Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 ; Ancaman Untuk Tetap Hidup
Lyanna mengerutkan dahi ketika melihat Arion berdiri di ambang pintu. Pandangannya langsung beralih pada Yvaine.
“Apa maksud semua ini?” tanyanya curiga.
Yvaine hanya tersenyum samar dan menoleh pada Arion. “Masuklah dulu.”
Arion melangkah masuk, menutup pintu dengan tenang. Namun Veyra langsung melempar tatapan tajam, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan kasar.
“Kalau dia yang kau maksud bisa membantu, lebih baik kau tarik kembali kata-katamu, Yvaine. Aku sama sekali tidak berniat berdamai dengannya.”
“Veyra, tenanglah dulu,” Yvaine menegur dengan nada sabar.
“Tenang?” Veyra menatap kakaknya dengan dingin. “Setelah semua yang dia lakukan, kau masih bisa bilang begitu?”
Yvaine menghela napas panjang. “Justru itu yang ingin kubicarakan. Ada kesalahpahaman di antara kalian.”
Lyanna ikut angkat bicara, tatapannya ragu. “Keterlibatannya dalam kasus yang tidak selesai… kau yakin dia bukan di pihak yang salah?”
“Tidak selalu begitu,” Yvaine menoleh padanya. “Dalam hukum istana, seorang bawahan tidak bisa menolak perintah pemimpinnya. Arion melakukan tugasnya, meski terkadang tampak seolah dia berpihak pada yang salah.”
Veyra menggebrak sandaran sofa. “Jadi menutup-nutupi kesalahan adalah bagian dari tugas? Kau serius, Yvaine?”
“Menutupi bukan berarti membenarkan,” jawab Yvaine tegas. “Kadang itu dilakukan demi menjaga nama baik istana.”
“Tetap saja!” Veyra menentang. “Untuk apa dia membantu kita menangkap Kaelor kalau pada akhirnya semuanya ditutup juga? Bukankah itu sama saja bohong?”
“Tidak,” Yvaine menatapnya dalam. “Dia memang menutup kasus itu. Tapi tanpa bantuannya, kalian bahkan tidak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Lyanna terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Arion. “Memang… beberapa kali dia membantuku. Meski semuanya berakhir tertutup, setidaknya aku tahu betapa busuknya hukum negeri ini.”
Yvaine menunduk sedikit. “Itulah kenyataannya. Dan sekarang… kalau kalian keluar lagi, ayah tidak akan tinggal diam. Ancaman yang dulu mungkin akan benar-benar dilaksanakan.”
“Berhenti membicarakan ancaman!” Veyra berdiri dengan geram. “Haruskah kita hidup dengan ketakutan hanya agar disebut aman?”
“Veyra—” Lyanna menahan, lalu menatap adiknya dengan serius. “Kalau begitu, apakah kau rela melepaskan statusmu demi keluar dari lingkaran ancaman ini?”
Langkah Veyra terhenti. Tangannya mengepal. “Aku pernah mempertaruhkan statusku demi keamanan yang dijanjikan. Tapi sekarang? Kenapa aku tidak bisa melepaskannya lagi… kalau janji itu tidak pernah ditepati?”
Ia berjalan ke arah pintu, melewati Arion begitu saja.
“Keputusanmu ini… apa karena pria itu muncul lagi?” suara Lyanna terdengar lirih, tapi cukup membuat langkah Veyra membeku.
Gagang pintu diremas erat. “Jangan pernah membicarakannya lagi,” ucap Veyra dingin.
Pintu tertutup keras, meninggalkan hening yang menyesakkan.
Yvaine menatap kosong ke arah pintu. “Sepertinya keputusannya sudah bulat. Dia rela melepaskan status hanya demi turun tangan sendiri.”
“Dia selalu keras kepala!” Lyanna mengusap wajahnya dengan frustasi. “Dia pikir bisa melakukannya sendirian. Tapi kemarin, saat menangkap Kaelor, aku bertemu pria itu lagi. Dia mengancamku, Yvaine. Kalau dia bertemu Veyra lagi… aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Yvaine terdiam lama. Tatapannya meredup. “Setelah Sepuluh tahun berlalu… apa masalah itu belum juga selesai?”
Yvaine menghela napas panjang. “Aku akan keluar sebentar,” ucapnya pelan, lalu menoleh ke arah Lyanna. “Tetaplah di sini untuk sementara waktu.”
Ia berdiri dari kursinya dengan tenang, lalu berjalan menuju pintu. Saat melewati Arion, Yvaine sempat berhenti sejenak.
“Temani Lyanna,” katanya singkat, namun tegas.
Arion hanya mengangguk tanpa banyak bicara, berdiri tegak di tempat. Tatapannya mengikuti langkah Yvaine hingga pintu tertutup rapat.
Keheningan pun menyelimuti ruangan. Lyanna bersandar di sofa, matanya terpejam, seolah ingin melepaskan segala beban yang menumpuk di kepalanya. Sementara itu, Arion tetap berdiri di kejauhan, menjaga jarak seolah kehadirannya sendiri adalah sesuatu yang tidak diinginkan.
Namun dalam diamnya, matanya tertuju pada wajah Lyanna. Ada pertanyaan yang tak bisa diabaikan. ‘siapa pria yang selalu disebut-sebut oleh Lyanna dan Veyra? Dan… apa hubungannya dengan mereka berdua hingga bayangannya masih membekas begitu dalam?’