Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25 Kembalinya Marwah
Isah mengetuk pintu kamar Nahyan. Nahyan kaget dan langsung terbangun mendengar suara ketukan dari luar. "Astaghfirullah, aku ketiduran," gumam Nahyan.
"Mas, Mas Ustaz!" panggil Isah.
Nahyan bangkit dari duduknya dan segera membuka pintu. "Ada apa, Bi?" tanya Nahyan dengan suaranya serak khas bangun tidur.
"Itu, di bawah ada Neng Marwah dengan kedua orang tuanya," sahut Bi Isah.
"Hah, serius Bi?" tanya Nahyan kaget.
"Iya, Mas."
"Suruh tunggu sebentar, aku mau cuci muka dulu," ucap Nahyan.
"Baik, Mas."
Nahyan pun cepat-cepat masuk ke dalam kamar mandi untuk cuci muka. Setelah itu dia merapikan penampilannya di depan cermin, entah kenapa dia melakukan itu padahal sebelumnya dia tidak pernah bersikap genit sampai memikirkan penampilan. "Masya Allah, tampan sekali," batin Nahyan dengan senyumannya.
Hingga sedetik kemudian. "Astaghfirullah, kok aku ngomong gitu? Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah," ucap Nahyan dengan beberapa kali mengusap wajahnya.
Dia pun dengan cepat keluar dari kamarnya dan menuruni anak tangga untuk menemui Marwah. Sebenarnya jantung Nahyan berdebar sangat kencang tapi dia berusaha tenang dan bersikap santai seolah-olah dia baik-baik saja. Sesampainya di bawah, Marwah dan kedua orang tuanya langsung berdiri menyambut kedatangan Nahyan.
"Assalamualaikum, Ustaz," ucap Pak Dadang.
"Waalaikumsalam, Pak. Silakan duduk," sahut Nahyan.
Semuanya kembali duduk, Marwah tampak menunduk. "Ustaz, maafkan kami yang sudah menyusahkan Ustaz. Kami sudah memutuskan untuk pindah ke Jakarta, karena bagaimana pun Marwah harus tetap bekerja di sini untuk membayar hutang-hutang kami kepada Ustaz," ucap Pak Dadang.
Nahyan tampak menahan senyumannya dan berusaha tetap tenang. "Pak, kalian tidak punya hutang apa-apa sama saya, jadi kalian tidak usah merasa tidak enak seperti itu," sahut Nahyan.
"Tidak, sampai kapan pun kami banyak hutang kepada Ustaz maka dari itu saya mohon jangan pecat Marwah dari sini," sambung Bu Ani.
"Ustaz, maaf aku sudah tidak bekerja selama satu minggu tapi aku janji akan mulai bekerja lagi di sini," tumpal Marwah sembari menunduk.
Lagi-lagi Nahyan harus menahan senyumnya, dalam hatinya dia sangat bahagia bahkan kalau perlu dia ingin sekali loncat-loncat saking bahagianya. "Tidak apa-apa, kamu boleh kok bekerja lagi di sini," sahut Nahyan.
"Serius, Ustaz? aku masih di terima bekerja di sini?" tanya Marwah bahagia.
Nahyan mengangguk. "Terima kasih, Ustaz," sahut Marwah.
"Oh iya, kalian tinggal dimana?" tanya Nahyan.
"Kami ngontrak, Ustaz," sahut Pak Dadang.
"Hah, ngontrak? di mana?" Nahyan terlihat kaget.
"Tidak jauh kok dari rumah Ustaz," sahut Ibu Ani.
"Kami sengaja memilih kontrakan yang tidak jauh dari rumah Ustaz supaya Marwah bisa pulang pergi dekat, soalnya Namira untuk saat ini tidak bisa jauh dari Marwah," tumpal Pak Dadang.
Nahyan mulai berpikir. "Di belakang ada paviliun dan itu kosong, kenapa kalian tidak tinggal di sini saja biar tidak bolak-balik," tawar Nahyan.
Ketiganya saling pandang satu sama lain. "Jangan Ustaz, kamu sudah terlalu banyak menyusahkan Ustaz dan jangan sampai sekarang kita lebih menyusahkan lagi. Rasanya tidak tahu malu banget, jika kami harus tinggal di sini," tolak Marwah.
"Kenapa tidak tahu malu? aku tidak bicara seperti itu. Sudahlah, lebih baik kalian tinggal di paviliun saja, lebih hemat karena aku tidak akan minta bayaran," canda Nahyan.
"Tidak Ustaz, kita tidak mau merepotkan Ustaz. Lagi pula saya dan istri mau cari kerja juga tapi yang bisa bawa anak," sahut Ibu Ani.
"Kalau Ibu dan Bapak merasa tidak enak, Ibu bisa bantu Bi Isah di sini, begitu juga dengan Bapak. Jadi semuanya lebih efektif, bahkan Marwah pun bisa main sama Namira," ucap Nahyan.
"Kalau Bapak terserah Marwah saja, Bapak tidak bisa memutuskannya," sahut Pak Dadang.
"Bagaimana, Marwah?" tanya Nahyan sembari menatap Marwah.
Marwah langsung gugup dan meremas kedua tangannya. "Kalau aku terserah Ustaz saja," sahut Marwah.
"Ok, kalau begitu kalian tinggal di paviliun belakang saja. Sayang gak dipakai, kalau ada yang menempati 'kan enak ada yang bersihin juga," ucap Nahyan.
"Sekali lagi terima kasih ya, Ustaz. Anda begitu sangat baik," ucap Pak Dadang.
"Sama-sama, Pak," sahut Nahyan dengan senyumannya.
Akhirnya mereka pun dibawa ke paviliun oleh Isah. Sedangkan Marwah memilih langsung menemui Halimah ke kamarnya. Marwah mengetuk pintu dan perlahan membukanya.
"Assalamualaikum."
Halimah yang sedang duduk melamun itu langsung menoleh. Ia sangat kaget dengan kedatangan Marwah yang tidak diduga-duga. Marwah tersenyum dan berjongkok di samping kursi roda.
"Apa kabar Bu, bagaimana Ibu sehat?" tanya Marwah lembut.
"Kirain kamu kabur," ketus Mama Halimah.
Marwah tersenyum. "Tidak dong Bu, masa kabur. Oh iya, aku rindu sekali sama Ibu," ucap Marwah dengan sengirannya.
Halimah mendelikan matanya ke arah Marwah membuat Marwah terkekeh. "Jangan menjilat," sahut Mama Halimah dingin.
"Demi Allah Bu, aku tidak menjilat. Aku benar-benar rindu sama Ibu," ucap Marwah dengan senyumannya.
Halimah kembali menatap Marwah, tapi Halimah dengan cepat memalingkan wajahnya. Halimah tersenyum samar, sebenarnya dalam hatinya dia juga merindukan gadis cantik itu. Untuk pertama kalinya, Halimah mempunyai perasaan seperti itu.
Tanpa diminta, Marwah pun langsung bercerita kehidupan dia di kampung. Halimah sebenarnya tidak tertarik dengan cerita Marwah tapi entah kenapa dia justru suka melihat Marwah bercerita seperti itu. Sedangkan Nahyan tampak mengintip dari balik pintu dengan senyuman penuh kebahagiaan.
"Alhamdulillah, akhirnya Marwah kembali lagi ke rumah ini. Semoga Mama cepat sembuh dan lebih semangat lagi untuk terapi," batin Nahyan.
***
Keesokan harinya....
Nahyan sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, bahkan Marwah saja tidak tahu keberangkatan Nahyan. Marwah mulai membawa Halimah jalan-jalan ke taman untuk berjemur. "Bu, habis berjemur kita siap-siap ke rumah sakit ya," ucap Marwah.
Seperti biasa, tidak ada jawaban sama sekali tapi Marwah bisa menyimpulkan jika Halimah tidak menolaknya. "Ummaaaaaa...... "
Suara cempreng anak kecil terdengar, dan berlari memeluk Marwah. Halimah mengerutkan keningnya, dia tidak tahu siapa anak kecil itu. "Siapa, anak kecil ini?" tanya Mama Halimah.
"Ah iya, maaf Bu, Marwah belum cerita. Ini anak dari almarhum adik Marwah, kemarin tadinya Marwah dan kedua orang tua Marwah mau ngontrak tapi Ustaz memerintahkan untuk tinggal di paviliun saja dan akhirnya kami pun tinggal di paviliun belakang. Maaf, karena kami sudah lancang menyetujui permintaan Ustaz," jelas Marwah menunduk.
"Jangan menunduk seperti itu, nanti dikiranya saya memarahi kamu," ucap Mama Halimah dingin.
"Ibu tidak marah 'kan jika keluarga Marwah tinggal di paviliun?" tanya Marwah ragu-ragu.
"Diam, saya pusing mendengar kamu bicara terus," ketus Mama Halimah.
Seketika Marwah tersenyum, dia tidak marah kepada Halimah bahkan ucapan Halimah yang ketus itu dia anggap sebagai candaan belaka.
"Terima kasih ya, Bu," ucap Marwah.
kasihan blm dpt jodoh nya