sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oma Mulai Menyelidiki (Orang Tua yang Hilang
Rosmawati menatap layar laptopnya tanpa berkedip.
Nama itu kembali muncul, berulang kali, seolah sengaja menantangnya.
**Bio Pratama.**
Oma sudah tahu—bahkan sejak awal—bahwa pemuda itu bukan anak kandung Yeni dan Yudi. Bintang sendiri yang mengatakannya dengan jujur, tanpa rasa malu, tanpa mencoba menutup-nutupi apa pun.
“Bio anak angkat, Oma. Tapi dia dibesarkan dengan penuh kasih.”
Kalimat itu masih terngiang di telinga Rosmawati.
Dan Oma mempercayainya.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia abaikan sebagai perempuan yang hidupnya dibangun di atas kewaspadaan:
**asal-usul.**
Bukan karena status.
Bukan karena darah biru atau miskin.
Tapi karena masa lalu yang tidak jelas… sering kali membawa luka yang belum selesai.
Rosmawati menggeser kursinya, lalu menekan tombol panggilan cepat.
“Pak Arman,” ucapnya ketika sambungan tersambung.
“Saya ingin penyelidikan lebih dalam. Bukan orang tua angkatnya. Saya ingin tahu… orang tua kandungnya.”
Ada jeda singkat di seberang.
“Baik, Bu,” jawab suara itu hati-hati. “Tapi… ini mungkin tidak mudah.”
“Tidak apa-apa,” jawab Rosmawati datar. “Saya tidak pernah mengharapkan yang mudah.”
Telepon ditutup.
Ruang kerja kembali sunyi.
Oma berdiri dan berjalan ke jendela. Di bawah sana, Bintang baru saja pulang kerja. Wajahnya tampak lelah, tapi masih sempat tersenyum saat melihat ponselnya—mungkin pesan dari Bio.
Rosmawati memperhatikan itu lama.
Ia tahu Bintang bahagia bersama Bio. Terlalu tahu.
Justru karena itulah ia tidak bisa membiarkan kebahagiaan itu berdiri di atas fondasi yang rapuh.
—
Dua hari kemudian, sebuah map tebal tergeletak di meja kerjanya.
Warnanya abu-abu. Tidak mencolok. Tapi berat.
Rosmawati membukanya perlahan.
Laporan pertama berbunyi:
> *Data kelahiran Bio Pratama tidak terdaftar atas nama orang tua angkat.*
Oma mengangguk kecil. Itu sudah ia duga.
Ia membalik halaman.
> *Nama ayah biologis: belum terverifikasi.*
> *Nama ibu biologis: tidak tercantum.*
> *Tempat lahir: tidak sesuai dengan data adopsi.*
Alis Rosmawati mengernyit.
Ia membaca lebih pelan sekarang.
Ada ketidaksesuaian tanggal. Ada alamat yang tidak lagi ada. Ada nama rumah sakit yang sudah tutup belasan tahun lalu.
Dan kemudian… satu catatan kecil di bagian bawah halaman.
> *Dugaan kuat: identitas anak sengaja disamarkan.*
Jantung Rosmawati berdetak lebih cepat.
Ia duduk.
Tangannya mengepal di atas meja.
“Disamarkan…” gumamnya.
Itu bukan kesalahan administrasi.
Bukan keteledoran.
Itu disengaja.
Oma menyandarkan punggungnya, menatap langit-langit. Ada rasa dingin merambat perlahan ke dadanya—rasa yang sama ketika ia tahu sebuah kebenaran besar sedang bersembunyi di balik kabut.
Ia teringat Bio.
Pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang masa kecilnya tidak utuh. Terlalu berusaha menjadi “cukup”. Terlalu takut mengecewakan.
Seolah sejak kecil ia sudah belajar satu hal:
**jangan meminta terlalu banyak, nanti ditinggalkan.**
Rosmawati menutup map itu perlahan.
Bintang tahu Bio anak angkat.
Bio tahu ia dibesarkan kakeknya.
Tapi **tidak satu pun dari mereka tahu mengapa ia harus disembunyikan.**
Dan Oma… baru saja membuka pintu menuju jawaban yang mungkin akan menghancurkan semuanya.
Ia menghela napas panjang.
“Kalau ini benar…” gumamnya lirih,
“maka masa lalu itu bukan sekadar luka kecil.”
Rosmawati berdiri, mengunci map itu di laci pribadinya.
Belum waktunya.
Ia harus tahu lebih banyak.
Ia harus memastikan semuanya.
Karena jika kebenaran ini terungkap tanpa persiapan—
**Bintang yang akan paling terluka.**
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, Rosmawati bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah ia sedang melindungi cucunya…
atau justru menunda luka yang akan jauh lebih dalam?
...****************...