Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Perburuan
Pagi yang bening menyelimuti perbukitan di mana mansion Damian berdiri, angin menyapu ringan ilalang dan dedaunan, mengalirkan semangat berburu ke dalam dada setiap Ksatria Cahaya yang telah berkumpul di halaman depan seusai sarapan. Gemerincing armor ringan dan suara tawa lepas terdengar bersahut-sahutan, sementara langit membentang biru bersih tanpa bayang awan.
Para ksatria lelaki maupun perempuan, mengenakan pakaian tempur ringan yang disiapkan oleh pengurus mansion. Pelayan-pelayan sibuk membagikan kantong perbekalan, panah berburu, hingga hewan tunggangan khusus untuk yang memilih menjelajah lebih jauh ke hutan.
Di sisi timur halaman, kerumunan gadis-gadis ksatria tampak mengelilingi satu sosok yang berdiri sedikit lebih tinggi dari kebanyakan manusia. Damian dengan kemeja hitam terbuka di bagian dada dan sarung tangan perak yang berkilau samar, tersenyum tipis saat para gadis bertanya satu demi satu.
“Tuan Damian, apakah benar Anda belum menikah?”
“Ada rumor Anda pernah tinggal di istana Kaisar Lautan Selatan, apakah itu benar?”
“Kalau boleh tahu, apakah Anda menyukai wanita yang kalem atau yang berani seperti Ksatria Cahaya?”
Pertanyaan demi pertanyaan mengalir deras, diiringi tawa gugup dan pandangan penuh harap. Awalnya Damian menjawab dengan acuh tak acuh, senyumannya malas meski tetap memikat. Namun segalanya berubah saat dari arah gerbang mansion, Kate muncul bersama timnya.
Gadis itu mengenakan jubah tempur ringan warna kelabu, rambutnya dikuncir rendah, dan matanya menyapu sekeliling halaman dengan dingin. Teman-temannya tertawa kecil, tak menyadari bagaimana tatapan Damian segera teralih pada gadis itu.
Kate berjalan melewati kerumunan tanpa menoleh, meskipun ia dapat merasakan pandangan Damian membakar punggungnya. Ia sempat melirik sekilas ke arahnya dan Damian tidak melewatkannya.
Seketika itu pula, sang pangeran Nether memasang senyum paling memesona yang bisa ia tarik. Dengan gerakan santai, ia merangkul salah satu gadis ksatria yang sedang tertawa, berbisik di telinganya sesuatu yang membuat pipi si gadis langsung bersemu merah. Damian bahkan tertawa kecil, berpura-pura terlibat dalam percakapan ringan.
Kate menghentikan langkahnya sejenak, menoleh ke arah keramaian itu. Tatapannya tajam, alisnya mengerut sebentar. Ia lalu membalikkan badan dan melanjutkan langkah, meninggalkan Damian dengan sejumput kepedihan di matanya. Damian memandangi punggung Kate hingga menghilang di balik bayangan para ksatria lain, lalu tersenyum kecil.
“Cemburu itu awal dari cinta yang belum kau akui, istriku,” gumam Damian pelan.
Tak lama kemudian, lonceng perak di pelataran berbunyi nyaring, tanda acara perburuan akan segera dimulai. Semua ksatria dan peserta yang telah berkumpul mulai memusatkan perhatian ke panggung kecil tempat Damian berdiri, didampingi oleh beberapa pengurus mansion dan dua tetua dari Kastil Ceaseton.
Damian mengangkat satu tangan untuk memanggil perhatian. Suaranya lantang dan penuh wibawa saat ia berbicara.
“Para Ksatria Cahaya dan sahabatku semua, selamat datang di perburuan pagi ini.”
Riuh tepuk tangan dan sorak-sorai menggema.
“Hutan perbukitan ini menyimpan banyak hewan buruan yang dapat kalian cari, rusa dengan tanduk bercabang tiga, kelinci berbulu emas, hingga burung berbicara yang jarang terlihat.”
Tawa dan desahan kagum terdengar di sana-sini.
“Tapi,” Damian melanjutkan, nadanya berubah sedikit lebih berat, “aku perlu memperingatkan kalian. Hutan ini tidak hanya dihuni oleh makhluk yang jinak dan cantik.”
Para peserta mulai saling melirik. Ketegangan ringan terasa menyebar.
“Beberapa wilayahnya bersinggungan dengan celah tipis antara alam ini dan dunia Nether. Di sana mungkin kalian akan menemui hewan buas atau sesuatu yang lebih berbahaya. Mungkin saja ada makhluk yang menyerupai manusia, tapi bukan manusia. Makhluk siluman, yang bisa menyamar, bisa bicara, dan bisa membunuh tanpa suara.”
Kate yang berdiri di barisan tengah mencengkeram gagang senjatanya. Orion di sampingnya menatap Damian dengan mata menyipit, seolah mengukur niat sebenarnya dari pria itu.
“Jadi, bawalah keberanian dan akal sehat kalian ke dalam hutan ini. Berburu boleh, tapi kembali dalam keadaan selamat adalah kemenangan sesungguhnya.”
Sorak-sorai membahana lagi. Damian turun dari panggung dan mendekat ke rombongan Kate. Ia hanya melempar satu senyum padanya, senyum yang lebih berarti dari seribu kata, lalu melangkah ke arah tunggangannya.
Kate mendengus pelan. “Dia benar-benar menjadikan semua ini permainan,” gumamnya pelan. Namun dalam hatinya, ia tahu ini bukan sekadar perburuan biasa.
***
Mentari pagi memercik cahaya emas melalui sela-sela ranting dan dedaunan, menerpa wajah-wajah para Ksatria Cahaya yang menyusuri hutan menuju puncak bukit. Aroma tanah basah dan dedaunan yang mulai mengering bercampur menjadi satu, menghadirkan atmosfer alami yang menenangkan, meski penuh kewaspadaan.
Kate melangkah perlahan di belakang bersama Danzzle. Di depan mereka, Orion, Lyra, dan Jasper bergerak lebih cepat, menembus rimbunnya semak dan ilalang dengan semangat berburu.
“Kita sedikit tertinggal,” gumam Danzzle sambil melihat ke arah langkah Orion yang mantap di depan.
“Tidak apa-apa,” jawab Kate, menoleh padanya dengan tenang. “Lagi pula kita di sini bukan sekadar berburu hewan, tapi juga mengenali kekuatan kita.”
Danzzle mengerutkan kening. “Kekuatan?”
“Ya,” kata Kate, berhenti sejenak di bawah sebatang pohon dengan daun-daun besar yang masih basah oleh embun pagi. “Elemen alam yang kau miliki, Danzzle. Selama ini kau hanya menggunakannya untuk mempercepat pertumbuhan tanaman atau menyembuhkan luka, bukan?”
Danzzle mengangguk. “Karena itu yang diajarkan padaku. Aku tidak tahu kalau bisa digunakan lebih jauh.”
Kate tersenyum samar. “Karena itu kau harus mencobanya sekarang. Lihat daun ini.” Ia menunjuk salah satu daun lebar yang menggantung rendah, ujungnya masih meneteskan embun. “Kau bisa merasakan air yang menempel di permukaannya, bukan?”
Danzzle meletakkan telapak tangannya di bawah daun itu, menutup mata sejenak, dan menarik napas perlahan. Beberapa detik kemudian, embun di daun itu melayang naik, mengalir ke atas udara seperti tetesan kecil yang terangkat oleh sihir tak kasatmata.
“Mudah,” ujar Danzzle, tersenyum kecil.
“Sekarang yang lebih sulit,” Kate melanjutkan. “Ambil air dari dalam daun itu. Bukan dari permukaan, tapi dari jaringan hidupnya.”
Danzzle tampak ragu. “Itu air yang ada di dalam tumbuhan? Tapi bagaimana caranya?”
“Bayangkan aliran kecil yang bergerak dalam tubuh makhluk hidup. Sama seperti darah dalam manusia. Tumbuhan juga punya jalurnya sendiri. Rasakan, dan tarik,” jelas Kate sabar.
Danzzle mengangkat tangannya lagi. Namun kali ini tak terjadi apa-apa, beberapa helai daun hanya bergerak pelan tertiup angin.
“Aku tidak bisa,” keluh Danzzle. “Seperti ada sesuatu yang menghalangi.”
Kate meletakkan tangannya di bahu Danzzle, memberi sedikit dorongan energi dan stabilitas dari dalam dirinya. Bukan sihir, melainkan kekuatan mental yang berasal dari ketenangan dan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kau bisa. Jangan ragukan dirimu sendiri, Danzzle. Ingat, air adalah bagian dari alam. Kau bukan memaksa, kau hanya menyapa dan mengundang.”
Danzzle menarik napas dalam, menutup mata, dan merentangkan telapak tangannya kembali ke arah daun. Hening sejenak, hingga perlahan setetes cairan bening merembes keluar dari pori-pori daun. Disusul tetesan lain. Daun itu mengerut, mengering, lalu luruh ke tanah.
Mata Danzzle membelalak. “Aku berhasil...”
Kate tersenyum, matanya memancarkan kebanggaan. “Itu baru awal.”
Danzzle masih terpana, lalu menoleh dengan bingung. “Tapi jika aku bisa mengambil cairan dari daun apakah itu artinya aku bisa melakukannya di manusia juga?”
Kate menatapnya dalam, nada suaranya kini lebih berat dan penuh makna. “Dalam tubuh manusia, hampir delapan puluh persen adalah cairan. Darah, plasma, getah, bahkan napas juga mengandung uap air. Jika kau menguasai elemen air dan alam, kau bisa menyentuh semua itu. Kau bisa mempercepat penyembuhan atau menghentikan aliran darah. Kau bisa mengubah uap dalam paru-paru menjadi pisau. Atau kau bisa menguras kehidupan seseorang dari dalam, perlahan atau seketika.”
Danzzle menelan ludah. “Itu terdengar mengerikan.”
“Dan juga kuat,” balas Kate pelan. “Kekuatanmu bisa menjadi penyembuh atau penghukum. Itu semua tergantung pada bagaimana kau memilih menggunakannya.”
Danzzle menunduk, bergumul dalam pikirannya sendiri.
Kate melanjutkan dengan suara rendah namun tegas. “Jangan batasi dirimu hanya karena orang lain membatasimu lebih dulu. Alam tidak mengenal batas, Danzzle. Dan kekuatanmu bisa menjadi kunci banyak hal di dunia ini.”
Sejenak tak ada yang bicara. Hanya suara dedaunan yang bergesekan dan nyanyian burung yang menggema dari kejauhan.
Kemudian suara Orion terdengar dari depan, memanggil. “Kate! Danzzle! Cepat, kami menemukan jejak rusa!”
Kate melempar pandang pada Danzzle, matanya penuh makna. “Ayo.”
Danzzle mengangguk perlahan. Namun kali ini, langkahnya lebih ringan. Di matanya ada semangat baru, dan dalam hatinya sesuatu mulai tumbuh keyakinan bahwa dirinya tidak hanya pelengkap dalam rombongan para ksatria. Namun juga kekuatan yang sedang tumbuh, dan kelak bisa mengguncang takdir itu sendiri.
***
Cahaya mentari menembus celah dedaunan, menciptakan bayangan yang menari-nari di sepanjang jalur hutan yang semakin menanjak. Tanah lembap menyimpan jejak kaki para Ksatria Cahaya yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Aroma embun yang mulai menguap dan suara ranting patah di bawah sepatu kulit mereka menjadi latar sunyi perburuan pagi itu.
Kate berjalan pelan di belakang Orion dan Jasper, dengan Danzzle tak jauh darinya. Mereka tadi sudah kehilangan buruan rusa di lereng bukit, sehingga Orion memutuskan untuk beristirahat lebih dulu. Baru saja mereka beristirahat di balik pohon ara tua ketika sebuah gerakan cepat memancar dari balik semak-semak. Seberkas bulu keemasan berlari dengan kelincahan luar biasa, nyaris tak menyentuh tanah.
“Kelinci emas!” seru Jasper, matanya melebar.
Orion menegang seketika. “Makhluk langka, sangat langka. Bahkan lebih langka dari serigala kristal.”
Sebelum Kate bisa bereaksi, Lyra sudah bergerak cepat. Tangannya mengangkat busur, anak panah telah siap pada talinya, mengarah tepat ke arah pergerakan kilau emas di balik semak.
“Jangan, Lyra!” seru Kate lantang. Ia maju, berdiri di antara busur Lyra dan jalur lari kelinci itu. “Makhluk itu lebih berharga hidup-hidup. Darahnya bisa menyembuhkan racun Nether, dan bulunya memiliki efek pelindung jika dirajut dengan sihir.”
Lyra mendengus. “Jangan sok tahu, Kate. Ini perburuan. Kalau tidak ditembak, dia akan hilang!”
“Ini bukan sembarang perburuan!” sahut Kate tegas.
Ia mengangkat tangan dan dalam sekejap pancaran cahaya lembut keluar dari telapak tangannya, seperti dinding bening yang membentang di depan kelinci itu, mencegah anak panah Lyra menembus dan terpental menjauh.
Wajah Lyra memerah karena amarah. Ia menjatuhkan busurnya dengan kasar ke samping dan melangkah maju, menunjuk dada Kate dengan jari telunjuk gemetar. “Kau pikir siapa dirimu, hah? Gadis dengan level Bunga Kehidupan yang menghalangi aku, seorang pemanah Ksatria Cahaya level Cahaya Jiwa?”
Kate tidak mundur. “Aku tidak peduli levelku di matamu. Aku hanya tidak bisa diam saat makhluk seistimewa itu diperlakukan seperti sasaran.”
“Ck. Sok bijak,” ejek Lyra, berbalik dengan kasar.
Namun sebelum ia melangkah pergi, suara Orion menahan langkahnya. “Kate benar.”
Lyra menoleh dengan tajam. “Oh, tentu. Kau selalu membela dia.”
“Karena dia melihat lebih dari sekadar insting berburu,” jawab Orion dingin, tidak menggertak, namun tajam. “Dan kelinci emas itu tidak akan pernah bisa ditangkap dua kali. Panahmu hanya akan membunuh nilainya.”
Wajah Lyra memucat. Dalam sekejap emosinya bergelora, ia menendang tanah dengan geram dan tanpa berkata sepatah kata pun lagi, ia meninggalkan kelompok mereka, menembus semak belukar dengan kasar.
Kate yang masih menunduk, mengelus kelinci emas kecil yang kini bersembunyi dalam pelukannya. Ia hendak mengejar Lyra, tetapi lengannya ditahan.
“Biarkan saja,” kata Orion pelan. “Dia perlu belajar mendengarkan, bahkan pada suara yang tidak dia suka.”
Kate menatap Orion sejenak. “Tapi aku tidak berniat menjatuhkannya…”
“Aku tahu. Tapi dia memilih melihatmu sebagai saingan. Itu bukan kesalahanmu.” Orion mengangguk pada kelinci di pelukan Kate. “Dan apa yang kau lakukan barusan, lebih berani dari yang bisa dilakukan banyak Ksatria dengan level tinggi.”
Kate menghela napas, mengelus bulu halus kelinci itu yang berkilau keemasan. Makhluk itu menggeliat kecil, menyusup lebih dalam ke lengannya.
“Makhluk ini seperti hidup dari cahaya,” bisik Kate. “Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa dia harus tetap hidup. Seolah ia punya peran yang belum selesai.”
Orion menatap Kate beberapa detik, lalu berkata lembut, “Mungkin karena begitu pula denganmu.”
Kate tersentak kecil, tapi sebelum bisa bertanya lebih jauh, suara Jasper memanggil dari sisi timur.
“Ayo, kita temukan jalur naik ke bukit. Masih banyak waktu untuk berburu.”
Kate menatap ke arah Lyra yang sudah hilang dari pandangan, lalu menoleh ke kelinci emas yang kini mulai tenang dalam dekapannya. Dalam diam, ia berjanji bahwa makhluk itu akan selamat, sama seperti ia bertekad menyelamatkan sisi-sisi berharga dari dunia ini, yang tidak semua orang bisa lihat nilainya.
***
Langkah Lyra memburu amarahnya sendiri, menembus lebatnya hutan yang semakin dalam dan gelap. Aroma tanah lembap bercampur dengan hawa dingin yang menggantung di udara. Ia tidak peduli pada suara-suara samar dari burung malam yang belum seharusnya terjaga, atau bisikan angin yang terdengar seperti erangan jiwa-jiwa terbuang.
“Sok tahu... semua sok tahu...” gerutu Lyra.
Semakin jauh ia melangkah, semakin terasa ada yang mengawasi dari balik semak dan batang pohon. Ranting-ranting tinggi tampak seperti tangan yang menjulur ke arahnya. Matahari tak lagi menembus dedaunan di atas kepalanya. Dalam bayang remang, langkah Lyra terhenti.
Dari sela pohon beringin tua yang akar-akarnya menjalar ke tanah seperti cakar, sesosok makhluk bayangan muncul. Bentuknya tidak utuh, hanya sosok gelap berbalut kabut dengan dua mata merah menyala terang. Giginya tampak seperti gergaji, dan tubuhnya tampak meneteskan cairan kehitaman yang menggali tanah tiap kali menyentuh permukaan.
Lyra tersentak, buru-buru menarik busurnya dan memasang anak panah. Sebelum ia bisa menarik tali busur, makhluk itu bergerak secepat kilat, melompat dan mendorongnya ke tanah. Cakar kegelapannya menembus bahu Lyra, menciptakan luka yang memancar energi hitam pekat. Lyra berteriak, tetapi suaranya tertahan oleh rasa sakit yang menjalar dari luka itu ke seluruh tubuhnya.
Saat makhluk itu hendak mengoyaknya, sesuatu menghentikannya. Dari udara muncul kabut gelap yang lebih pekat. Waktu seolah melambat. Makhluk bayangan itu menggigil, lalu tubuhnya mencair seperti lumpur dan menghilang. Lyra tergeletak, napasnya terengah-engah, nyaris kehilangan kesadaran.
Di hadapannya, berdiri seseorang. Tinggi berbalut jubah gelap yang ujungnya bergerak seperti asap. Wajahnya tersembunyi di balik topeng emas retak, satu sisi pecah hingga memperlihatkan kulit kelam dengan garis bercahaya merah mengalir di bawahnya. Matanya bukan mata manusia. Merah menyala dengan pupil vertikal seperti ular.
“Apa seorang pemanah gagah seperti dirimu, seharusnya mati seperti tikus kecil di hutan?” suara pria itu rendah, dalam, dan memikat, seperti nada sihir yang merangkak langsung ke dalam benak.
Lyra berusaha bangkit. “Siapa... kau...?”
“Penolong,” jawabnya, “Atau pencabut nyawamu, tergantung pilihanmu.”
Ia menjulurkan tangannya. “Aku bisa menyembuhkanmu. Memberimu kekuatan, bahkan memberimu balas dendam pada semua yang meremehkanmu.”
“Dengan imbalan?” desis Lyra, tubuhnya mulai menggigil karena luka yang menghitam.
Pria bertopeng itu mengangguk pelan. “Setiap kekuatan memiliki harga. Aku tidak meminta jiwamu sekarang, hanya kesetiaan.”
Ia berjongkok, menatap Lyra dari balik topeng retaknya. “Jadilah milikku, budakku. Layaniku saat aku memanggilmu, penuhi keinginanku saat aku membutuhkannya. Jika kau menolak, nyawamu akan habis di tanganku. Sekarang juga.”
Lyra terdiam, pikirannya kacau. Ia bisa membayangkan wajah Kate yang selalu dielu-elukan, pujian yang selalu diberikan pada Orion. Sementara dirinya? Tak pernah cukup dihargai, hanya karena ia ambisius, dan tak tunduk pada aturan baku yang tak adil.
Dengan tangan bergetar, ia meraih tangan pria bertopeng itu. “Aku setuju.”
Senyum muncul di bawah topeng emas itu. “Bagus.”
Pria itu menggambar lingkaran sihir dengan satu jari di udara. Api hitam menyala, membentuk simbol perjanjian, dan mengelilingi tubuh Lyra. Segel sihir bercahaya merah gelap muncul di bahunya, lalu menyerap masuk ke kulitnya. Luka di bahu Lyra sembuh dalam sekejap, tapi hawa gelap yang tertinggal menandakan bahwa dirinya telah berubah.
“Mulai sekarang,” ujar pria bertopeng itu, “kau milikku. Kau akan menerima bagian dari sihir chaos. dan semua kemuliaan serta penderitaan yang menyertainya.”
Seketika kekuatan mengalir ke tubuh Lyra. Matanya menyala keemasan. Ia merasakan kemampuan baru, lebih cepat, lebih kuat, dan lebih haus kekuasaan.
Pria bertopeng itu lalu memudar bersama kabut, suaranya masih menggema. “Aku akan memanggilmu, saat waktunya tiba.”
Lyra kini berdiri dengan napas berat, menatap kedua tangannya yang bergetar karena kekuatan yang baru. Senyumnya perlahan muncul, tapi matanya kehilangan cahayanya yang dulu. Ia bukan Lyra yang sama. Kini, ia adalah pembawa kehendak makhluk dari Nether.