"200 juta, ini uang untuk membelimu!"
Pria di depannya melihatnya dari ketinggian, dan aura angkuh memenuhi ruangan.
Dewi Puspitasari kehabisan akal.
Karyawan cafe yang berusia dua puluhan ini telah mencoba berbagai cara, tapi semuanya sia-sia seperti berada di jalan buntu. Ayahnya harus segera menjalani operasi yang memakan biaya besar.
Dari mana dia mendapatkan 200 juta dalam sekejap?
Setelah hampir menghabiskan semua dana, setengah putus asa, dia membuat tawaran gila dengan bosnya, Virata Agastia.
"Oke. Aku setuju."
Dewi Puspitasari hanya bisa menerima kenyataan bahwa dirinya seperti barang yang diperdagangkan dalam transaksi ini.
Akankah pernikahan yang didominasi uang ini akan berakhir dengan bahagia?
Bagaimana nasib pernikahan mereka setelah ayah Dewi Puspitasari sembuh?
Note: Novel ini mengandung unsur dewasa. Harap bijak menyikapinya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mizzly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Detektif Bahri Part 2
Seorang cowok berdiri di depan pintu apartemen Wira, jaketnya terlihat agak lusuh namun Wira akui cowok tersebut lumayan tampan.
"Cari siapa ya?!" tanya Wira sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Ada di mana dia?!" Bahri malah balik bertanya pada Wira, membuat Wira terlihat bingung karena tak tahu siapa yang dicari oleh Bahri.
"Dia? Dia siapa?! " tanya Wira.
"Kakak gue! Gue tahu, kakak gue ada di sini kan?! Gue mau ketemu sama Kakak gue!" kata Bahri dengan tegas.
"Kakak lo siapa? Heh lo siapa sih? Kok bisa gampang masuk ke apartemen orang?! Gue lapor security biar lo ditangkap dan diusir dari sini! Enak aja sembarangan nyari-nyari Kakak lo di apartemen orang!" Wira mulai terbakar emosinya. Kesenangannya terganggu dan cowok di depannya malah ngeyel ingin mencari Kakak-nya.
"Kakak gue, Dewi. Ada di sini kan? Nggak usah deh lapor security, malah lo yang bakalan gue laporin ke polisi!" ancam balik Bahri.
Wira sangat terkejut mendengar Bahri menyebutkan nama Dewi. Wira pun mengingat-ingat laki-laki di depannya. Meski tak pernah melihat langsung, Wira pernah mendengar suara cowok ini.
Wira lalu teringat saat Ia mengantar Dewi ke rumah sakit. Adik laki-lakinya yang mendesak dan menyuruh Kakak-nya mencari pinjaman uang agar Bapak-nya bisa segera dioperasi. Pantas saja suara cowok di depannya serasa tidak asing, ternyata memang benar adiknya Dewi.
"Gue nggak kenal sama Dewi!" Wira memilih untuk berbohong. Dia juga harus menyembunyikan identitas Dewi dan apa yang mereka lakukan dari keluarganya.
Bahri lalu tersenyum sinis. "Itu!" Bahri menunjuk sepatu milik Dewi yang berada di dekat pintu masuk. "Itu sepatu Kakak gue! Nggak usah bohong deh! Mana kakak gue?!"
Sekali berbohong, maka akan terus menutupinya dengan kebohongan lagi. Itu pula yang dipilih oleh Wira. "Oh... itu punya temen gue. Ketinggalan waktu main ke sini! Bukan Kakak lo! Udah sana lo pergi atau gue panggil security!" kembali Wira mengancam Bahri.
Bukannya takut dengan ancaman Wira, Bahri malah menerobos masuk. Ia mendapati tas kakak-nya berada di atas meja. "Itu tas Kakak gue! Jangan bohong! Di mana Kakak gue?!"
"Apa-apaan lo masuk rumah gue seenaknya?! Pergi nggak, gue masih ngomong baik-baik nih! Kalau lo nggak pergi, gue lapor security sekarang juga!" ancam Wira yang kini terlihat sangat marah.
Bahri tak peduli dengan ancaman Wira, Dia malah masuk ke dalam kamar dan membuka pintunya dengan paksa. Tak ada keberadaan Dewi di sana. "Kak! Kakak di mana? Aku tahu Kakak ada di sini!" teriak Bahri dengan kencang.
"Gue bilang Kakak lo nggak ada! Pergi nggak lo dari kamar gue!" Wira lalu mendekat ke arah telepon dan hendak menghubungi security. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Bahri untuk memeriksa apartemen yang tidak begitu luas ini.
Bahri lalu membuka pintu kamar mandi namun sayang dikunci. Bahri pun menggedor pintu kamar mandi yang terkunci tersebut. "Bahri tahu Kakak ada di dalam! Buka nggak?! Atau Bahri bilang sama Bapak dan Ibu kalau Kakak ada di sini!" teriak Bahri membuat Dewi yang berada di dalamnya semakin ketakutan.
Wira yang baru saja hendak menelepon security akhirnya urung Ia lakukan. Ia pun menghampiri Bahri dan menarik tangannya agar menjauh dari kamar mandi. "Pergi enggak lo! Pergi!" teriak Wira dengan marah.
"Gue nggak mau pergi! Sebelum kakak gue keluar dari kamar mandi itu!" balas Bahri tak mau kalah. Bahri lalu menggedor kembali kamar mandi, setelah melepaskan diri dari cengkraman Wira. "Keluar Kak, sekarang!" teriaknya membuat Dewi semakin ketakutan saja.
"Kalo lo nggak mau keluar sekarang, gue pastiin security bakalan bawa lo ke kantor polisi?!" ancam Wira.
Dewi yang mendengar ancaman Wira tak mau adiknya sampai dibawa ke kantor polisi. Dewi pun membuka kunci dan keluar dari kamar mandi untuk melerai pertengkaran antara Wira dan Bahri.
Bahri sangat kaget mendapati kakaknya memakai pakaian seksi keluar dari kamar mandi dengan wajah ketakutan. Bahri sampai geleng-geleng kepala dengan apa yang kakak-nya lakukan saat ini. "Bener kan? Bener kan kecurigaan aku selama ini?! Bener kan Kakak dapat uang dari cara yang haram? Kenapa Kakak lakukan ini Kak?!" Bahri meneteskan air mata karena kesal dan kecewa.
Dewi juga ikut menangis. Dia malu pada adiknya sendiri. "Maafin Kakak... Bahri. Hanya ini cara yang bisa Kakak lakukan. Hanya ini yang bisa Kakak perbuat untuk membayar biaya rumah sakit Bapak!"
Wira mengambil batrobe di dekatnya dan menutupi tubuh Dewi yang begitu terbuka. Ia memang bukan siapa-siapa Dewi, namun rasanya Ia tak rela tubuh Dewi dilihat oleh laki-laki lain, meskipun dengan adiknya sendiri.
"Bahri kecewa sama Kakak! Kakak bilang, Kakak pinjam uang dari kantor! Tapi apa? Apa yang Kakak lakukan? Kakak malah menjual diri kakak sendiri?! Kakak menjajakan diri Kakak! Apa kata Bapak dan Ibu nanti, Kak? Kalau Bapak dan Ibu tahu apa yang Kakak lakukan, pasti Bapak nggak mau lagi hidup di dunia ini! Bahri kecewa Kak sama Kakak!" bahri terlihat sangat terpukul dan air mata kembali menetes dari peluk matanya. Matanya merah menahan rasa sedih dan amarah dalam waktu bersamaan.
"Kakak terpaksa! Kakak juga nggak mau kayak begini! Hanya ini satu-satunya cara untuk kita terbebas dari hutang yang selama ini melilit keluarga kita! Kakak udah pinjem kemana-mana, tapi nggak ada yang mau pinjamin orang kayak kita. Bahkan, saudara kita sendiri pun menganggap keberadaan kita bak benalu. Jangankan meminjamkan uang, melihat wajah kita aja mereka enggan. Salah kalau kita terlahir sebagai orang susah?! Kakak juga nggak mau seperti ini! Kalau ada yang mau meminjami Kakak uang, Kakak nggak akan menjual diri Kakak seperti ini!"
Bahri terlihat mengacak rambutnya karena kesal dan marah. Ia marah terhadap keadaan dan takdir hidup mereka yang begitu kejam sampai membuat Kakaknya menjual dirinya sendiri. Bahri lalu terduduk di lantai dan mulai menangis. "Tapi nggak usah kayak gini Kak! Kakak nggak usah ngorbanin diri Kakak! Seharusnya Bahri aja yang berkorban. Bahri bisa jual ginjal Bahri, Kak! Kenapa Kakak nggak bilang sama Bahri? Kenapa Kakak memilih keputusan ini sendiri?!"
Dewi tak mampu menjawabnya. Dia tak mau mengatakan kalau Bahri juga yang terus menyudutkannya sehingga Ia mengambil keputusan nekat ini. Ia sudah melihat adiknya begitu terpukul dan tak mau kalau adiknya sampai menyalahkan dirinya sendiri. Ini murni keputusan Dewi. Dewi siap menanggung segala resikonya.
"Ini udah keputusan Kakak. Kamu nggak perlu ikut campur! Yang penting Bapak sudah sehat dan bisa keluar dari rumah sakit. Utang-utang kita juga sudah lunas. Biarlah, ini pengorbanan yang harus Kakak lakukan dan Kakak tidak menyesali apa yang Kakak putuskan. Kamu pulang lah! Kakak mau melakukan pekerjaan Kakak." usir Dewi sambil menghapus air matanya dengan kasar.
****
...Ayo dukung karya ini dengan like, komen, vote, add favorit dan ⭐⭐⭐⭐⭐. Maacih 😍😍😍😍...
ratnanya yg tidur gak diceritain LG tau2 da sampe apart
minum Aqua dulu thor🤭
terima kasih ya kak