Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.
Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.
Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.
Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.
"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Doa di Jantung Api
Malam berikutnya, Liang Wu kembali.
Kali ini dia tidak berburu Cacing Api. Rasa lapar di tubuhnya masih ada, tetapi rasa ingin tahunya jauh lebih mendesak.
Sektor 9 sunyi senyap. Bangkai cacing yang dia bunuh kemarin sudah hilang—kemungkinan dimakan oleh cacing lain atau terseret arus magma bawah tanah. Alam membersihkan dirinya sendiri dengan kejam.
Liang Wu tiba di ujung terowongan runtuh. Dia memindahkan batu-batu penutup yang dia susun kemarin. Angin dingin itu menyapanya lagi, membawa aroma dupa cendana tua yang anehnya menenangkan, kontras dengan bau belerang yang mencekik.
Dia mengaktifkan Langkah Bayangan Tikus, merampingkan tubuhnya, dan menyelip masuk ke dalam celah sempit itu.
Di balik celah itu, terdapat sebuah lorong alami yang menurun tajam. Dindingnya bukan batu vulkanik kasar, melainkan basal hitam yang licin dan dingin. Tidak ada cahaya magma di sini.
Liang Wu mengeluarkan batu fosfor kecil (yang dia curi dari gudang peralatan) untuk penerangan. Cahaya hijau pucat menyinari jalan.
Setelah menuruni lorong selama lima menit, Liang Wu tiba di sebuah ruangan gua yang luas.
Dia tertegun.
Ini bukan gua alami.
Lantainya rata, dipahat dari batu giok hitam. Di tengah ruangan, terdapat sebuah kolam kecil yang airnya jernih. Di sekeliling kolam, tumbuh bunga-bunga Lili Hantu berwarna biru yang memancarkan cahaya redup.
Dan di seberang kolam, duduk sebuah sosok.
Liang Wu menahan napas, tangannya mencengkeram parang.
"Permisi, Senior," panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban.
Liang Wu mendekat dengan hati-hati.
Sosok itu mengenakan jubah besi yang sudah berkarat parah. Dia duduk dalam posisi meditasi teratai. Saat Liang Wu sampai di depannya, barulah dia sadar.
Itu bukan manusia hidup. Itu mayat kering.
Atau lebih tepatnya, mumi besi.
Kulit mayat itu berwarna abu-abu metalik, menempel ketat pada tulang. Tidak ada tanda pembusukan. Seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi logam saat dia mati. Di depannya, ada sebuah pedupaan kecil yang abunya sudah lama dingin, namun aromanya abadi.
Liang Wu berlutut di depan mayat itu. Dia memeriksa sekeliling.
Di dinding gua, terdapat ukiran-ukiran kasar. Tulisan tangan yang dipahat dengan jari telanjang—Liang Wu bisa melihat bekas seretan jari yang dalam di batu keras itu.
Dia membaca tulisan itu.
"Namaku Tie Zha. Pendiri Sekte Besi Hitam."
Mata Liang Wu membelalak. Pendiri? Legenda mengatakan Pendiri Sekte Besi Hitam telah naik ke Alam Atas tiga ratus tahun lalu. Kenapa mayatnya ada di lubang tikus ini?
Dia membaca lanjutannya.
"Muridku, Tungku Dewa, mengkhianatiku. Dia meracuniku saat meditasi, mencuri Teknik Inti, dan menyegelku di sini hidup-hidup. Dia mendirikan Sekte Tungku Dewa di atas namaku, tapi mengajarkan teknik palsu yang hanya memperkuat kulit, bukan tulang."
"Besi sejati tidak ditempa dengan api saja. Besi sejati butuh darah. Tubuh manusia adalah bijih yang kotor. Hanya dengan menghancurkannya berulang kali, mencampurnya dengan sumsum monster, dan membakarnya dengan 'Api Neraka', barulah tubuh fana bisa menjadi Senjata Suci."
Liang Wu merinding.
Sekte Tungku Dewa—salah satu dari 6 Pilar Aliansi Ortodoks—ternyata didirikan di atas pengkhianatan guru. Ironis. Sama munafiknya dengan Sekte Pedang Azure.
Liang Wu kembali menatap mayat Tie Zha. Di pangkuan mayat itu, terdapat sebuah gulungan yang terbuat dari lembaran timah tipis.
Liang Wu mengulurkan tangan untuk mengambilnya.
WUSH!
Saat jari Liang Wu menyentuh gulungan timah itu, sisa Kehendak dari mayat itu meledak keluar.
Liang Wu tidak terlempar secara fisik, tapi mentalnya ditarik paksa ke dalam ilusi.
Dia berdiri di tengah lautan api hitam. Di hadapannya, sosok raksasa Tie Zha yang terbuat dari besi cair berdiri menjulang.
"SIAPA YANG BERANI MENGGANGGU TIDURKU?!" suara itu menggelegar di dalam kepala Liang Wu.
Tekanan mentalnya luar biasa. Jika ini adalah Xiao Bao, otaknya pasti sudah meleleh dan dia akan menjadi idiot. Tapi Liang Wu... Liang Wu telah melihat neraka. Dia telah memeluk kepala gurunya yang membusuk.
Liang Wu berdiri tegak di dalam ilusi itu. Dia menatap raksasa besi itu dengan mata tunggalnya.
"Namaku Liang Wu. Aku bukan muridmu. Aku cuma pemulung yang lewat."
"PEMULUNG?!" Raksasa itu meraung marah. "KAU MAU MENCURI WARISANKU SEPERTI MURID DURHAKA ITU?!"
"Aku tidak mencuri," jawab Liang Wu tenang. "Aku menukar."
"MENUKAR DENGAN APA?! NYAWAMU YANG LEMAH?!"
"Dengan dendam," kata Liang Wu.
Dia memproyeksikan ingatannya. Bukan ingatan bahagia. Tapi ingatan tentang Mei yang mati dengan tusuk konde di dada. Ingatan tentang kepala Guru Xuan yang menggelinding. Ingatan tentang dia memakan tikus mentah. Ingatan tentang kebenciannya pada Sekte Tungku Dewa yang memperbudak manusia di atas.
"Kau dikhianati oleh muridmu yang mendirikan Sekte Tungku Dewa," kata Liang Wu dalam ilusi itu. "Aku berniat menghancurkan seluruh Aliansi Ortodoks, termasuk Sekte Tungku Dewa. Musuh dari musuhku... adalah senjataku."
Raksasa besi itu terdiam. Api hitam di tubuhnya surut sedikit. Dia menunduk, menatap jiwa Liang Wu yang penuh luka dan kegelapan.
"Kau... kau memiliki hati Iblis yang lebih pekat daripada magma," gumam raksasa itu. "Dan tubuhmu... kau sudah memulai jalan penempaan tulang dengan cara kasar. Memakan inti mentah? Gila."
"Apakah kau akan memberiku teknikmu? Atau aku harus menghancurkan sisa jiwamu di sini?"
Raksasa itu tertawa. Tawa yang terdengar seperti logam beradu.
"Bagus! Arogansi itu! Ketajaman itu! Ambillah! Tapi ingat, bocah...
Kitab Tubuh Asura Besi ini bukan teknik kultivasi. Ini adalah teknik penyiksaan diri. Kau akan merasakan sakit sepuluh kali lipat dari kematian setiap kali kau naik tingkat. Jika tekadmu goyah sedikit saja, kau akan menjadi patung besi tanpa jiwa sepertiku."
"Aku sudah lama tidak punya jiwa," jawab Liang Wu.
Ilusi itu pecah.
Liang Wu tersentak kembali ke dunia nyata. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Hidungnya berdarah karena tekanan mental tadi.
Gulungan timah di pangkuan mayat itu kini bersinar redup.
Liang Wu mengambilnya.
Dia membukanya. Itu bukan tulisan biasa. Itu adalah diagram anatomi tubuh manusia yang titik-titik meridiannya dibalik.
KITAB TUBUH ASURA BESI
Tingkat 1: Kulit Tembaga (Kebal Senjata Biasa) Tingkat 2: Daging Besi (Kebal Qi Tingkat Rendah) Tingkat 3: Tulang Perak (Regenerasi Sumsum) Tingkat 4: Organ Emas (Kebal Racun & Penyakit) Tingkat 5: Tubuh Vajra Asura (Tubuh Abadi - Setara Jiwa Baru Lahir)
Liang Wu menyadari bahwa apa yang dia lakukan kemarin—memakan inti dan membakar kulit—hanyalah versi primitif dari Tingkat 1. Dengan kitab ini, dia bisa melakukannya dengan efisien, menyerap 100% energi inti tanpa membuang ampas.
"Terima kasih, Senior Tie," kata Liang Wu.
Dia menyimpan gulungan itu di balik bajunya.
Dia melihat ke sekeliling ruangan itu lagi. Kolam air dingin itu... di dasarnya terdapat endapan lumpur putih.
Lumpur Sumsum Dingin.
Bahan langka yang bisa menekan rasa sakit api. Ini adalah harta karun kedua.
Liang Wu mengambil botol airnya, membuang isinya, dan mengisinya dengan lumpur putih itu sebanyak mungkin.
Tiba-tiba, tanah bergetar pelan.
Mayat Tie Zha mulai retak. Tanpa Sisa Kehendak yang menahannya, tubuh itu hancur menjadi debu besi. Dan bersamaan dengan itu, struktur gua yang ditopang oleh aura sang pendiri mulai tidak stabil.
"Waktunya pergi."
Liang Wu membungkuk hormat sekali lagi pada tumpukan debu itu, lalu berbalik dan lari.
Dia memanjat kembali lorong menanjak, keluar melalui celah sempit, dan menutupnya kembali dengan batu-batu besar.
Saat dia berdiri di terowongan Sektor 9 yang panas lagi, dia merasa berbeda.
Dia bukan lagi sekadar buruh yang mencoba bertahan hidup. Dia sekarang adalah pewaris tunggal dari teknik asli yang ditakuti oleh Sekte Tungku Dewa.
Di dalam dadanya, Kitab itu terasa dingin. Di dalam perutnya, rasa lapar kembali muncul.
Tapi kali ini, dia tahu cara memberinya makan.
Liang Wu menyeringai di balik topeng kulitnya.
"Sekte Besi... Sekte Tungku Dewa... kalian semua sedang duduk di atas kuburan leluhur yang marah."
Dia berjalan kembali ke barak dalam kegelapan. Langkahnya ringan, seolah beban dunia telah diangkat dan digantikan oleh tujuan yang tajam.
Pembantaian yang sesungguhnya baru akan dimulai.
Alurnya stabil...
Variatif