NovelToon NovelToon
Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Transmigrasi Tanaya Zaman Purba

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Romansa Fantasi / Ruang Ajaib / Epik Petualangan / Roh Supernatural / Time Travel
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Nyx Author

🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”

Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.

Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.

Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.

>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”

Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.

Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?

Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.

Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.

📚 Happy reading 📚

⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

|Pembuatan Senjata Baru...

Di balai suku, seluruh warga suku Nahara sudah mulai berdatangan atas perintah Ketua Sao. Semuanya mendapat tugasnya masing-masing. Pagi itu sangat cerah, langit membentang biru seolah ikut merestui sesuatu yang akan tumbuh dan berkembang di tempat itu.

Brukk!

Beberapa keranjang besar akhirnya dijatuhkan ke tanah, tepat di hadapan Tanaya saat ini.

“Ah—akhirnya sampai juga!” seru Liran sambil terengah, bahunya naik-turun menahan napas.“Naya, ini ubi yang kau minta. Menurutmu cukup?”

Zuam yang ikut mengangkat keranjang di sampingnya juga tampak kelelahan, keringat membasahi pelipisnya. Meski ia sedikit tak faham untuk apa benda-benda keras itu.

Tanaya yang sejak tadi menunggu langsung berbinar. Matanya menelusuri isi keranjang—umbi-umbian besar, padat, dan segar. Jumlahnya bahkan lebih dari yang ia bayangkan.

Pagi tadi, karena Yaren belum kembali, Tanaya terpaksa meminta bantuan Liran untuk mengambil umbi-umbian di balik bukit. Beruntung pemuda itu mau, dan masih mengingat jalurnya. Dengan semangat Liran langsung pergi sambil mengajak Zuam untuk ikut membantunya.

“Wah… ini lebih dari cukup,”katanya tulus sambil tersenyum lebar.“Terima kasih banyak, ya!”

Liran mendadak ikut tersenyum bangga. Dadanya terasa menghangat melihat reaksi Tanaya. Ia sudah menganggap Tanaya seperti adiknya sendiri.

“Kalau begitu… apa ada lagi yang kau butuhkan?”ujarnya cepat, nyaris tanpa berpikir.“Aku sungguh tak sabar mencicipi masakanmu seperti kemarin.”

Nada suaranya penuh antusias, matanya berbinar membayangkan hidangan Tanaya yang selalu menggugah selera seperti waktu itu.

Tanaya terkekeh kecil. “Ada sih… tapi aku takut kalian kesusahan mencarinya—”

“Naya, apa kau meremehkanku?” potong Zuam cepat. “Aku pasti bisa. Tenang saja aku tidak seperti Liran yang sudah beberapa kali gagal dalam berburu.”celetuknya membuat Liran langsung mendelik tak terima.

“Hei!”

Tanaya tertawa kecil.“Emm… bisakah kalian pergi ke pantai dan mengambil beberapa hewan laut?”Ia menoleh ke arah Liran. “Kau pasti tahu hewan laut yang ku maksudkan, Liran?”

Liran tersentak kecil, lalu matanya berbinar.“Ah! Yang punya capit itu, kan?”Ia mengangguk mantap. “Baiklah! Aku akan segera menangkapnya untukmu!”

"Hey! Tunggu!"Zuam seketika menghentikan langkah Liran, ia mendelik panik.

"Apa maksud kalian dengan hewan laut?! Mereka beracun dan tidak bisa dimakan..."tukasnya menasehati sedikit heboh.

"Sudah... Kau akan tahu rasanya nanti! Ayo cepatt!"Liran berdecak, lalu menyeret kain kulit Zuam untuk segera pergi.

"Liran hentikan! Kau hampir merobek kainku!"

"Kalau begitu, berjalanlah cepat! Jika kau tak ingin aku merobek kainmu! Seperti wanita saja kau."

"Kau—"

Tanaya menatap kepergian mereka dengan senyum cerah, lalu berteriak sambil melambaikan tangannya.

“Ambil yang banyak, ya!”teriaknya yang langsung diacungi jempol oleh Liran.

Tanaya tersenyum antusias. Pandangannya turun ke deretan keranjang umbi-umbian di bawah pohon beringin. Dalam benaknya, berbagai menu mulai tersusun—rebusan hangat, olahan gurih, makanan yang bisa mengenyangkan banyak perut.

Ia segera berlari kecil menghampiri Sira yang tengah sibuk di antara para wanita suku. Api unggun menyala terang, kayu berderak pelan, dan aroma daging rebus perlahan memenuhi udara balai. Beberapa panci besar berjajar rapi, menggantung di atas api, sementara para wanita bekerja dengan wajah serius namun penuh semangat.

“Ibu… umbinya sudah datang,” bisik Tanaya sambil menarik ujung pakaian ibunya pelan.

Sira menoleh, lalu senyum kecil langsung terukir di wajahnya. Tangannya segera menutup panci besar berisi daging bison dengan daun lebar agar panasnya terjaga.

“Benarkah?” ujarnya lirih namun terdengar lega. “Syukurlah. Sebentar lagi Ibu akan minta bantuan Bibi Bunka dan Bibi Maya untuk mengupas dan memotongnya.”

Tanaya mengangguk cepat, matanya berbinar antusias. Ia sudah membayangkan betapa ramainya dapur besar itu sebentar lagi.

“Sira…”

Tak lama, Suara seorang wanita terdengar dari sisi lain. Bibi Duraya.

“Ya ampun, lihatlah alat-alat ini benar-benar sangat berguna untuk masakan besar seperti ini.”

Bibi Duraya duduk di samping Sira, matanya berbinar kagum. Di tangannya, sebuah pisau dari pohon Lera bergerak lincah memotong daging. Mata pisaunya tampak tajam, bersih, dan jauh lebih efektif dibanding alat-alat batu yang biasa mereka gunakan.

“Aku tak menyangka suamimu dan putramu bisa membuat alat sepraktis ini,” lanjutnya, terkagum. “Memotong daging keras jadi semudah ini.”

Sira yang mendengar itu hanya tersenyum tipis meski raut wajahnya menyiratkan rasa bangga yang tak bisa ia sembunyikan.

Ia dan Tharen memang sengaja membawa sebagian perlengkapan dapur atas usulan Tanaya—panci besar, wadah logam, serta pisau dengan ukuran yang lebih memadai. Tak semuanya dibawa, hanya yang benar-benar dibutuhkan untuk acara besar kedepannya.

Tanaya tahu betul, peralatan purba yang biasa digunakan tak akan sanggup menangani masakan dalam jumlah besar seperti ini. Selain memakan waktu, hasilnya pun tak akan maksimal.

Dengan alat-alat itu, pekerjaan terasa lebih ringan. Api tetap menyala stabil, suara potongan daging dan percikan minyak menyatu dengan obrolan para wanita—sebuah pertanda bahwa hari ini bukan sekadar pertemuan suku, melainkan awal dari sesuatu yang baru.

“Bu, bolehkah aku meminta sedikit umbi untuk membuat kripik umbi?”

Tanaya kembali mendekat, suaranya ringan namun penuh semangat. Ucapannya terdengar jelas hingga ke telinga Bibi Duraya yang berada tak jauh dari mereka.

Sira mengernyitkan dahi. “Kripik?” tanyanya heran, tangannya tetap lincah memotong daging rusa di hadapannya.

“Apa itu?”

“Kripik umbi yang digoreng dengan minyak daging,” jelas Tanaya cepat, matanya berbinar.“Rasanya pasti gurih, Bu. Dan aman jika dijadikan cemilan untuk anak-anak… dan orang dewasa juga.”

Sira menoleh, menatap putrinya beberapa detik sebelum senyum bangga mengembang di wajahnya.

“Tentu saja,” katanya lembut. “Buatlah sesukamu. Ayo, biar Ibu bantu menyiapkan minyaknya.”lanjutnya karna persediaan minyak daging sudah habis.

“Tidak Bu!” Tanaya cepat menyela, sedikit tertawa. “Aku sudah berjanji pada Bibi Bunka ingin memasak bersama. Ibu di sini saja, aku tidak ingin merepotkan Ibu.”

Belum sempat Sira membalas, Tanaya sudah berbalik, menyusuri keramaian para wanita yang sibuk memasak, mencari sosok Bibi Bunka di antara asap dan suara riuh.

Sira menatap punggung putrinya yang menjauh. Ada rasa hangat—dan sedikit sesak—di dadanya. Ia tak menyangka putrinya akan tumbuh secepat ini.

“Naya…”

Bibi Duraya ikut tersenyum tipis sambil terus mengiris daging.“Akhir-akhir ini dia terlihat semakin pintar dan cerdas, ia juga selalu ikut jika ada kegiatan suku. Ada sesuatu yang berbeda pada gadis itu. Kau sungguh beruntung memiliki putri seperti itu, Sira.”

Duraya—wanita yang dikenal sulit didekati karena kedudukan suami dan putranya sebagai salah satu pemburu andal—kini justru lebih sering berbincang dengan Sira. Tatapannya menunjukkan ketertarikan pada perubahan Tanaya.

Sira menghela napasnya pelan—bangga.“Ya… aku sangat beruntung memilikinya.”Nada suaranya melembut.

“Dia tumbuh terlalu cepat. Rasanya baru kemarin aku menggendongnya… sekarang sebentar lagi dia akan menikah.”

Ada nada tak rela terselip di sana.

“Begitulah kehidupan,” ujar Duraya sembari memasukkan potongan daging ke dalam panci.

Ia terkekeh pelan.“Kalau saja dulu Nieng tidak menolaknya… mungkin sekarang Tanaya sudah menjadi putriku juga.”

Sira ikut terkekeh kecil.“Jangan begitu. Biarkan anak-anak menentukan pilihannya sendiri. Lagipula, Nieng tampak cocok dengan gadis pilihannya sekarang.”

Duraya menghela napasnya panjang.

“Apa maksud mu, Neera?”

Nada suaranya berat."Ah! Entahlah… aku yakin kau sudah mendengar bagaimana keluarganya sira. Jujur saja, aku sulit menerima jika putra kesayanganku bersanding dengan gadis dari keluarga seperti itu.”

Sira yang hendak memasukkan beberapa garam di panci seketika menoleh, dahinya berkerut tipis. Melihat reaksinya, Duraya mendekat sedikit—suaranya diturunkan, seolah membagikan rahasia.

“Kau tahu dua hari lalu, Tolan meninggalkan suku dan menikahi gadis dari Qien,” bisiknya, menyebut nama ayah Neera.

Pisau di tangan Sira berhenti.“Hah?”

Ia tersentak. “Benarkah? Ya, Aku pernah mendengar desas-desus itu dari Bunka… tapi bukankah Tara sedang mengandung?”

“Ya. Rumor itu sudah menyebar luas,” jawab Duraya pelan.“Tolan kini dicap sebagai pengkhianat. Kau tahu sendiri bagaimana wanita-wanita dari suku Qien… Mereka seakan tak punya rasa malu, merebut salah satu pemburu terbaik kita.”

Tangannya kembali bergerak memotong daging, Ia menghela napas berat.“Itulah sebabnya aku tidak setuju jika Nieng bersanding dengan Neera.”

Duraya menatap Sira tajam sejenak, lalu berkata lirih,“Terlebih lagi, gadis itu dan teman-temannya sering menimbulkan masalah di suku. Kau harus menjaga putrimu, Sira. Jangan sampai Tanaya terlalu dekat dengan mereka.”

Suara air mendidih dan aroma daging rebus menguar di antara mereka—tepat, dan tenang, namun kata-kata duraya sukses meninggalkan bayangan gelap di hati Sira.

...>>>>...

Brakk!!

Di tengah balai, suara hentakan keras menggema, membuat tanah bergetar ringan. Beberapa batang pohon Lera jatuh bersamaan, disusul hembusan napas berat para pria yang membawanya.

Disana, sudah terdapat lima belas batang pohon Lera besar dan kecil—akhirnya berhasil mereka kumpulkan. Para pria terkuat suku Nahara berdiri dengan tubuh basah oleh peluh, dada naik turun, wajah mereka menampakkan kelelahan yang bercampur kepuasan setelah berjam-jam berusaha menebang dan mengangkut kayu keras itu.

Di antara mereka, Tharen menghela napasnya panjang—lega. Setelah beberapa kali bolak-balik, akhirnya jumlah yang mereka butuhkan terpenuhi.

“Tharen, apa kau yakin ini tidak terlalu banyak?”Ketua Sao lamshu melangkah mendekat. Tangannya menyentuh salah satu batang Lera, menimangnya sejenak, menilai kekokohan kayu itu.

Tharen menoleh. Tatapannya tenang—penuh perhitungan.“Jika kita ingin memperkuat suku,” katanya mantap, “maka kita harus membuat banyak. Kekuatan tidak datang dari satu atau dua senjata saja.”

Ia melirik deretan batang Lera itu.“Jangan khawatir, Ketua Sao. Pohon Lera tidak akan punah. Pertumbuhannya cepat—alam sudah memberi kita kelebihannya.”

Ketua Sao terdiam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. Di balik mata tuanya, cahaya harapan menyala terang—harapan akan masa depan suku yang tak lagi mudah diremehkan.

Ia lalu memandang ke sekeliling balai.

Lebih dari seratus tiga puluh pria dan pemuda telah berkumpul, sebagian membawa anak-anak mereka. Suku Nahara memang tak besar, jumlah wanita dan anak-anak relatif sedikit, namun para prianya tumbuh cepat—kuat dan tangguh, dibesarkan oleh alam keras yang sama.

Sinar mentari pagi menerpa wajah-wajah lelah itu. Namun di balik peluh dan debu, ada bara semangat yang menyala di dada mereka.

“Warga Nahara,”

Ketua Sao perlahan melangkah ke depan. Tongkat kayunya menghantam tanah satu kali—cukup untuk membuat suara riuh perlahan mereda.

“Aku senang kalian semua bersedia mengikuti langkah pembuatan senjata baru ini.”

Ia tersenyum kecil, pandangannya menyapu wajah-wajah yang penuh keringat, harap, dan antusiasme.

“Dan hari ini, aku ingin secara khusus mengucapkan terima kasih pada keluarga Tharen,” lanjutnya sambil menoleh. “Atas kemurahan hati mereka yang bersedia berbagi pengetahuan—pengetahuan yang tidak semua suku mau atau mampu membaginya.”

Beberapa orang saling pandang. Ada rasa hormat yang nyata yang mereka tunjukkan.

Tharen, yang berdiri di antara para pria, hanya mengangguk lirih. Wajahnya tetap datar, tapi di dadanya ia lakukan ini bukan sekadar mendapatkan pujian.

Tapi kesempatan.

Kesempatan agar suku Nahara bangkit, agar mereka tak lagi diremehkan di pasar musim panas Agra ataupun sebelah mata oleh suku-suku lain. Dan lebih dari itu—ini adalah jalan untuk memenuhi keinginan putrinya.

Ya! Semuanya hanya untuk Tanaya...

“Pagi ini,” lanjut Ketua Sao, suaranya lebih tenang namun sarat makna, “seperti yang telah aku sampaikan kemarin, kita akan memulai pengajaran pembuatan benda baru—baik senjata maupun pengolahan bahan makanan.”

Ia berhenti sejenak, memberi jeda agar kata-katanya benar-benar meresap.

“Oleh karena itu, aku meminta keluarga Tharen memimpin pengajaran ini. Dan mereka dengan segala keterbatasan dan risiko telah bersedia.”

Beberapa warga menunduk, rasa terima kasih di wajah mereka terpancar jelas.

“Seperti yang kita ketahui,”imbuh Ketua Sao lagi, “pengetahuan dan keahlian adalah hal yang paling sulit didapat di dunia ini. Maka, hargailah apa yang akan kalian pelajari hari ini dan sepantasnya kita berterima kasih pada mereka.”

Semua mata kini memandang Tharen—penuh hormat dan rasa terima kasih.

“Senjata yang berhasil kalian buat,” lanjut Ketua Sao, “dapat ditukarkan dengan kristal putih dan barang-barang lainnya. Nilainya akan disesuaikan dengan kualitas dan fungsinya.”

Riuh kecil mulai terdengar.

“Kalian juga boleh menitipkan hasil itu kepada Wanghan untuk dibawa ke pasar musim panas. Namun ingat...” suaranya kembali tegas.

“Ada beberapa jenis senjata yang tidak boleh diperdagangkan. Itu akan menjadi persenjataan murni milik suku Nahara. Jika ada yang melanggar itu akan menjadi hukuman keras bagi kita semua"tukas katua Sao tegas.

Bisik-bisik antusias segera memenuhi balai.

“Wah, ternyata bisa ditukar dengan barang lain juga? Aku akan membuatnya banyak.”

“Aku tak menyangka senjata itu bisa kita bawa pulang dan diperjualbelikan… ini sangat menguntungkan.”

“Aku juga akan mengumpulkan banyak dan membawanya ke pasar musim panas di wilayah timur. Katanya di sana banyak barang-barang yang menarik.”

Namun di antara bisikan itu, terdengar suara yang lebih pelan—nyaris meremehkan.

“Keluarga Paman Tharen memang luar biasa,” bisik seseorang"Tapi, sayangnya putrinya seperti itu…”

“Huss!” teman di sampingnya segera menyela. “Jangan bicara sembarangan. Kau tahu betul betapa mereka menyayangi Naya. Bisa-bisa kau ditendang keluar dan tak diizinkan ikut belajar.”

Pria itu tersentak.“Ah—kau benar. Aku salah bicara.”

Ia refleks menutup mulutnya sendiri, lalu melirik ke arah Tharen. Melihat pria itu tak bereaksi, ia menyeka keringat di dahinya dan menghela napas lega.

Beruntung, ucapannya tadi tak terdengar.

Namun benih bisik itu telah ada—diam, samar, menunggu waktu untuk tumbuh.

...>>>To Be Continued.......

1
Lala Kusumah
ish mereka belum nyaho gmn Naya sekarang huh....
Markuyappang
kak kalo mau minta update lagi terlalu memaksa kah diriku ini huaaaa nggak sabarrrr ayo tunjukan keahlian dari masa depanmuuuu tampar siapapun yg meremahkan dirimu dengan apa yg kau miliki. buat si pembenci itu semakin kebakaran jenggot xixixixixi.
thank you udah update ya kak, tapi kalo bisa nambah lagi ya hehehehehe fighting
Andira Rahmawati
lanjut thorrr...kalo bisa double up thorrr🙏🙏🙏🙏💪💪💪
Angela
kurang Thor,soalnya nagih baca novel mu thor😍
Angela
lanjut thor
Lala Kusumah
double up dong Thor, ceritanya tambah seruuuuu nih 🙏🙏👍👍
Yani
update lagi Thorr, semangat 💪🙏🙏
Musdalifa Ifa
rua lelaki kurang ajar ih dasar lelaki brengsek😤😤😤😠😠😠
Lala Kusumah
Naya hati-hati sama buaya darat 🙏🙏🙏
anna
❤❤👍🙏🙏
Andira Rahmawati
dasar laki2 munafik..naya harus lebih kuat..harus pandai bela diri..knp tadi naya tdk msk ke ruang rahasianya saja..
Yani
aku mau izin masuk grup dong Thorr, sdh aku klik tapi gak ada ya lanjutannya. apa belum di accept ya🥰🥰🙏
📚Nyxaleth🔮: Maaf kak... ceritanya error enggak bisa di masukin di grub. Aku udah up disini kok, bentar lagi muncul. kata-kata nya udah AQ perbaiki. makasih udah nunggu🙏❤️
total 1 replies
Yani
ayok lanjut Thorr crita nya
Angela
yah cuman 1 eps , kurang banyak thor kalau bisa 2 eps
💜 ≛⃝⃕|ℙ$°INTAN@RM¥°🇮🇩
lanjut kak
Angela
lanjut thor,aku suka ceritanya😍
RaMna Hanyonggun Isj
sedikit sekali update x sekali update x 50 ep kha
Lala Kusumah
Naya emang hebaaaaaatt baik hati dan tidak sombong 👍👍👍😍😍
Muhammad Nasir Pulu
lanjut thorr..baru kali ini dapat cerita yg menarik, bagus dan ini kali pertama selama baca novel baru ku tinggalkan jejak
Andira Rahmawati
lanjut..thor...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!