Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Boneka kecil yang selalu dibawanya, simbol kebiasaannya yang tampak kekanak-kanakan tapi… mengandung sesuatu yang Lyora tak pernah jelaskan. Apollo mengambil pita itu perlahan. Jari-jarinya gemetar halus, tapi wajahnya tetap dingin.
Ia berjalan ke balkon, membuka pintu kaca, membiarkan udara malam masuk. Bau melati kembali tercium, tapi kali ini ada tambahan aroma aneh, oli, besi, dan sedikit bahan bakar.
Bau yang biasanya menempel pada mesin kecil, bukan kendaraan besar.
Apollo menunduk, melihat taman dari atas.
Ada jejak kecil di rumput basah, samar namun terarah ke sisi kanan taman, menuju selasar servis bawah tanah. Di dekat air mancur, ia melihat pantulan logam, mungkin potongan pita lain.
Ia turun, langkahnya cepat namun senyap.
Dua pengawal bayangan segera mengikuti di belakang. Begitu ia tiba di taman, seorang petugas patroli berlari kecil menghampiri, membawa sesuatu di tangannya.
“Bos kami menemukannya di dekat selasar bawah.”
Apollo mengambil benda itu. Potongan pita merah lain, sedikit lebih panjang, basah oleh embun.Ia menatap keduanya, menyatukannya di telapak tangan. Cocok sempurna. Sebuah garis merah, penghubung antara kamar Lyora dan sisi taman yang menuju lorong bawah.
Ia berlutut, menyentuh tanah. Ada bekas roda kecil, seperti roda trolley atau kontainer logistik. Arah jejaknya menuju pintu servis bawah tanah, jalan yang jarang digunakan, bahkan oleh staf mansion.
Apollo berdiri, menatap ke arah itu lama. Bibirnya menegang.Ia kembali masuk ke kamar, matanya menyapu meja di sisi ranjang. Di sana, di tepi vas bunga, ada serbuk putih halus.
Ia menunduk, menyentuhnya dengan ujung kertas, lalu menatap butir kecil itu di bawah cahaya lampu meja. Bukan debu biasa, teksturnya halus, beraroma samar seperti bunga kering dan alkohol medis.
Sebuah formula yang hanya digunakan oleh unit tertentu… atau oleh seseorang yang tahu cara menghapus jejak DNA.
Apollo menegakkan tubuh, menyelipkan kertas itu ke dalam saku jasnya.Lalu perlahan, senyum dingin terlukis di wajahnya. Bukan senyum kemenangan, tapi pengakuan.
“Tidak kebetulan,” gumamnya pelan.
Suaranya nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri. “Dia meninggalkan ini untukku.”
Ia menatap langit-langit, menarik napas panjang, dan menutup matanya. Langkah Apollo bergema berat di tangga marmer yang dingin.
Setiap anak tangga memantulkan pantulan bayangannya yang panjang, seperti sosok lain yang mengikutinya dari masa lalu. Jam besar di dinding berdentang pelan , satu kali, dua kali sampai akhirnya berhenti di pukul 01.00 dini hari.
Lorong di bawah tampak lengang. Hanya lampu gantung yang masih menyala redup, memantulkan cahaya ke perak gagang pintu dan permukaan lantai yang basah oleh embun yang dibawa angin malam dari balkon terbuka.
Eliot, yang sedari tadi menunggu di ruang tamu, segera menegakkan tubuh.“Bos , sudah lewat tengah malam,” ucapnya pelan. “Anda belum istirahat sejak—”
Namun kalimat itu terputus. Sebab Apollo tiba-tiba berhenti.Langkahnya membeku di anak tangga terakhir. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah pintu utama mansion yang kini… terbuka lebar.
Angin malam menerobos masuk, membuat tirai tipis di ruang depan berkibar pelan. Aroma melati kembali tercium samar, bercampur dengan aroma logam dan hujan.
Semuanya terasa terlalu tenang… terlalu sunyi.
Eliot mengikuti arah pandangnya. “Bos ?” bisiknya hati-hati. Tapi Apollo tidak menjawab. Ia menajamkan pandangan, pupilnya menyempit. Ada seseorang berdiri di ambang pintu.
Bayangannya memanjang di lantai , tinggi, ramping, diam seperti arca batu. Lampu taman di luar hanya menyinari sebagian tubuhnya, memperlihatkan ujung jubah hitam yang meneteskan air, dan kilau gelang logam di pergelangan tangan kiri.
Hening.
Waktu seakan berhenti. Eliot bisa mendengar detak jam dinding… dan napas berat tuannya.
Apollo menegakkan tubuh perlahan, suara sepatunya beradu dengan marmer. Satu langkah… dua langkah. Sampai akhirnya, dari bibirnya keluar suara yang rendah, dalam, dan nyaris tak percaya:
“Kau…”
Satu kata itu menggantung di udara.Penuh kejutan, kemarahan, dan sesuatu yang lain — sesuatu yang belum siap ia akui: kerinduan.
Angin malam berhembus kencang, meniup tirai ke arah dalam dan memadamkan separuh cahaya di lorong. Siluet di ambang pintu tak bergerak sedikit pun.
Lalu, lampu gantung bergetar pelan. Cahaya berkedip satu kali, dua kali… dan padam. Gelap total. ✨ [To be continued].
...****************...
Kabut malam masih melekat di rambut dan pakaian Wanita bertopeng naga ketika ia melangkah menembus hutan bambu. Daun- daun panjang berdesir setiap kali angin lewat, menimbulkan suara halus seperti bisikan rahasia yang saling bertukar.
Di kejauhan, cahaya lentera kuning menggantung di antara pepohonan, menandai batas wilayah yang tidak pernah tercantum di peta manapun.
Pendopo itu muncul dari balik kabut seperti mimpi kuno. Bangunan kayu raksasa bergaya Tiongkok klasik, dengan atap melengkung berlapis genting giok hitam. Pilar-pilarnya dipenuhi ukiran naga dan phoenix yang saling membelit. Kolam batu di depannya memantul kan cahaya lentera yang bergetar lembut di permukaan air.
Tak ada yang akan menyangka bahwa di jantung hutan beku Moskow, tersembunyi sebuah dunia seperti ini , sebuah “desa yang tak tercatat”, rumah bagi mereka yang seharusnya sudah mati.
Begitu langkah beratnya melewati gapura batu besar, bayangan seseorang muncul dari balik tiang merah.
Seorang wanita yang mengenakan pakaian gelap serupa dengannya, tanpa topeng. Kulitnya pucat, rambut hitamnya disanggul rapi, dan mata keemasannya menatap tajam seperti pisau. Ia tersenyum samar lalu bersiul pelan, nada rendah yang menjadi kode penyambutan sesama anggota Vanguard.
Wanita dengan topeng menoleh malas, masih dengan napas berat dan langkah terukur. Ia memutar bola matanya sedikit, keletihan dan kemarahan bercampur jadi satu. Dengan satu gerakan lambat, ia melepas topi anyaman bambu dari kepalanya, kemudian topeng naga logam yang menutupi wajahnya.
Udara dingin menyentuh kulitnya. Dan untuk pertama kalinya malam itu, wajah aslinya terlihat: Lyora Dragunov wanita yang di mata dunia adalah istri Apollo, pewaris sah keluarga Dragunov.
Namun di tempat ini, ia bukan siapa-siapa selain “Komandan Bayangan”.
Wanita tanpa topeng itu melangkah maju dua langkah. Senyumnya lebar, tapi dingin. “Kau dapat pesan-pesannya?” tanya sosok itu ringan, seolah menanyakan kabar dari pasar.
Lyora berhenti. Matanya perlahan menajam.
Ia menggeleng pelan. “Tidak,” jawabnya dingin. “Kau membohongiku. Dan mereka menjebakku.”
Amberlyn, wanita itu menyilangkan tangan di depan dada, alisnya terangkat seolah menilai kemarahan adiknya sebagai hal yang lucu.
“Bohong? Oh, Lyora, kau terlalu manis untuk dunia ini. Kau pikir Apollo akan datang sendirian kalau bukan karena sedikit dorongan dari pihakku?”
Lyora menatap tajam.“Dorongan? Kau membuatnya hampir membunuhku.”
Amberlyn tertawa kecil, suaranya bergema di antara tiang-tiang kayu. “Tapi kau selamat, bukan? Itu berarti kau masih seimbang di antara dua dunia. Dragunov tidak mencurigai mu sepenuhnya, dan pasukanmu masih loyal.”
“Loyal?” Lyora menatap tajam. “Setengah dari mereka tertembak karena jebakanmu.”
Sekilas, ekspresi Amberlyn berubah dingin. Tapi kemudian ia tersenyum lagi, kali ini lebih lembut .
“Mereka adalah pengorbanan yang diperlukan. Aku hanya ingin tahu, seberapa jauh kau akan pergi untuk melindungi dia… suamimu itu.”
Lyora menunduk. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, masih ada bekas luka bakar di sarung tangan akibat duel di dermaga.
“Apollo tidak boleh tahu apa pun tentang ini.”
Amberlyn mendekat perlahan, jarak mereka hanya sejengkal.“Terlambat, adikku.”
“Apa maksudmu?”
“Dia sudah melihatmu. Dia mungkin belum mengenali wajahmu di bawah topeng itu, tapi matanya tahu. Dan Dragunov tidak pernah lupa pada rasa yang sudah menancap di dalam darahnya.”
Lyora memalingkan wajah. “Kalau begitu aku akan memastikan dia tidak sempat membukti kannya.”Amberlyn tersenyum, matanya berkilat.
“Kau akan membunuhnya?”
Hening. Hanya suara bambu berdesir di kejauhan, bersahutan dengan desir air di kolam batu.
“Tidak,” jawab Lyora akhirnya. “Aku hanya akan menghapus jejakku darinya. Untuk selamanya.”
Amberlyn mengangkat dagu Lyora dengan satu jari, menatap mata adiknya. “Kau bisa berbohong pada dunia, Lyora. Tapi tidak pada matamu sendiri.”
Lyora menepis tangannya kasar dan melangkah menjauh ke arah lorong utama pendopo, melewati lentera-lentera kuning yang berayun lembut.
“Kalau kau ingin terus memainkan permainan ini, jangan seret aku lagi. Aku sudah cukup kehilangan.” Ucap Lyora.
Amberlyn menatap punggung Lyora sampai bayangannya lenyap di balik kabut, lalu berbisik pada dirinya sendiri:“Sayangnya, adikku… permainan ini belum selesai. Dan kau , ” ia tersenyum dingin, “ masih bagian dari papan caturku.”
" Aku penasaran…” katanya dengan nada menggoda. “Apa reaksi pria itu kalau tahu kau sebenarnya adalah Rena?”
Langkah Lyora terhenti seketika.Hening.
Beberapa helai daun bambu jatuh, seperti waktu ikut berhenti.
Kemudian, perlahan, Lyora menunduk. Senyum tipis, getir, terbentuk di wajahnya.
“Rena sudah mati,” katanya pelan, nyaris seperti berbisik. “Mati di hari ketika kalian memisahkannya dari pria yang paling ia cintai.”
Amberlyn berjalan mendekat, suaranya berubah dingin dan sarkastik. “Rena tidak akan mati jika saja dia ingat tujuannya masuk ke jantung kehidupan Dragunov adalah untuk melenyapkan pria itu, bukan jatuh cinta kepadanya.”
Tatapan Lyora tetap ke depan, tak bergeming.
“Dan bahkan sekarang,” lanjut Amberlyn, “kau kembali ke kehidupannya hanya untuk melindunginya. Betapa ironis.”
Untuk pertama kalinya, Lyora menoleh setengah , cukup bagi Amberlyn untuk melihat senyum tipis di wajahnya. Senyum yang bukan kepasrahan, tapi ketenangan yang lahir dari luka paling dalam.
Biarlah,” ucap Lyora lembut. “Karena aku tahu apa yang aku lakukan.”
Ia menunduk, dan seekor kelinci putih kecil melompat ke arahnya , si kecil bernama Fugui, satu-satunya makhluk yang tahu sisi lembutnya. Lyora mengangkatnya, memeluk erat tubuh mungil itu di dadanya, lalu berjalan perlahan ke dalam pendopo, meninggalkan Amberlyn dalam diam dan kabut yang kembali menelan mereka berdua.
****************