Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Bab 24
“Ruangan A1!” perintah Rangga tenang kepada pelayan yang menyambutnya.
Pelayan itu membalas dengan senyum sopan. Pakaian tradisionalnya disempurnakan dengan syal sutra yang melingkar di pergelangan tangan. Ia melangkah di depan sambil menuntun, “Silakan lewat sini, Pak.”
Rangga mengangguk lalu mengikuti. Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang makan besar yang berkesan kuno — lampu-lampu gantung bergaya klasik, panel kayu, dan sebuah meja panjang yang menempati pusat ruangan. Deretan pelayan berpakaian seragam berdiri rapi di sisi-sisinya.
Ruangan A1 memang ruang terbaik restoran itu. Harganya selangit, pelayanan istimewa, dan konon akan ada pertunjukan khusus setelah makan. Meski hanya sebatas pengalaman, banyak orang datang demi suasana semacam ini.
Di dalam ruangan, sudah ada beberapa tamu yang duduk. Luis, yang tadinya terlihat di jembatan layang, nampak menjadi wakil bagi Keluarga Stanley. Di sekelilingnya duduk dua orang tua berwibawa dan dua pria paruh baya—jelas mereka adalah figur-figur tingkat dewa dari keluarga-keluarga lain, sementara pria-paruh baya itu tampak sebagai pemimpin generasi sekarang.
Begitu Rangga melangkah, semua mata tertuju padanya. Kecuali Luis, yang tampak biasa saja, wajah para tetamu lain jelas mengekspresikan keterkejutan. Meski kabarnya Rangga memang masih muda, kenyataan melihatnya berdiri di depan mereka menimbulkan rasa tak percaya.
Usianya memang masih di bawah tiga puluh, namun posisinya sebagai peringkat ketiga dalam Daftar Master membuat semua itu sulit diterima begitu saja.
Setelah jeda singkat, seorang pria tua bersuara dingin, “Kalian semua, mundur dulu.”
Sekelompok pelayan wanita dalam kostum tradisional memberi hormat, mengibaskan kain sutra, lalu meninggalkan ruangan dengan tenang. Pintu besar ditutup, menyisakan suasana hening yang tegang.
Salah satu pria tua menatap Rangga tajam. Rangga melangkah mendekat dan meraih sebuah kursi. Ia baru hendak duduk ketika pria tua itu memotong, “Apakah aku memberimu izin untuk duduk?”
Rangga menatap balik dengan senyum tipis. “Perlu izin darimu untuk duduk? Apakah sopan santun harus begitu di sini?” jawabnya santai, nada yang cukup mengagetkan pria tua tersebut.
Namun melihat posisi Rangga—peringkat tiga—orang tua itu menahan amarahnya, menggeram pelan. “Baiklah. Silakan duduk terlebih dahulu. Kita bicara santai. Perkenalkan, marga saya Rizaldi — nama lengkap saya Role Rizaldi. Ini generasi Lazuardi saat ini, Madur Rizaldi. Di samping saya ada Sindoro. Beliau adalah Sunu Sindoro dari keluarga Sindoro.” Ia menunjuk satu per satu pada yang hadir.
Setelah perkenalan singkat, ia menoleh ke Luis. “Luis, kau pasti sudah tahu. Aku tak perlu menjelaskan panjang lebar.”
Rangga mengangguk singkat. “Baik. Mari langsung ke inti permasalahan.”
Tanpa basa-basi, ia mengambil mangkuk dan sumpit, melirik sekilas isi meja, lalu mulai makan seolah tak terpengaruh suasana. Sikap acuh itu membuat raut Sunu berubah, jelas ada sedikit ketidaksenangan. “Rangga, apakah kau memang setegar ini menghadapi Dirman? Untunglah kami masih boleh disebut orang tuamu. Orang tua bahkan belum menyentuh makanannya, tapi kau sudah seenaknya mengambil makanan?” sindir Sunu.
Rangga melambaikan tangan. “Kalau kalian ada masalah, utarakan saja intinya. Soal siapa yang tua atau tidak, siapa yang kenal atau tak kenal—itu bukan urusanku.”
Sunu menggeram, memaksa menahan amarah. Role menatap dingin, “Kau memang terlalu percaya diri, anak muda. Kalian para pemuda yang mendapat sedikit bakat tiba-tiba merasa tak terkalahkan.”
Rangga tetap tenang. Ia meletakkan sumpitnya, menatap satu persatu, lalu berkata, “Jika kalian memang punya yang ingin dikatakan, katakan sekarang. Kalian datang untuk bernegosiasi — langsung saja sebutkan maksud kalian.”
Role membuka suara, “Sederhana. Kami ingin menanyakan satu hal: Miko Stanley tewas karena tanganmu, bukan?”
Rangga mengangguk pelan. “Kalau kau mau menyebutnya begitu, tak masalah. Lalu?”
“Jaga sikap!” bentak Role mendengar jawaban enteng itu. Ia mulai terpancing. “Selama kau mengakuinya, itu sudah cukup. Dulu kami adalah empat keluarga tingkat dewa dan menandatangani perjanjian dengan Night Watcher — kami menaati aturan, tidak mencampuri urusan biasa. Namun kini kau merobek perjanjian itu sendiri.”
“Kalian terlalu mengada-ada,” jawab Rangga tenang. “Aku sudah dikeluarkan dari Night Watcher dan menerima Scarlet Order. Kalian harusnya sudah tahu. Ini bukan urusan Night Watcher lagi. Miko Stanley itu—dia melakukan hal-hal yang tercela. Kebetulan dia musuh sahabatku; aku hanya membantu balas dendam, itulah semuanya.”
“Benarkah kau sungguh percaya omonganmu itu?” cibir Sunu. “Dikeluarkan dari Night Watcher? Atau pura-pura? Bukankah Night Watcher melihat keberadaan keluarga kami sebagai ancaman, lalu berpura-pura mengeluarkanmu agar kau bisa diserahkan pada kami?”
Rangga hanya terdiam sesaat. Ia mengerutkan alis, menatap Luis, lalu menanyakan, “Sekarang yang terjadi sudah begini, apa rencana kalian?”
Mata Sunu menyempit. “Kami tak peduli apa yang Miko Stanley lakukan sebelumnya. Dia beraliansi dengan keluarga kami dan ada perjanjian dengan Night Watcher. Kau merobek perjanjian itu dan membunuhnya—kau harus membayar. Kami menuntut pernyataan.”
Rangga menatap penuh perhatian. “Pernyataan seperti apa?”
Role merinci dengan tenang namun dingin. “Tiga syarat. Pertama, serahkan Raysia — dia yang membunuh Miko Stanley. Nyawanya harus menyamai nyawa yang hilang.”
“Kedua,” lanjut Sunu, “kau sendiri harus patahkan tanganmu. Anggap itu hukuman untuk dirimu sendiri sebagai kaki tangan.”
“Ketiga, kau harus pergi sendirian ke Kota Yanzim, berlutut di hadapan keluarga mereka, dan meminta maaf sampai mereka benar-benar memaafkanmu.”
Role menambahkan, “Ini juga syarat bagi Dirman. Kami rasa ia tak akan berani menentang.”
Rangga mendengarkan tanpa tergesa. Ia menyadari ketiga keluarga tersembunyi itu benar-benar melihat diri mereka sebagai pihak yang berkuasa. Bagi Night Watcher, jika ratusan petarung puncak bergabung dengan RedLotus maka konsekuensinya besar—itulah yang mereka khawatirkan.
Mendengar tuntutan itu, Rangga hampir tak menahan diri untuk tidak langsung menampar. Ia menatap satu per satu hadirin, lalu berkata dingin, “Bagaimana jika aku menolak?”
Role menjawab tegas, “Itu pernyataan kami. Setiap syarat harus dipenuhi. Kalau tidak—” ia menatap tajam, “—ketiga keluarga kami akan bergabung dengan RedLotus. Kekuatan mereka besar. Kami tidak yakin kau mampu menanggungnya.”
Sunu menambahkan mengejek, “Anak muda, kami akui bakatmu hebat, tapi kau terlalu muda. Pikirkan konsekuensinya; itu satu-satunya pilihanmu.”
Rangga menyingkap sedikit senyum sinis, menyentuh hidungnya, dan menatap mereka langsung. “Kalian terlalu membesar-besarkan. Aku tidak akan memenuhi syarat kalian.”
Sejenak ruang hening. Lalu wajah-wajah tua itu memancarkan amarah dingin — seolah baru saja ditantang. Rangga terus menatap penuh ketegasan, tatapannya menyiratkan janji yang mengerikan. “Kalau kalian memilih bergabung dengan RedLotus, dengarkan baik-baik. Aku memberi satu jaminan: selama kalian ikut bergabung, satu per satu, aku akan membunuh seluruh anggota ketiga keluarga itu—tanpa sisa.”
Nah Kau.. Ngancam kena Ancam Kan.. Rangga Diancam,, Waduh waduh gimana kisah selanjutnya?
Bersambung
thumb up buat thor