NovelToon NovelToon
DRAMA SI SANGKURIANG

DRAMA SI SANGKURIANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Tamat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB1 PAGI BANDUNG YANG TERLALU CERAH

​Pagi di Bandung selalu memiliki melodi yang khas: udara dingin yang menusuk namun menyegarkan, disusul kehangatan matahari yang perlahan naik di atas pegunungan. Cahaya pagi memantul dari embun yang menempel di rerumputan halaman rumah sederhana Nawangsih. Rumah itu kecil, namun selalu terasa hangat dan bersih.

​Di tengah halaman, REZA (5 tahun) sedang menjalani sesi balap paling penting dalam hidupnya. Sepeda roda tiganya yang dicat biru sudah kusam dan penuh debu. Ia duduk tegak, kaki pendeknya mengayun kencang di udara, mulutnya tidak berhenti mengeluarkan suara knalpot mobil balap yang berisik, “Ngeeeng! Ngeeeng! Vroom!” Tawa polosnya adalah pusat semesta kecil di pagi itu.

​Dari balik jendela dapur, sosok NAWANGSIH terlihat. Ia mengawasi Reza, senyum lembut terukir di wajahnya. Nawangsih, yang secara kronologis telah melewati usia dua puluh tahun dan telah menjadi ibu, memiliki keindahan yang anomali. Ia terlihat seperti seorang mahasiswi yang sedang libur kuliah. Kulitnya mulus, rambutnya diikat asal, dan ia mengenakan kaus rumahan longgar—penampilannya memancarkan aura muda yang tidak sesuai dengan perannya sebagai ibu tunggal dari anak laki-laki berusia lima tahun. Keajaiban awet muda ini adalah rahasia yang ia sembunyikan dengan rapat, sebuah ironi tragis yang kelak akan menghancurkan kehidupannya.

​Nawangsih bergegas menuju mesin cuci. Ia mengangkat pakaian basah dari tabung, wangi deterjen dan pelembut kain memenuhi ruangan. Rutinitas rumah tangga ini, yang ia lakukan sendirian, adalah pengikatnya pada realitas. Ia harus tampak sibuk, harus tampak keibuan, agar tidak ada tetangga yang bertanya mengapa ia terlihat tidak menua.

​Setelah mencuci, Nawangsih beralih ke dapur. Aroma tumis kangkung dan nasi goreng spesial Reza mulai mengepul, menggantikan wangi deterjen. Ia melakukan semuanya dengan cekatan, membagi fokusnya antara kompor dan putranya di luar.

​"Reza! Mandi, sayang! Mama sudah siapkan sarapan! Jangan main lumpur terus, nanti gatal-gatal lagi!" teriaknya lembut dari ambang pintu.

​Reza, yang sedang berada di putaran terakhir balapannya, hanya menjawab dengan gumaman keras, menolak untuk berhenti.

​"Lima putaran lagi, Ma! Ngeeeng! Juara satu!"

​Nawangsih menggelengkan kepala, senyumnya semakin lebar. Ia kembali ke tali jemuran portabel, merentangkan kemeja kerjanya. Pikirannya melayang. Ia sadar, ia harus selalu memastikan dirinya berperilaku selayaknya ibu-ibu pada umumnya—penuh perhatian, sedikit cerewet, dan sangat protektif—agar perbedaan usia yang kasat mata itu tidak menjadi pertanyaan bagi Reza seiring ia tumbuh besar.

​Tiba-tiba, suara deru imajiner Reza terhenti total. Ia menoleh ke arah jendela Nawangsih, wajahnya yang kotor dan menggemaskan itu memasang ekspresi memelas andalannya.

​"Ma..."

​"Kenapa, Nak?" tanya Nawangsih, sedikit membungkuk untuk mendengar.

​"Mau es krim rasa cokelat yang ada kacangnya! Kata Mang Ujang, barusan datang yang baru!"

​Nawangsih menghela napas, pura-pura keberatan. Padahal, ia selalu menyimpan sedikit uang lebih untuk memanjakan Reza. Ia tahu, es krim sebelum sarapan adalah sebuah pelanggaran, tetapi melihat mata berbinar putranya, ia tidak pernah bisa menolak. Kelembutan ini adalah kelemahan terbesarnya.

​Nawangsih berjalan ke meja, mengambil dompet kulit lusuh yang selalu ia sembunyikan di balik tumpukan majalah. Ia mengeluarkan selembar uang pecahan kecil yang ia simpan khusus untuk pengeluaran dadakan Reza.

​Ia berjalan ke pintu depan, berjongkok di hadapan Reza yang kotor dan penuh semangat. Ia menatap wajah Reza, melihat betapa cepatnya putranya tumbuh, dan betapa cepatnya ia harus membesarkan anak ini sendirian.

​"Cuma boleh satu ya, Nak. Setelah ini, janji langsung mandi bersih? Gosok gigi, ya. Mama sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu, nanti dingin kalau kamu lama-lama main."

​Reza dengan cepat menyambar uang itu, tangannya yang kotor menyentuh kulit lembut Nawangsih.

​"Janji! Terima kasih, Mama cantik!"

​Reza mencium pipi Nawangsih, meninggalkan jejak tanah kering yang kotor dan sedikit basah di sana. Nawangsih memejamkan mata sejenak, menerima kehangatan sentuhan itu. Ia mengusap bekas kotoran itu dengan ujung jarinya, lalu memandang anaknya yang berlari sekuat tenaga menuju warung di ujung gang.

​Selama beberapa saat, Nawangsih hanya berdiri di sana, membiarkan keheningan menelannya. Tatapan matanya yang tadi penuh senyum, perlahan berubah menjadi sendu. Ia memikirkan bagaimana ia harus terus mempertahankan fasad ini—seorang ibu muda yang membesarkan anak dengan penuh kasih. Tetapi, ia tahu, Reza akan tumbuh. Reza akan berubah. Dan ia, si ibu, akan tetap sama mudanya. Ketidaksesuaian ini adalah bom waktu.

​Nawangsih kembali ke dalam rumah. Ia membereskan sisa cucian, mencuci piring, dan memanaskan nasi goreng. Pikirannya kini sudah terisi penuh oleh kecemasan tentang masa depan: bagaimana ia akan menjawab pertanyaan Reza ketika putranya bertanya mengapa ibunya tidak pernah menua, atau mengapa ia tidak memiliki ayah. Semua kenangan itu ia kunci rapat-rapat, terperangkap di balik wajah yang terlalu muda.

​Ia hanya bisa berdoa, agar hari-hari damai, yang dihiasi suara sepeda roda tiga dan permintaan es krim, dapat bertahan selama mungkin.

1
Agustina Fauzan
baguuus
gilangsaputra
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!