NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:33.8k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Selimut Senja

Pagi itu, mentari menyusup lembut di balik tirai jendela kamar, menari pelan di atas wajah Alisya yang baru saja terbangun. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu tersenyum saat menyadari sosok suaminya yang tampan sedang tertidur pulas di sampingnya, memeluknya erat seolah tak ingin berpisah.

Semalam, Alisya sempat menanti kepulangan Rendi, namun kantuk lebih dulu menyeretnya ke alam mimpi. Hari sudah terlalu larut, dan tubuhnya kelelahan.

Ia menoleh pelan, menatap wajah suaminya yang damai dalam tidur. Dengan hati-hati, ia mengelus rambutnya, penuh kasih. Begitu dalam ia tenggelam dalam kehangatan itu, hingga tak sadar matanya terarah pada kalender yang tergantung di dinding kamar. Hari ini—tanggal yang tak pernah ia lupa.

Ulang tahun ibu.

Dan beruntungnya, hari ini juga awal dari libur panjang.

Alisya kembali menatap suaminya. Jari-jarinya menyusuri lembut pipi dan rambut Rendi, membangunkannya dengan belaian yang penuh cinta.

Rendi menggeliat pelan, suara seraknya terdengar begitu hangat di pagi hari.

"Mmhh... sayang," gumamnya pelan, matanya masih setengah terpejam.

Alisya tersenyum, lalu kembali mengelus rambutnya dengan lembut. Tak lama, Rendi membuka matanya sedikit lebih lebar, lalu bergumam lirih dengan suara yang masih berat.

"Sayang... kita ke rumah Ibu, yuk... siang ini. Hari ini ulang tahun Ibu, kan?"

Alisya tertegun. Ada keharuan yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tidak sempat mengucapkan keinginan itu, belum sempat menyampaikannya pun. Tapi Rendi tahu.

Seolah hatinya bisa membaca isi hati Alisya, bahkan tanpa ia perlu mengatakannya.

Senyum Alisya mengembang, matanya berbinar.

"Terima kasih, Sayang," bisiknya dalam hati, sebelum ia mengecup dahi suaminya dengan penuh cinta.

...****************...

Mobil melaju tenang di jalanan yang lengang, membelah siang yang hangat dengan udara khas libur panjang. Di kursi belakang, Rasya tertidur dengan kepala bersandar di pundak Bunda nya boneka kecil kesayangannya tergenggam erat dalam pelukan. Sementara itu, Rendi menggenggam tangan Alisya di atas pangkuan, mengusapnya pelan sesekali, seperti ingin mengatakan: Aku di sini. Selalu.

Rumah ibu berdiri tenang di ujung jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon rindang. Tak banyak yang berubah halaman kecil yang penuh bunga, suara kicau burung dari sangkar di teras, dan aroma kayu tua yang khas. Namun setiap langkah yang mereka ayunkan ke dalam rumah itu terasa seperti pulang pada pelukan yang hangat, tempat semua rindu bermuara.

"Ibu!" seru Alisya lembut, membuka pintu dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan.

Seseorang muncul dari ruang tengah—wajah yang selalu membawa ketenangan dalam benaknya. Perempuan paruh baya dengan keriput lembut di ujung matanya, dan sorot hangat yang tak pernah berubah.

"Alisya, Rendi… Rasya juga ikut?" suara ibu mengalun, penuh kebahagiaan. Ia membuka tangan lebar-lebar, dan Rasya yang sudah terbangun langsung berlari kecil memeluk neneknya.

"Selamat ulang tahun, Bu," ujar Alisya, memeluk ibunya erat. Pelukan yang diam-diam menyelipkan rindu bertahun-tahun dan cinta yang tak terucap dalam kata-kata.

Rendi ikut mendekat, menyerahkan kotak kue kecil yang sudah mereka siapkan dari pagi. "Doa kami untuk Ibu hari ini... semoga sehat selalu, bahagia selalu. Dan terus jadi tempat pulang bagi kami."

Ibu tersenyum, matanya berkaca-kaca.

"Kalian datang saja, itu sudah hadiah paling indah buat Ibu."

Mereka duduk di ruang tengah, bercengkerama dalam tawa dan cerita. Rasya duduk di pangkuan sang nenek, mendengarkan kisah lama yang diceritakan ulang dengan suara lirih dan mata yang berkisah lebih dari kata-kata. Alisya menyandarkan kepalanya di bahu Rendi, merasa tenang. Tak ada yang lebih syahdu daripada waktu yang diberi ruang untuk melambat bersama orang-orang yang paling dicinta.

...****************...

Senja sudah turun sempurna. Rasya tertidur di kamar depan setelah puas bermain, dan Rendi sedang berbincang di teras dengan tetangga lama ibu. Tinggallah Alisya dan ibunya berdua di ruang tengah, duduk berdampingan di sofa tua yang dulu jadi saksi banyak cerita.

Suasana hening. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar jelas, berpacu pelan seolah tak ingin mengganggu percakapan yang sebentar lagi akan dimulai.

Ibu menoleh pelan ke arah putrinya, memperhatikan wajah Alisya yang tampak lebih dewasa, tapi juga lebih lelah.

“Kamu kelihatan bahagia, Nak…” ujar Ibu perlahan. “Tapi di matamu… masih ada sesuatu yang kamu simpan.”

Alisya terdiam. Tatapannya lurus ke depan, lalu turun ke kedua tangannya yang saling menggenggam di pangkuan. Ia menarik napas, seolah menyusun kata dalam hati.

“Kadang aku takut, Bu…” ujarnya lirih. “Takut semua ini hanya sementara. Takut kebahagiaan yang aku punya... bisa hilang sewaktu-waktu.”

Ibu tersenyum samar, matanya menatap lembut.

“Kebahagiaan itu bukan tentang seberapa lama ia tinggal, Nak. Tapi seberapa tulus kamu menikmatinya saat ia datang.”

Alisya menoleh, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku cuma ingin rumah yang utuh, Bu… buat Rasya. Buat aku. Buat kami.”

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan, suaranya nyaris berbisik.

“Aku sudah terlalu sering kehilangan.”

Ibu mengulurkan tangan, menggenggam tangan putrinya erat-erat.

“Kamu tidak sendiri, Alisya. Kamu punya Rendi, kamu punya Rasya, dan kamu punya Ibu. Kehilangan memang mengajarkan banyak luka… tapi juga mengajarkan kita cara untuk lebih menghargai yang tersisa.”

Alisya tak kuasa menahan air mata. Ia bersandar di bahu ibunya, seperti anak kecil yang kembali mencari dekapan yang paling ia percaya.

“Ibu selalu kuat,” bisiknya pelan.

Ibu mengangguk kecil, suaranya bergetar tapi tetap lembut.

“Ibu kuat… karena Ibu pernah hancur. Dan sekarang, kamu juga sedang belajar menjadi kuat, dengan caramu sendiri.”

Hening kembali menyelimuti mereka. Tapi bukan hening yang asing, melainkan hening yang hangat—seperti selimut tipis yang menenangkan luka-luka kecil dalam dada.

Di luar, cahaya temaram senja mulai digantikan kelap-kelip lampu malam.

Dan di dalam rumah itu, dua hati perempuan sedang saling menguatkan… dalam diam yang berkata lebih dari seribu kalimat.

Suara pintu teras berderit pelan. Langkah kaki Rendi terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di ambang ruang tengah. Ia memperhatikan dua perempuan yang sangat ia cintai: Alisya bersandar di bahu ibunya, dengan mata yang sedikit sembab tapi penuh damai.

Rendi mendekat perlahan, duduk di sisi Alisya dan menyentuh lembut punggungnya.

“Kalian ngobrolin apa?” tanyanya pelan, suaranya sehangat senja yang baru saja berlalu.

Alisya hanya tersenyum kecil dan menggeleng. Tapi ibu menatap Rendi dengan mata yang tenang, lalu berkata,

“Kami sedang bicara tentang rasa takut… dan kekuatan yang tumbuh dari luka.”

Rendi mengangguk pelan. Ia menatap Alisya dengan penuh pengertian, lalu memindahkan tangannya, menggenggam tangan istrinya yang masih berada di pangkuan.

“Aku tahu Alisya banyak menahan sendiri. Tapi aku ada, Sayang. Aku di sini... dan aku mau kamu bersandar juga padaku, bukan hanya pada dirimu sendiri.”

Alisya menoleh padanya. Ada haru yang begitu jujur di matanya.

Lalu ibu berbicara lagi, kali ini suaranya sedikit lebih tegas namun tetap lembut.

“Rendi… Alisya pernah kehilangan banyak, dan dia bukan perempuan yang akan dengan mudah meminta. Tapi dia perempuan yang akan mencintai sepenuh hati jika diberi ruang.”

Rendi menunduk sejenak, lalu menatap ibu dengan tatapan dalam.

“Terima kasih sudah percaya saya untuk menjaga Alisya, Bu. Saya tahu, kebahagiaan itu bukan soal datang dan pergi... tapi soal dijaga setiap hari. Saya ingin jadi tempat pulangnya Alisya. Tempat dia merasa cukup.”

Ibu tersenyum, kali ini senyumnya berbeda—lebih dalam, lebih penuh restu.

“Kalau kamu tahu itu… maka kamu sudah lebih dari cukup, Rendi.”

Suasana hening sesaat. Tapi hening itu bukan jeda kosong. Itu adalah hening yang mengandung pengertian. Seperti ketika tiga hati bertemu di satu titik yang sama: cinta, luka, dan harapan.

Tak lama kemudian, suara langkah kecil terdengar dari arah kamar.

“Bunda?”

Rasya muncul, mengucek matanya, masih dengan boneka kecilnya di tangan.

Alisya segera merentangkan tangan, dan Rasya naik ke pangkuannya. Rendi mengusap kepala anak mereka, dan ibu menatap ketiganya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Keluarga kecil ini… semoga panjang umur dalam kasih,” ucapnya lirih.

Dan malam itu, di tengah ruang sederhana dan cahaya lampu yang hangat, mereka duduk bersama. Tak butuh apa-apa lagi selain kehadiran satu sama lain. Karena ternyata, rumah tak selalu soal tempat—tapi tentang siapa yang ada di dalamnya.

1
Teh Euis Tea
kan km jg pelakor bu tati ya nyrunlah sm anakmu
Lulu-ai
alah, jangan bikin bahagia si rendi ma bunga itu
j4v4n3s w0m3n
entahlah masalah hati memang sesulit itu ,kata maaf terkadang tidak cukup untuk bisa mengembalikan keadaan,sesuatu yang retak akan sulit menjadi utuh kembali meski kita berusaha untuk menyatukan kembali retakakan itu seperti semula akan sulit .......ya kita liat kebagaiann alisya akan datang dengan cerita yg berbda bukan lagi sama.rendi tapi kebahagiaan itu akan datang dr orng lain
sutiasih kasih
andai alisya egois... memintamu lepas dri rendi.... blm tentu km mau bunga... brsikap mengalah sprti alisya....
km itu bukan korban y bunga.... km itu pelakor yg memang dgn sengaja ingin mnguasai rendi...
km manusia kejam bunga.... memisahkn ank dgn ayahnya... dan itu g adil..
dan lgi" smua untuk keuntunganmu sndiri... dan jga untuk ank yg km kndung..
Machmudah
gak rela aja kl bunga rendi bersama merajuy asa.....karma hrs terjafi dulu, sbg balasan air mata alisya
Retno Harningsih
lanjut
Lee Mbaa Young
Kan manipulatif si Bunga Bangkai itu.
minta maaf nya gk ikhlas krn takut mnderita itu.
coba kl bhgia gk.akn minta maaf smp berlutut si bunga itu.

Karma hrs ttp buat rendi dan bpknya, bunga dan bpknya juga.
bikin mereka bangkrut. Aku ingin anak bunga gugur gk ikhlas bnget pokok nya rasha punya saudara darah pelakor.
bunga anak adopsi mana tau dia anak pelacur mkne mau mau saja jd pelakor.
Mkne nm ne yg cocok Bunga Bangkai.
Lee Mbaa Young
Heleh ternyata niat bunga pingin alisha mengiklhas kan rendi biar hidup bhgia.
jng mimpi. karma mu baru di mulai.
menangislah smp km ingin mati.
HUKUM TABUR TUAI.
SAATNYA BUNGA BANGKAI MEMETIK KARMA.

INGAT KARMA TAK SEMANIS KURMA.
jd nikmati saja sakit nya ya Pelakor. semoga makin viral dan mnderita.
sukur sukur bunuh diri.
Iis Dawina
Km br sadar salah.oh krn baru tau ya klo km ank adopsi..tp ttp salah walaupun ank kandung.krn dah mencintai dn merebut suami orang
Nur Hafidah
kadihan sekali,bunga juga korban disini
Lulu-ai
manipulatif bingit si bunga, karma wajib thor sama rendi
Lee Mbaa Young
Di pikir dng minta maaf semua akn baik baik saja. tntu tidak. km blm mnderita smp mau mati kok. pling tdk kehilangan anakmu juga rahim mu. hingga gk punya harga diri br impas hukuman buat pelakor. biar gk ngangkang pd laki orang lagi si bunga Bangkai itu.
Lee Mbaa Young
Heh bunga Bangkai kl km minta maaf mang semua akn kembali lagi. ingat karma mu masih berjalan walau alisha maafin km.
pokok nya bunga Bangkai harus hancur sehancur hancurnya. dasar wanita pendidikan tp gk punya moral.
semoga anaknya gugur biar rasha gk punya saudara Dr ibu pelakor mcam km.
j4v4n3s w0m3n
aduh maaf ya bunga denger.ceritamu maaf sekali aku tetap gak.respek sama.kamu.heheheh maaf ya mungkin.krn.sakit.hati alisya itu.jadi aki.gak.bisa dukunh kamu apapun.keadaanmu dan.silsailah.kamu ..jalananin.aja.dech kesusahanmu.itu
sutiasih kasih: benerrr.... dia merasa korban dri luka org tuanya.... pdahal aslinya dlm lubuk hati dia memang adh ada rasa dgn rendi dan jga ingin memiliki rendi....
kbetulan bpk rendi dan npknya bunga sdh merencanakn smua... mka dlm hati bunga jga alih" krna amanah org tua...
klo munafik y munafik aja.... pelakor tetap pelakor...
smuanya sdh hncur bunga... dan km itu perempuan kejam yg di balut casing perempuan lembut...
ARSLAMET: hehehe
total 3 replies
Maizaton Othman
tetap sabar untuk bab seterusnya,bintang 5 utk setakat ini,harap selanjutnya ia tetap menjadi karya yg bagus sampai ending
Retno Harningsih
up
Lulu-ai
emng gg tau dendam tp situ tau rendi dah punya istri tetep nikah tuh
Iis Dawina
biarkan bunga stres trs keguguran deh
Mundri Astuti
dah tau ibunya begitu, dah ngerasain dampaknya, lah malah ngikutin, definisi bodoh si ini
Lee Mbaa Young
lah ibu sendiri seorang pelakor kok. Ya sm saja lah dng anakmu. pelakor juga.

semoga hbis ini bunga bnyak pikiran kecelakaan trus keguguran. wes ngunu ae. biar kapok para tua bangka bpk rendi dan bpk bunga.
ARSLAMET: kesel kan yaa , next bab di tunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!