"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”
Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.
Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.
Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”
Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.
Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 KAU BERDARAH
Hari sudah sore ketika Arash dan Ava meninggalkan kediaman keluarga Alder dan kembali ke rumah mereka. Matahari condong ke barat, mewarnai ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut saat Ava duduk sendirian di sofa. Arash entah pergi ke mana setelah Ava memaksa turun di tengah jalan—keputusan yang ia ambil karena tidak ingin kejadian yang sama terulang untuk ketiga kalinya.
Ia tidak mau lagi menjadi korban kegilaan Arash di jalanan. Meskipun tadi pria itu tidak seekstrem semalam ketika mengendarai motornya, namun Ava tetap tidak mau mengambil risiko.
Di pangkuannya, beberapa lembar sketsa terbentang. Kertas-kertas itu sudah menguning tipis di pinggirnya—bukti dari bertahun-tahun digores, dihapus, diperbaiki, dan disempurnakan. Ia membuka setiap lembar perlahan, seolah sedang menelusuri kembali perjalanan hidupnya sendiri.
Matanya menatap detail desain yang ia buat selama beberapa tahun terakhir—hasil dari tekad, kerja keras, dan malam-malam panjang yang ia habiskan demi satu impian. Ada rasa bangga dan gugup yang bercampur. Tahun ini, ia berencana mengadakan fashion show pertamanya. Tahun di mana karyanya akhirnya akan diperkenalkan ke dunia
“Mama…” Ava tiba-tiba bergumam, tubuhnya tegak seketika seolah baru ditarik dari mimpi. “Astaga, aku lupa minggu ini aku belum mengunjungi mama.” Suaranya pelan, tapi ada nada bersalah yang jelas. Ia segera bangkit, meletakkan sketsanya dengan rapi di meja, lalu meraih tasnya.
Sejak ibunya meninggal, Ava dan Ayah Luis selalu datang ke makam itu sebulan sekali. Namun setelah ia dewasa, ia lebih sering pergi sendirian—bukan karena kewajiban, tetapi karena ia ingin menceritakan hal-hal yang tak bisa ia bagi pada siapa pun. Tentang kerjaannya, tentang mimpinya, bahkan tentang luka-luka kecil yang ia pendam rapat-rapat.
Sementara itu, jauh dari sana, Arash baru saja tiba di apartemen Lian. Begitu kunci diputar, aroma lavender dari diffuser Lian langsung menyapa, lembut dan menenangkan. Arash melemparkan dirinya ke kasur tanpa melepas jaket, tubuhnya terasa berat seolah dimagnet oleh rasa lelah.
Lian menutup pintu dapur dan bersandar pada kusen, menatapnya. “Sejak bekerja di perusahaan paman, kau jarang sekali berkunjung,” ujarnya dengan nada yang setengah menggoda, setengah menyindir.
Arash menggeram pelan, menutup wajah dengan lengan. “Aku lembur seminggu penuh karena mengurus pekerjaan yang terbengkalai setelah kak Martin meninggal. Dan kau tahu itu!” nada kesalnya tajam tapi suaranya pecah oleh kelelahan.
Lian mengangkat satu alis, berjalan mendekat, duduk di tepi kasur. “Tapi menurutku,” katanya santai, “kau datang ke sini bukan hanya karena itu.”
Mata Arash terbuka perlahan, menatap langit-langit tanpa ekspresi. Kemudian ia melirik Lian dari sudut mata.
“Sok tahu!” geramnya, mencoba terdengar sinis, padahal ada sesuatu di sorot matanya—sesuatu yang tak mau ia akui. Sesuatu yang hanya terlihat oleh Lian, orang yang sudah terlalu lama mengenalnya.
...----------------...
Langit sudah sepenuhnya gelap ketika Ava kembali dari makam. Lampu-lampu halaman rumah menyala redup, memantulkan bayangan pohon yang bergerak pelan diterpa angin malam. Motor Arash sudah terparkir rapi di sebelah mobilnya—tanda bahwa pria itu sudah pulang lebih dulu.
Ava mengembuskan napas panjang sebelum mendorong pintu masuk. Ruangan itu hangat dan remang, sepi—kecuali cahaya layar laptop yang memantul di wajah Arash. Pria itu duduk di sofa, posturnya tegak, rahangnya mengeras seperti sedang menahan kesal.
“Kau keluar tanpa mengunci pintu,” ucap Arash tanpa menoleh, suaranya dingin namun tajam. “Kalau ada maling masuk, bagaimana? Kau mau tanggung jawab?”
Ava menghela napas pelan. “Maaf… aku buru-buru, jadi lupa mengunci pintu.” Ia meletakkan tasnya di sofa, ingin segera menghindar dari suasana yang mulai menegang.
“Kau mau ke mana?” Arash menoleh cepat, alisnya terangkat.
Ava menahan langkah. “Ke dapur. Kenapa? Kau mau aku buatkan kopi?”
“Iya.” Jawabnya singkat, tanpa menatapnya lagi.
Ava memilih tidak membalas. Ia melanjutkan langkah ke dapur, membiarkan aroma kayu dan udara malam dari jendela terbuka menyapa kulitnya. Di sana, ia mengambil teko, menuang bubuk kopi ke cangkir, lalu memanaskan air. Suara mendesis pelan memenuhi dapur.
Sambil menunggu air mendidih, Ava membuka kulkas perlahan. Cahaya putih dari dalam kulkas menerangi wajahnya, kontras dengan dapur yang remang. Ia mengeluarkan beberapa bahan, meletakkannya di meja, lalu menggulung rambutnya dengan sendok yang ia selipkan sembarangan.
Setelah bahan selesai ia potong, Ava membuka lemari bawah untuk mengambil mangkuk. Pintu lemari itu berdecit kecil… dan dari dalam, seekor kecoa besar merayap keluar dengan tiba-tiba.
“A—ah!” Ava terlonjak mundur sampai terjatuh duduk ke lantai. Jantungnya berdebar keras, darahnya seperti berhenti mengalir.
Namun yang membuat paniknya memuncak adalah kecoa itu berhenti tepat di depannya. Dan… bergerak maju.
“Tidak… jangan mendekat! Hush! Pergi sana!” Ava mengibas-ngibaskan tangannya panik. Namun tidak berhasil.
Ia langsung memanjat naik ke meja dapur, mengangkat kakinya tinggi-tinggi, tubuhnya gemetar dengan wajah tegang seperti akan menangis.
Di ruang tamu, Arash mengerutkan dahi. “Kenapa kopinya lama sekali?” dengusnya.
Ia bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur, langkahnya mantap namun penuh kekesalan kecil yang khas dirinya. Begitu ia sampai di dapur, ia tertegun. Ava berdiri di atas meja dapur dengan wajah pucat, rambut setengah berantakan, dan mata membelalak.
“Ava!” seru Arash, nadanya meninggi karena kaget.
Ava menoleh cepat, napasnya terengah. Melihat Arash mendekat, ia semakin gugup. “Aku… i-itu… Arash… i-itu—” Ava menunjuk lantai dengan tangan gemetar.
Arash mengikuti arah telunjuk itu… dan melihat kecoa yang diam tak bergerak di bawah meja. “Kau takut kecoa?” tanyanya, tak percaya.
“Iya!” Ava mengangguk cepat. “Tolong… tolong buang hewan itu!”
Arash baru saja hendak mengambil sesuatu untuk menyingkirkannya ketika kecoa itu tiba-tiba… terbang. Ava menjerit kecil, paniknya memuncak. Tanpa pikir panjang, ia melompat turun dari meja—tanpa melihat pijakannya.
“Ava, diam! Jangan gerak sembara—”
Namun terlambat. Kakinya tersandung kakinya sendiri, tubuhnya condong ke depan, dan ia menabrak Arash yang tepat berada di depannya. Tubuh mereka terjatuh bersamaan. Punggung Arash menghantam lantai sementara kepalanya terbentur sudut meja.
“Ah…!” Arash meringis keras.
Ava membeku di atasnya, napas tersengal. “Arash… kepalamu…”
Arash mengangkat tangannya, menyentuh pelipisnya. Saat ia melihat telapak tangannya—darah segar mengalir, mengolesi jari-jarinya.
Ava langsung berlutut, tangan gemetar saat mencoba memeriksa luka di pelipis Arash. “Arash… aku—aku nggak sengaja. Aku kaget… maaf, aku—”
Namun Arash menepis tangannya kasar. “Jangan sentuh aku!” suaranya terdengar rendah, dalam, namun penuh amarah yang ditahan. Ia bangkit perlahan sambil meringis, darahnya masih menetes di pelipis.
Ava ikut berdiri, wajahnya panik. “Arash, kau berdarah. Duduk, biar aku—”
“Aku bilang JANGAN sentuh aku!” bentaknya, lebih keras kali ini. Ava terdiam, napasnya tercekat.
Arash menyapu rambutnya ke belakang dengan gerakan kesal, rahangnya mengeras. “Aku menyuruhmu membuat kopi. Hanya itu.” Ia menunjuk ke dapur yang kini berantakan. “Kenapa kau malah membuat kekacauan seperti ini? Kau naik ke meja, teriak, dan—” ia mengusap pelipisnya lagi, wajahnya menegang menahan sakit, “–dan membuat kepalaku terbentur!”
Ava menunduk, matanya memanas. “Aku… takut. Kecoa itu—”
“Kecoa?!” Arash mendengus tajam. “Jadi karena seekor kecoa kau hampir membuatku gegar otak?”
Nada suaranya dingin, tajam, menusuk. Ava menggigit bibir bawahnya, merasa semakin kecil di depan pria itu. “Aku tidak sengaja… aku—aku benar-benar takut, Arash…”
Arash memalingkan wajahnya, napasnya berat. “Aku tidak peduli. Kau selalu saja membuat masalah.” Ia mengambil napas panjang, namun itu hanya menambah getir di suaranya. “Dan sekarang kepalaku sampai berdarah karena kau!”
Ava mengangkat wajah, matanya sudah berkaca. “Kau bisa marah… tapi biarkan aku obati dulu.”
Arash berhenti, menoleh tajam. “Aku tidak mau kau menyentuhku. Mengerti?”
Ava membeku. Arash membalikkan tubuhnya, berjalan menuju kamar dengan langkah cepat meskipun bahunya terlihat sedikit goyah. Entah karena marah atau karena sakit. Sesampainya di ambang pintu, ia masih sempat mengatakan satu hal tanpa menoleh: “Berhenti membuat hidupku lebih sulit dari yang sudah ada.”
Pintu kamar dibanting keras, membuat Ava tersentak.
.
.
.
.
.
.
.