma mencoba terus menekan rasa sedih, tangis serta rindu. Selalu bersikap ceria dan baik-baik saja untuk membuat kakeknya kembali sehat. Itu terjadi sampai dia dewasa dan berimbas pada autoimunnya yang terkena."
Lelaki di hadapan dokter Vior sama sekali tak membuka suara. Namun, sorot matanya merasakan kesedihan serta kesakitan yang tak bisa diungkapkan.
"Untuk terapi kesembuhannya, dia hanya butuh pendengar yang baik untuk mendengarkan cerita walaupun hanya cerita remeh. Dia juga butuh orang yang tulus untuk menerima segala kekurangannya." Sebuah kalimat yang mengandung banyak sarat.
Kembali ke mobil dengan wajah yang semakin sendu. Jeno mulai bertanya, tapi Anggasta hanya diam saja. Tibanya di kantor, mimik wajah sang direktur yang tak secerah biasanya membuat para karyawan mulai berbisik. Begitu juga dengan Bulan.
Selang sepuluh menit, suara langkah terdengar memasuki lantai di mana ruangan sang direktur berada. Atensi semua karyawan tertuju pada sosok perempuan yang begitu cantik dan anggun berjalan menuju ruangan direktur. Sedangkan tubuh Bulan sudah menegang.
"Siapa perempuan cantik itu?" Kembali bisik-bisik terdengar setelah perempuan itu masuk ke ruangan Anggasta.
Lima menit kemudian, ruangan direktur terbuka dan dua insan itu saling pandang untuk sesaat. Sebelum berjalan berdampingan menjauhi para karyawan.
"Apa ini? Udah terlambat datang terus pergi lagi sama cewek? Mana ceweknya cantiknya enggak ngotak."
Kalimat dari salah satu karyawan membuat mereka kembali bergosip tentang sang direktur tampan. Tidak dengan Bulan yang merasa sangat tertampar.
✨
Alma datang ke kantor Anggasta ingin bicara berdua. Tapi, lelaki itu menolak berbicara di ruangan miliknya. Memilih untuk berbicara di luar kantor. Di sinilah mereka sekarang, kedai kopi yang tak jauh dari kantor Anggasta.
"Jangan hiraukan keinginan Opa aku, Gas," ucap Alma karena tak ingin berbasa-basi.
"Aku akan menolaknya. Begitu juga kamu supaya Opa enggak terus memaksa." Tak ada jawaban dari Anggasta. Matanya terus tertuju pada sosok yang ada di depannya.
"Gas--"
Alma tersentak karena tangannya tiba-tiba sudah Anggasta genggam. Mata lelaki itu begitu dalam menatap manik mata indah sang perempuan. Suasana mendadak hening.
"Berikan alasan kenapa aku harus menolak?"
Alma mengerutkan dahi ketika mendengar pertanyaan Anggasta. Sudah sangat jelas mereka hanya berpura-pura, tapi seakan Anggasta amnesia.
"Kita kan hanya drama saja di depan Opa," balas Alma. Mereka masih saling tatap.
"Dan aku akan mengubah drama itu menjadi nyata."
What?
"Aku pastikan akan secepatnya kita tunangan."
...*** BERSAMBUNG ***...
Yuk atuh dikomen ..
mewek
lnjut trus Thor
semangat
apalagi cinta....alma