Shanaya Sanjaya percaya bahwa cinta adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Ia rela menjadi istri rahasia, menelan hinaan, dan berdiri di balik layar demi Reno Alhadi, pria yang dicintainya sepenuh hati.
Tapi ketika janji-janji manis tersisa tujuh kartu dan pengkhianatan terus mengiris, Shanaya sadar, mencintai tak harus kehilangan harga diri. Ia memilih pergi.
Namun hidup justru mempertemukannya dengan Sadewa Mahardika, pria dingin dan penuh teka-teki yang kini menjadi atasannya.
Akankah luka lama membatasi langkahnya, atau justru membawanya pada cinta yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Sekitar pukul sepuluh malam, kelopak mata Shanaya perlahan terbuka. Ia mengerjap pelan, mencoba menyesuaikan pandangannya dengan pencahayaan ruangan. Butuh beberapa detik sebelum kesadaran itu benar-benar datang.
“Ini… bukan apartemen Wina,” gumamnya lirih, suara seraknya nyaris tak terdengar.
Dengan cepat ia menyingkap selimut dan menurunkan kakinya ke lantai dingin. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, bingung sekaligus panik.
“Jangan-jangan aku diculik? Atau... dijual Wina?” pikirnya cemas, imajinasi liarnya mulai berlari.
Namun, tepat saat matanya menyapu sisi ranjang, jantungnya terasa seperti berhenti berdetak sesaat. Di sana, seorang pria tertidur lelap dan bukan sembarang pria. Itu Sadewa.
Refleks, Shanaya menjerit kaget.
“Arghh! Apa yang Bapak lakukan di sini?!” serunya dengan nada penuh ketakutan sekaligus amarah.
Teriakannya langsung membangunkan Sadewa yang terlihat sama bingungnya. Lelaki itu mengerutkan kening, berusaha mengingat. Ia memindahkan Shanaya dari sofa ke ranjang karena takut perempuan itu terjatuh, lalu tanpa sadar... ia pun tertidur di sebelahnya.
Sadewa mendesah lelah, matanya masih berat. “Kamu pikir?” sahutnya datar sambil duduk di pinggir ranjang.
Sementara itu, Shanaya buru-buru memeriksa dirinya. Jemarinya menyentuh pakaian yang masih utuh. Tidak ada yang berubah. Napasnya mulai stabil, meski jantungnya masih berdebar.
Sadewa melirik ke arahnya lalu mendecak kesal melihat reaksi Shanaya yang seperti orang habis diselamatkan dari kebakaran.
“Pak, wajar kalau saya panik! Namanya juga laki-laki dan perempuan tidur sekasur... kalau saya gak syok, berarti saya enggak punya harga diri,” tukas Shanaya, berusaha terdengar tegas meski nada suaranya sedikit bergetar.
Rasa malu menggerayangi dirinya. Shanaya masih sulit percaya, bagaimana bisa dia sampai berada di titik ini? Semuanya terasa kabur. Pertemuan pertama mereka saja diawali dengan kesalahpahaman. Lalu muncul insiden kecil. Setelah itu Sadewa menolongnya, dan tiba-tiba ia jadi asisten pribadi bukan sekertaris sesuai jabatan yang ia lamar.
Dan sekarang? Mereka tidur di ranjang yang sama? Sungguh ini di luar dugaan.
Sadewa mengusap wajahnya kasar, lalu berdiri dari ranjang. Sikapnya tetap dingin, seolah teriakan Shanaya tadi tak berpengaruh apa pun padanya.
“Kalau kamu bisa tidur di sofa, gak perlu aku repot-repot mindahin,” ujarnya datar, lalu merapikan sisi bantal yang ia gunakan.
Shanaya memelototinya. “Saya gak pernah minta dipindahin! Siapa suruh juga Bapak tidur di ranjang yang sama?! Emangnya gak ada tempat lain?!”
Sadewa menatapnya, malas. “Kamu bicara seperti itu seolah ini rumah kamu?”
“Ya tetap saja Bapak salah!”
Sadewa mendekat. Tatapannya tajam, membuat Shanaya otomatis mundur setengah langkah, tapi sayangnya ia lupa posisi ranjang di belakangnya. Tumitnya tersandung, tubuhnya oleng ke belakang dan—
Bruk!
Dengan reflek, Sadewa menangkapnya. Tapi keseimbangan mereka hilang, dan dalam sekejap, tubuh Shanaya sudah menindih tubuh Sadewa di atas ranjang.
Hening.
Jarak di antara mereka nyaris tak ada. Napas Shanaya tercekat. Matanya membelalak, berhadapan langsung dengan wajah Sadewa yang hanya beberapa senti dari hidungnya. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga ia takut Sadewa bisa mendengarnya.
Sadewa tak berkata apa-apa. Pandangannya tetap datar, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang tak bisa dijelaskan, tajam, tenang, tapi entah mengapa terasa... hangat.
“Ma—maaf! Saya nggak sengaja!” Shanaya buru-buru mencoba bangkit, tapi salah satu tangannya justru terpeleset di dada Sadewa, membuat wajahnya makin dekat. Hidung mereka nyaris bersentuhan.
Sadewa masih diam. Tapi tangannya, tanpa sadar, bertahan di pinggang Shanaya—entah untuk menjaga keseimbangan, atau sekadar... tidak ingin Shanaya terlalu cepat menjauh.
Shanaya menelan ludah. “Bapak... bisa lepaskan saya dulu?”
“Aku yang harusnya tanya, kamu bisa bangun atau enggak?” suara Sadewa rendah dan pelan, tapi efeknya menghentak seluruh tubuh Shanaya. Suara itu terlalu dekat. Terlalu dalam.
“A—aku bangun sekarang,” bisiknya tergagap. Ia buru-buru mencoba berguling ke samping, hendak duduk membelakangi Sadewa. Namun, tepat di saat yang canggung itu—
Klik.
Pintu kamar mendadak terbuka.
“Kalian?!”
Santi dan Arya berdiri di ambang pintu, mata mereka membelalak melihat posisi Shanaya dan Sadewa yang masih terlalu dekat di atas ranjang.
Padahal mereka datang karena cemas—ponsel Sadewa tak bisa dihubungi sejak tadi sore dan sudah lebih dari 4 jam. Sebagai ibu dan asisten yang mengenalnya luar dalam, kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan. Namun kini, yang mereka temukan justru pemandangan mengejutkan, Sadewa terbaring terlalu dekat dengan Shanaya, seolah sedang... bermesraan.
Refleks, Sadewa segera menggulingkan tubuh Shanaya ke sisi ranjang, menciptakan jarak di antara mereka.
“Bu, ini… bukan seperti yang Ibu pikirkan,” ucapnya cepat, nada suaranya sedikit panik, wajahnya masih memerah.
Santi menutup matanya dengan satu tangan, menghela napas panjang seolah sudah terlalu lelah menghadapi tingkah anaknya.
“Kalau kalian memang niat mau bikin cucu buat Ibu, tolong... halal dulu, jangan model begini,” gumamnya setengah kesal, setengah pasrah.
ShanAya dan Sadewa spontan saling menoleh—mata mereka bertemu dalam keheningan yang canggung. Pipi Shanaya makin panas, sementara ekspresi Sadewa sulit ditebak, antara bingung, jengkel, atau... malu.
***
Di sisi lain, Reno hanya bisa menarik napas panjang saat kembali berhadapan dengan Astuti. Ibunya itu masih bersikeras agar Reno segera mengesahkan hubungannya dengan Malika.
“Ren, sudahlah. Shanaya sudah menyerahkan surat cerai itu, dan sekarang kasusnya sedang diproses di pengadilan negeri,” ucap Astuti tanpa basa-basi.
Reno menatap ibunya, rahangnya mengeras. “Bu, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan Shanaya. Dan sampai kapan pun, istriku hanya dia. Tidak ada yang lain.”
Astuti membalas tatapannya, sorot matanya tajam. “Tapi lihat kenyataannya sekarang. Yang ada di sampingmu itu Malika, bukan Shanaya. Kamu bahkan tidak bisa menemuinya, kan?”
“Aku sudah tahu di mana dia sekarang,” sahut Reno, suaranya mulai bergetar. “Dan Bu… aku mencintai Shanaya. Tolong… jangan persulit semuanya.”
Astuti mendengus pelan, suaranya merendah tapi tetap tajam. “Kamu mencintainya? Ibu justru merasa kamu cuma memanfaatkannya.”
“Maksud Ibu apa?” Reno menatapnya penuh ketegangan.
“Kalau kamu benar-benar mencintainya, kamu nggak akan membiarkan semuanya sampai sejauh ini. Ibu bisa lihat sendiri… kamu bahkan tidak pernah benar-benar memperjuangkannya.”
Reno mengepal tangannya, rahangnya mengeras. “Jangan bilang aku nggak memperjuangkan Shanaya, Bu. Ibu nggak tahu apa-apa tentang apa yang aku lakukan di belakang semua ini.”
Astuti menggeleng perlahan. “Tapi Shanaya tahu. Dan dia pergi, Ren. Perempuan yang mencintaimu itu menyerah. Itu bukan salah siapa-siapa, kecuali kamu.”
Perkataan itu menampar Reno lebih keras daripada tamparan fisik mana pun. Ia terdiam. Nafasnya memburu. Dadanya sesak.
“Aku akan memperbaikinya.” Suaranya nyaris berbisik, tapi tegas. “Aku akan cari dia, dan aku akan buat dia percaya lagi.”
Astuti menatapnya lama, lalu menghela napas. “Kamu terlambat, Ren. Kamu pikir kamu masih punya waktu?”
Reno menoleh cepat, wajahnya menegang. “Apa maksud Ibu?”
knp update nya Arsen buk bgt y🫢🫢🫢
Sadewa JD anak tiri 🤔