"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 24
Darwis dan Gilang duduk berdua di tangga teras. Darwis baru saja menceritakan alasan mengapa ia menyuruh Irvan melupakan Raisa. Gilang hanya diam, masih sulit mempercayai apa yang telah dilakukan Raisa terhadap sahabatnya itu.
"Irvana adalah orang yang sangat emosional. Jika dia tahu semuanya, itu akan sangat menghancurkan hatinya," jelas Darwis sambil menarik napas dalam, menatap langit sejenak sebelum melanjutkan, "Dan jika dia tahu hal itu, sudah pasti Irvana akan membunuh Raisa terlebih dahulu-- dan setelah itu, dia akan membunuh dirinya sendiri." Ia terdiam sesaat sebelum kembali berbicara, suaranya mulai bergetar.
"Karena itu aku mengirim dia ke padang pasir untuk mengambil kerikil. Aku juga yang menyuruh Paman Darun menyiapkan ledakan itu, agar Irvana tertahan di sana dan tidak bisa pulang supaya dia tidak menyaksikan pernikahan Raisa hari itu." Darwis menghela napas panjang. "Tapi-- kau malah menelpon dia dan memberitahunya tentang pernikahan Raisa."
Gilang yang mendengar semua cerita itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kasar. Kedua tangannya terkepal kuat, jelas ia sangat marah mendengar Irvana dipermainkan seperti itu.
"Tapi kenapa Raisa melakukan itu? Apa alasannya di balik semua ini?" tanyanya tidak mengerti. "Aku harus bicara dengannya. Harus!"
Darwis menatapnya dan berkata pelan, "Sebelum kau bicara dengannya, aku sudah bicara lebih dulu-- waktu itu."
Gilang sontak menoleh, matanya membulat tak percaya.
~Flashback On~
Di balkon yang menghadap ke halaman rumah Raisa, Darwis berdiri berhadapan dengan gadis itu. Tangannya masih diperban akibat kecelakaan. Raisa melangkah mendekat, memasang wajah sedih seolah turut terluka seperti Irvana.
"Kau sudah membuat janji dengan putraku, tapi kenapa saat janji itu akan ditepati, kau malah memilih pria lain untuk menikahimu? Dan pergi meninggalkan janji itu begitu saja!" tegur Darwis tegas.
Raisa menunduk, pura-pura menahan tangis. "Paman, aku sudah mencoba menjelaskan semuanya pada Papah. Aku juga setiap hari menangis, bahkan sampai tidak makan. Tapi paman tahu sendiri bagaimana Papahku. Semua orang menentang hubunganku dengan Irvana," ucap Raisa dengan nada bergetar, berusaha meneteskan air mata, namun tak setetes pun keluar.
Darwis tersenyum miring, menahan emosi yang mulai naik. "Jujur, aku bersumpah bahwa aku---"
"Cukup, Raisa! Aku sudah cukup melihat drama palsumu ini," potong Darwis dengan nada meninggi. Raisa terdiam seketika. "Kau bersikap seperti ini agar terlihat jujur, kau memang terlalu pandai menyembunyikan kebohonganmu selama ini," lanjut Darwis dingin.
Raisa mengangkat wajahnya, keningnya berkerut, ia tahu apa maksud Darwis.
"Kau mungkin bisa membohongi Irvanaku yang lugu, tapi tidak denganku, Raisa. Aku ada di sana malam itu-- dan aku mendengar semua yang kau katakan pada Papahmu."
Senyum licik muncul di wajah Raisa. "Oooh--- jadi karena itu kau bersikap seolah kau adalah pahlawan untuk anakmu?" ucapnya mengejek sambil menyilangkan tangan di dada.
Darwis menatapnya tak percaya atas perubahan sikap gadis itu.
"Dengar, Paman Darwis," kata Raisa dengan nada tinggi, "Kalau anakmu menganggap pertemuannya denganku adalah cinta, itu salah dia sendiri. Lagi pula, derajat keluargaku tidak sepadan dengannya-- apalagi denganmu."
Ucapan itu membuat darah Darwis berdesir panas.
"Dan saat kau bersenang-senang dengannya selama ini, kenapa kau tidak memikirkan derajatmu? Kenapa kau mau mengenalnya?" balas Darwis dengan nada tajam.
"Paman Darwis," jawab Raisa santai, "semua orang berpesta, menari, dan minum untuk hiburan itu tanpa memandang derajat mereka. Irvana juga adalah bagian dari hiburanku, Paman." Raisa tersenyum sinis. "Aku tidak pernah memaksanya. Dia sudah dewasa. Apa pun yang terjadi antara kami adalah atas dasar suka sama suka."
Darwis menggertakkan gigi, menahan amarah. "Kau tidak tahu, Raisa. Dia pria lugu yang tumbuh di desa, bukan di luar negeri. Dan kau telah membodohinya. Membuat dia mengikuti skenario yang kau tulis sendiri!"
Raisa mendengus pelan. "Paman, dengar. Mau dari desa atau dari kota, itu bukan masalah. Tapi kalau pikirannya lugu, ya itu salahnya sendiri. Zaman sekarang sudah modern, sudah tidak ada lagi istilah cinta pada pandangan pertama. Dan berkencan itu sudah hal biasa di London. Apalagi---"
"Yang kau anggap biasa, bukan hal yang biasa untuknya, Raisa!" potong Darwis keras.
"Kalau begitu, katakan saja pada Irvanamu bahwa aku telah mengkhianatinya! Katakan bahwa aku tidak pernah mencintainya!" pekik Raisa sambil menatap tajam. "Dan satu lagi, jangan pernah coba-coba menghalangi pernikahanku dengan Febri. Papahku adalah politikus besar_ orang yang sangat berpengaruh. Dia bisa menghancurkan hidupmu dan juga hidup anakmu!"
Darwis terdiam. Ia tak menyangka, gadis kecil yang dulu sering ia gendong dan manja padanya kini berubah menjadi sosok licik dan tak berperasaan.
~Flashback Off~
Setelah menceritakan semuanya, Darwis menatap Gilang dengan mata berkaca.
"Kau tahu, saat itu aku ingin sekali membakar rumahnya agar pernikahan itu tidak terjadi. Tapi semuanya sudah terlambat. Lalu bagaimana caraku memberitahu Irvan tentang kebenaran yang sebenarnya?"
Gilang terdiam lama, wajahnya menegang. Ia benar-benar tidak menyangka Raisa bisa sejahat itu.
"Dan kau tahu," lanjut Darwis lirih, "Dharma sudah terlalu banyak menanggung rasa sakit. Semua penderitaannya bukan karena Irvana, tapi karena ulah anaknya sendiri."
Hati Darwis terasa teriris mengingat semua kejadian yang telah berlalu_ tapi apa boleh buat, semuanya sudah terjadi.
Keesokan paginya, Raisa berdiri termenung di halaman belakang rumahnya. Pandangannya kosong menatap tebing dan pepohonan tinggi di kejauhan. Angin berhembus pelan, menerbangkan rambut panjangnya yang terurai. Tangannya menggenggam pagar besi di taman itu.
Tiba-tiba, Dharma muncul dari belakangnya dengan langkah cepat. Ia berdiri di samping Raisa, menatap putrinya yang masih melamun tanpa senyum\_ mungkin sedang teringat kejadian semalam, saat Irvana memaksa ingin membawanya pergi.
"Kau memikirkan dia, Raisa? Kau takut dia benar-benar akan membawamu pergi?" tanya Dharma datar.
Raisa menggeleng pelan dan menoleh pada sang Papah. "Tidak, Pah. Aku tidak memikirkannya.'
Dharma tersenyum miring. "Ya-- dan untuk apa kau memikirkannya. Benar begitu, Raisa?" katanya dengan nada sinis.
"Kau sudah berhasil membuat seorang pria berputus asa demi cintamu selama tiga tahun. Dia bahkan rela menghancurkan dirinya sendiri, dipukuli polisi berkali-kali, bahkan menumbangkan seluruh usahaku." Dharma menatap Raisa tajam. "Dan sekarang-- untuk apa kau memikirkannya lagi, iya kan Raisa?"
**Deg!**
...**----------------**...
**Next Episode**...
tamat ternyata,y ampuun
hanya karena cinta semua jadi berantakan,persahabatan n juga ikatan hangat yg dulu pernah terjalin,hm
makasih Thor
d tunggu cerita selanjutnya.
kabar kabarin yaaa 😊
semangat
terus itu ciuman bentuknya apa Raisaaaaa,ikh nh ce
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut