Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi itu matahari menembus tirai tipis kamar, memantulkan cahaya keemasan yang lembut di seluruh ruangan.
Burung-burung di luar jendela terdengar berceloteh riang, menandakan hari baru yang cerah telah datang.
Husna perlahan membuka matanya dan pandangannya masih samar karena cahaya pagi yang masuk.
Ia merasakan sesuatu yang hangat di pinggangnya lengan yang melingkar lembut, menahannya tetap dalam dekapan.
Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia tersentak kecil.
Wajah Jovan begitu dekat, hanya beberapa inci dari wajahnya. Nafasnya hangat, dan ekspresinya begitu tenang dalam tidur.
Husna menelan salivanya, pipinya langsung memerah.
“A-apa aku sedang bermimpi?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Ia memejamkan mata sebentar, mencoba memastikan apakah ini nyata atau sekadar bayangan dari pikirannya sendiri.
Tapi kemudian, lengan Jovan bergerak. Ia semakin mendekat, mempererat pelukannya, hingga dada mereka hampir bersentuhan.
Jovan membuka matanya perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya.
Ia menatap istrinya yang masih kebingungan dengan sorot hangat.
“Pagi, Na…” ucapnya dengan suara serak lembut khas orang yang baru bangun.
Husna masih terdiam, matanya membulat, tak tahu harus bersikap bagaimana.
Ia ingin bangun, tapi tubuhnya tak mau bergerak antara malu dan bahagia yang berbaur jadi satu.
Lalu, tanpa peringatan, Jovan menunduk sedikit dan mengecup keningnya dengan lembut.
Ciuman itu begitu singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Husna berdetak tak karuan.
Jovan tersenyum tipis, suaranya hangat dan tenang.
“Kamu nggak bermimpi, sayang,” bisiknya pelan, tepat di telinganya.
Husna menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, pipinya merona.
Ia tak mampu berkata apa-apa, hanya tersenyum kecil dengan perasaan campur aduk di dadanya antara malu, haru, dan bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Terdengar ketukan lembut di pintu kamar.
Tok… tok… tok…
Jovan yang masih memeluk Husna segera menoleh, sementara Husna buru-buru merapikan selimut di dadanya, pipinya masih sedikit memerah.
Pintu perlahan terbuka, dan Mama Riana muncul sambil tersenyum lembut.
Di pelukannya, ada Ava, si kecil yang kini sudah berusia tiga bulan.
“Van… Ava dari tadi rewel, sepertinya rindu sama mamanya,” ujar Mama Riana sambil mendekat, menyerahkan bayi mungil itu ke pelukan Jovan.
Begitu berpindah ke tangan ayahnya, Ava langsung menggerakkan tangan mungilnya dan mengoceh pelan, seolah mengenali wajah di sekitarnya.
Husna tertawa kecil melihat tingkah putrinya.
“Aduh, Nak. Kamu rindu ya sama Mama?” ucapnya lembut sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi kecil Ava.
Ava menatap wajah ibunya, matanya berbinar cerah, lalu tiba-tiba tertawa kecil suara bayi yang polos membuat seluruh ruangan terasa hangat.
Jovan ikut tersenyum, matanya penuh kasih. Ia duduk di tepi tempat tidur, lalu dengan hati-hati mendudukkan Ava di atas selimut, di antara dirinya dan Husna.
“Nih, Ava. Peluk Mama, ya,” ucap Jovan sambil membantu menuntun tangan mungil anaknya ke arah dada Husna.
Ava menggenggam jari ibunya dengan erat, lalu mengoceh pelan sambil tersenyum lebar, menampakkan lesung pipi kecilnya.
Husna menatap anaknya dengan mata yang berkaca-kaca, tapi kali ini bukan karena sedih melainkan karena bahagia.
“Lihat, Van…” katanya sambil tertawa lembut.
“Ava sekarang udah bisa tertawa.”
Jovan menatap kedua malaikat kecilnya, istri yang perlahan sembuh, dan bayi mungil yang menjadi simbol cinta mereka. Ia tersenyum haru.
“Iya, Na. Dan tawa Ava hari ini, adalah suara paling indah yang pernah kudengar.”
Setelah sarapan pagi yang hangat bersama, aroma roti panggang dan teh melati masih tercium lembut di ruang makan.
Husna tampak duduk di samping Jovan, mengenakan gaun rumah sederhana, sementara Ava tertidur di pelukan Mama Riana.
Jovan menatap istrinya yang mulai terlihat lebih segar dari hari-hari sebelumnya.
Senyumnya muncul perlahan lembut namun penuh makna.
“Na,” ucapnya pelan, membuat Husna menoleh.
“Aku punya rencana, kalau kamu sudah benar-benar sembuh nanti, aku mau ajak kamu bulan madu.”
Husna tertegun sejenak, matanya membulat kecil.
“Bulan madu?” tanyanya, seolah tak percaya.
“Iya. Selama ini kita nggak pernah sempat. Setelah semua yang sudah terjadi… aku ingin kita mulai lagi dari awal, dari cinta yang sebenarnya. Bukan karena kontrak, bukan karena luka — tapi karena kita berdua memang ingin bersama.”
Husna menunduk, pipinya memerah pelan. Ia tidak menjawab langsung, hanya memainkan ujung gelas di depannya dengan senyum malu-malu.
“Aku takut ganggu pekerjaan kamu nanti.." gumamnya lirih.
Jovan tertawa kecil, lalu menggenggam tangan istrinya di atas meja.
“Yang aku butuh sekarang cuma kamu sembuh. Urusan kerja, bisa menunggu. Aku cuma ingin kita punya waktu berdua, tanpa rasa sedih, tanpa bayang-bayang masa lalu.”
Burak yang sejak tadi duduk di kursi seberang, menatap mereka berdua sambil tersenyum lebar.
“Papa setuju, Van. Sudah waktunya kalian menikmati kebahagiaan kalian sendiri.”
Mama Riana mengangguk setuju, matanya berbinar lembut.
“Iya, Husna. Kamu juga butuh udara segar, sayang. Setelah semua cobaan itu, kamu pantas dapat kebahagiaan.”
Husna menatap kedua mertuanya dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Pa, Ma. Aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa.”
“Ava biar bersama Papa dan Mama selama kalian pergi. Kami yang akan jagain cucu kecil kami itu. Kalian nggak perlu khawatir.”
Jovan tersenyum lega, sementara Husna memegang dadanya, antara terharu dan canggung.
“Beneran, Pa? Tapi Ava masih kecil…”
Mama Riana mengusap tangan menantunya lembut.
“Justru itu, biar kamu bisa fokus pulih dulu. Lagipula, Papa kamu itu pasti senang banget bisa jagain Ava.”
“Iya dong, Papa udah siap jadi babysitter terbaik.”
Semua tertawa kecil bersama dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, meja makan keluarga itu dipenuhi tawa yang tulus tanpa kesedihan, tanpa air mata.
Dan di antara tawa itu, Jovan menggenggam tangan Husna lebih erat, menatapnya dalam-dalam.
“Jadi kamu siap, Na? Setelah sembuh, kita mulai dari awal kamu, aku, dan cinta yang sesungguhnya?”
Husna menatapnya, lalu mengangguk pelan dengan senyum yang meneduhkan.
“Aku siap, Van.”
Suasana sore itu terasa hangat namun juga mengharukan.
Di ruang tamu keluarga, koper besar sudah tersusun rapi di dekat pintu. Ayah Yudha dan Ibu Maria bersiap untuk kembali ke Indonesia setelah beberapa minggu menemani Husna menjalani masa pemulihan.
Husna yang kini sudah bisa berjalan dengan lebih baik mendekat perlahan, senyum lembut terpancar di wajahnya.
“Ibu sama Ayah beneran mau pulang hari ini?” tanyanya pelan, suaranya terdengar lirih menahan haru.
Ibu Maria mengangguk sambil membelai pipi menantunya.
“Iya, Nak. Ayah dan Ibu sudah terlalu lama di sini. Di rumah juga banyak yang harus diurus. Tapi tenang, kalau kamu sudah benar-benar sehat, kalian semua harus ke Indonesia, ya. Biar rumah kita rame lagi,” ujarnya dengan senyum lembut.
Husna tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca.
“Terima kasih, Bu, Yah. Sudah selalu ada buat aku, selalu doain aku,” ucapnya sambil menunduk.
Ayah Yudha menepuk lembut bahu putrinya.
“Nak, kamu udah kuat sekarang. Ayah bangga sama kamu. Jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu banyak pikiran, dan dengarkan Jovan. Dia suami yang baik, Jovan bisa lihat itu.”
Jovan yang berdiri di samping Husna menundukkan kepala sopan.
“Terima kasih, Yah, Bu. Kami akan baik-baik saja di sini.”
Ibu Maria kemudian membuka tangan, dan Husna langsung memeluk kedua orang tuanya erat-erat. Tangis kecil lolos dari bibirnya.
“Ayah, Ibu, hati-hati di jalan, ya,” ucapnya dengan suara bergetar.
Ayah Yudha tersenyum sambil mengusap kepala putrinya lembut.
“Jangan menangis, Nak. Doa Ayah dan Ibu selalu menyertai kamu.”
Husna mengangguk pelan, mencoba menahan air mata yang sudah jatuh di pipinya.
Burak dan Mama Riana ikut menghampiri mereka, memberikan pelukan dan ucapan terima kasih.
“Titip salam untuk keluarga di Indonesia, ya, Yudha,” ucap Burak ramah.
“Tentu, Burak. Terima kasih sudah menjaga anak dan cucu kami dengan sangat baik,” balas Ayah Yudha sambil tersenyum tulus.
Setelah beberapa menit berbincang, suara sopir yang datang menjemput terdengar dari luar.
Jovan membantu membawa koper ke mobil, sementara Husna berdiri di teras, melambaikan tangan dengan mata yang masih sembab.
Mobil perlahan melaju menjauh dari halaman rumah.
Husna masih berdiri, menggenggam tangan Jovan erat.
“Van, rasanya sedih melihat Ayah dan Ibu pulang,” bisiknya pelan.
Jovan menatapnya lembut, lalu merangkul bahunya.
“Ayah dan Ibu nggak pergi jauh, Na. Mereka cuma pulang sebentar. Dan mereka bahagia karena tahu kamu sekarang sudah kuat.”
Husna tersenyum kecil, menyandarkan kepala di bahu suaminya.
“Hmmiya. Aku akan buat mereka bangga.”