NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 - Pertemuan Dua Cahaya

‎Pasai telah menempuh lima belas siklus sejak ia memulai pencariannya terhadap Ranu Lahu.

‎Ia telah melewati hutan-hutan yang belum pernah dijamah manusia, dipenuhi kabut dan suara binatang liar.

‎Keyakinannya membuatnya terus maju. Ranu Lahu pasti bersembunyi di tempat yang tak bisa dijangkau manusia biasa.

‎Rambutnya kini berumbai, panjang sebahu dan hitam legam, berayun diterpa angin.

‎Di wajahnya tumbuh brewok dan kumis tipis, tubuhnya kekar penuh luka goresan seperti bekas cakaran hewan buas saksi perjalanan yang panjang dan berbahaya.

‎Pasai berjalan perlahan di antara pepohonan tinggi yang menjulang seperti tiang-tiang raksasa.

‎Angin berdesir membawa suara serangga malam dan desir dedaunan kering yang bergesekan di kakinya.

‎Sudah lima belas siklus ia mencari Ranu Lahu, dan kini pikirannya mulai dipenuhi tanya.

‎"Bagaimana dengan Yaka dan Laka..." gumamnya lirih, seolah berbicara pada bayangan sendiri.

‎"Mereka berdua saudara seperguruan, dibimbing oleh guru yang sama Rasi P'rana. Tapi aku..."

‎Ia berhenti sejenak, menatap tanah lembap di bawahnya.

‎"Aku belum pantas menyandang gelar Rasi. Aku belum menjalani ujian Prahya dari guru. Aku belum siap."

‎Langkahnya terhenti ketika cahaya redup dari sela pepohonan memantulkan sesuatu yang besar dan gelap di kejauhan.

‎Matanya menyipit, mencoba memastikan bentuknya dan jantungnya berdegup keras.

‎Di hadapannya, berdiri sebuah patung batu hitam setinggi 2 manusia dewasa.

‎Bentuknya menyerupai seorang Rasi dengan kepala, tangan, dan kaki seperti manusia... walau bentuknya tidak sempurna.

‎Di sekeliling patung itu, beberapa orang berpakaian lusuh berlutut dan menyembah dengan khidmat, membisikkan doa-doa aneh dalam bahasa yang tak lagi ia pahami.

‎Pasai bersembunyi di balik batang pohon besar, memperhatikan mereka dari kejauhan.

‎Jumlahnya tak banyak, mungkin sepuluh orang laki-laki dan perempuan, dengan tubuh kurus dan pakaian compang-camping dari kulit kayu.

‎Mereka menunduk di depan patung batu hitam itu sambil menyalakan dupa dari akar kering yang retak dan berdebu.

‎Asapnya menari-nari di udara menebarkan aroma getir dan aneh.

‎"Apa yang mereka sembah?" gumam Pasai pelan.

‎"Apakah mereka lupa pada Sang Pencipta?"

‎Ia memperhatikan lebih lama.

‎Salah satu lelaki tua di antara mereka mulai berucap dengan suara serak:

‎"Wahai penjaga bumi... lindungi kami dari hujan hitam dan kemarahan langit..."

‎Pasai terdiam. Kata-kata itu membuat dadanya sesak seolah orang-orang itu tak lagi tahu kepada siapa harus berdoa.

‎Ia melihat mereka meletakkan buah liar dan darah hewan kecil di kaki patung batu itu, seolah berharap keselamatan.

‎Pasai menatap tajam, lalu melangkah maju dengan suara lantang:

‎"Berhenti! Kalian menyembah batu, bukan Sang Pencipta yang memberi kehidupan!"

‎Warga setempat menoleh dengan terkejut.

‎Beberapa mundur ketakutan, sebagian tetap berlutut, takut pada kutukan patung itu.

‎Lelaki tua yang memimpin ritual itu menatap Pasai dengan mata kosong, tapi penuh keputusasaan.

‎Pasai melangkah maju, wajahnya menegang.

‎Ia berteriak menegur, namun kata-katanya justru membuat warga terdiam bingung.

‎Bahasa mereka berbeda.

‎Nada suaranya terdengar seperti ancaman.

‎Beberapa pria mendadak mengambil batu,

‎salah satu di antara mereka berteriak keras kata-kata yang tak dimengerti Pasai,

‎namun jelas maknanya: "Pergi!"

‎Pasai mencoba menjelaskan, tapi sia-sia.

‎Batu pertama melesat, disusul batu kedua.

‎Ia menangkis dengan lengan, lalu mundur perlahan ke balik pepohonan.

‎"Mereka tak mengerti..."

‎"Mereka pikir aku musuh."

‎Dari jauh, Pasai memandangi patung hitam itu tinggi, diam, menyesatkan

‎seolah bayangan masa lalu yang menakuti manusia hingga kini.

‎Pasai menunduk dalam diam, rasa malu membebani dadanya.

‎Ia merasa tak berguna di hadapan gurunya, Rasi P'rana, sosok yang mengajarkannya tentang jalan kebenaran dan kesabaran.

‎Bagaimana ia bisa menatap wajah sang guru, bila manusia yang ia temui justru mengusirnya seolah ia pembawa kutuk?

‎Namun yang lebih membuat hatinya hancur adalah bayangan Ranu Lahu, sosok agung yang dikisahkan mampu berbicara langsung dengan Sang Pencipta.

‎Bagaimana mungkin dirinya, yang gagal menyadarkan satu pun manusia, bisa layak menemuinya?

‎Pasai teringat kembali pada perjalanan panjangnya,

‎Harimau besar yang menerkam dari balik semak,

‎ular raksasa yang membuatnya harus mendongak untuk melihat kepala,

‎laba-laba sebesar kijang,

‎dan buaya yang memandang manusia seperti ukuran surili.

‎Semua itu mampu ia kalahkan.

‎Namun lidahnya tak mampu menaklukkan hati manusia.

‎Dan di situlah ia sadar, perjuangannya belum berakhir.

‎Ia menghela napas panjang.

‎"Mungkin ini ujian kesabaran yang harus kutempuh,"

‎bisiknya lirih.

‎"Aku tak akan menyerah... selama cahaya Sang Pencipta masih menuntunku."

‎Pasai terdiam sejenak, menatap langit di sela pepohonan.

‎Teringat ia pada wahyu lama:

‎"Mengajarkan suatu kaum harus dengan bahasa kaum itu."

‎Maka kini ia mengerti,

‎mengapa tanah luas yang hampir dikuasai Lakantara memiliki begitu banyak suku, budaya, dan bahasa.

‎Setiap Rasi dan muridnya dilahirkan dari bangsa dan lidah yang berbeda,

‎agar ajaran Sang Pencipta bisa sampai ke segala penjuru tanpa terputus.

‎Namun ketika matanya kembali teringat pada patung batu hitam tadi, dadanya terasa sesak.

‎"Apakah itu pertanda," pikirnya lirih,

‎"bahwa seorang Rasi telah dibunuh oleh tentara Lakantara...

‎hingga suatu bangsa kehilangan arah dan ajaran yang dulu menuntunnya?"

‎Ia mengepalkan tangan.

‎"Bila benar begitu... maka kegelapan telah menutup sebagian dunia."

‎Tapi ia tak bisa tinggal lebih lama untuk mempelajari mereka.

‎Pesan gurunya, Rasi P'rana, terngiang kuat di benaknya:

‎"Carilah Ranu Lahu secepatnya.

‎Benua sedang berada dalam krisis moral.

‎Bila kau terlambat, cahaya akan padam."

‎Pasai menarik napas panjang.

‎Langkahnya kembali mantap, menembus kabut malam yang menggantung di antara pepohonan.

‎Ia tahu, perjalanan menuju Ranu Lahu baru saja dimulai.

‎Di sebuah tebing setinggi tiga manusia, tampak celah menyerupai pintu gerbang yang terbuka di antara batu-batu kelam.

‎Dari kejauhan, gerbang itu seolah bagian dari tebing batu yang terbelah alami. Namun, bila diperhatikan lebih dekat, rupanya itu gerbang kayu pipih yang disamarkan dengan lapisan tanah dan lumut, berkamuflase sempurna dengan bebatuan sekitarnya.

‎Seseorang keluar perlahan dari balik gerbang itu. Di tangannya tergenggam tombak batu, matanya tajam menyapu sekeliling, memastikan tak ada ancaman yang mengintai.

‎Gerakannya tenang, namun setiap langkah mengandung kewaspadaan, seolah nyawanya dipertaruhkan untuk menjaga yang lain.

‎Setelah yakin semuanya aman, ia mengangkat tanduk panjang ke bibirnya dan membunyikannya.

‎Suara terompet tanduk itu menggema 3 kali di antara tebing pertanda bagi yang di dalam bahwa dunia luar sementara ini aman.

‎Tak lama setelah bunyi terompet tanduk menggema, keluarlah empat orang dari balik gerbang batu itu.

‎Mereka membawa kantung besar yang terbuat dari kulit sapi, serta tongkat panjang untuk memikulnya. Dengan langkah hati-hati, mereka menyusuri jalan menurun menuju sungai yang mengalir di bawah tebing.

‎Di tepi sungai, mereka membuka kantung kulit itu bagian bawahnya dibentuk cekung dan diperkuat dengan lilitan tali kasar, lalu diikat pada tongkat di kedua sisi, agar mudah ditandu oleh dua orang.

‎Mereka menimba air dengan gerak cepat namun senyap, seolah setiap cipratan air pun bisa mengundang bahaya.

‎Sesekali, pandangan mereka menyapu sekeliling. Wajah-wajah tegang, tangan selalu siaga di dekat senjata.

‎Mereka tahu, bila bertemu orang luar, tak ada jaminan mereka bisa kembali ke dalam tebing dengan selamat.

‎Di dalam tebing itu, terbentang ruang besar berbentuk lingkaran yang tidak sempurna, luasnya sekitar lima ratus langkah kaki.

‎Di sana hidup hampir seribu jiwa  gabungan dari empat desa yang dulu diselamatkan oleh Yaka, yang kini dikenal dengan gelar Rasi Yaka.

‎Wilayah itu ibarat dunia kecil yang tersembunyi dari mata luar.

Di sela-sela batu dan tanah lembap, mereka menanam berbagai tanaman: umbian, pohon nangka, sukun, hingga cempedak.

Semua tumbuh subur berkat ketekunan dan pengetahuan yang diwariskan oleh para Rasi.

‎Selama lima belas siklus mereka bertahan, bersembunyi dari kejaran tentara Lakantara.

‎Anak-anak lahir dan tumbuh sehat di tempat itu generasi baru yang tak pernah melihat dunia luar, namun mendengar kisah Api Hijau dari Rasi Yaka, sebagai tanda awal penyelamatan dan kutukan zaman.

‎Empat orang penandu air akhirnya kembali melewati celah tebing dengan langkah berat.

Di antara mereka, satu orang lain berjalan membawa terompet tanduk di punggungnya.

‎Namun, kali ini bukan hanya air yang mereka bawa.

‎Di belakang mereka, seorang asing dibawa dengan tangan terikat tali serat tambang, kepalanya ditutupi kain dari serat kasar agar tak melihat jalan masuk ke tempat mereka bersembunyi.

‎Langkah para penjaga tegang, tatapan warga mulai berkumpul, berbisik penuh cemas.

‎Orang asing itu tidak melakukan perlawanan hingga memilih menyerah dengan segera dihadapkan ke hadapan Rasi Yaka, pemimpin mereka, penjaga terakhir ajaran Rasi.

‎Desas-desus menyebar cepat di antara warga: orang itu diduga mata-mata tentara Lakantara.

‎Nama Lakantara saja sudah cukup membuat sebagian warga menggigil mereka yang masih hidup pernah menyaksikan pembantaian, melihat bagaimana tentara menyeret orang-orang tak bersalah yang menolak menyerahkan bayi mereka.

‎Suasana tegang memenuhi ruang batu itu ketika Rasi Yaka berdiri. Ia sendiri yang melangkah maju, membuka penutup kepala si tawanan.

‎Begitu kain serat itu tersingkap, semua terdiam.

‎Rasi Yaka terpaku sejenak lalu matanya melebar, seolah waktu berhenti.

‎Air matanya menetes tanpa ia sadari.

‎Ia mengenali wajah itu.

‎“Pasai…” bisiknya lirih.

‎Tanpa ragu, Rasi Yaka memeluk orang yang sempat dianggap musuh itu.

‎Tangis haru pecah di antara mereka.

‎Dua saudara dalam keimanan, yang terpisah oleh waktu, akhirnya dipertemukan kembali di tengah tebing tersembunyi, di antara sisa-sisa dunia yang masih berpegang pada cahaya Rasi.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!