Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.
suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.
apa yang menanti anzu didalam portal?
ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.
ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan diatas lambergeth
Langit Lambergeth meredup, diselimuti kabut tipis dan sisa gerimis.
Di tengah pasar yang mulai sepi, dua sosok berdiri saling berhadapan.
Alfred, tubuh tegap dengan jubah perjalanan yang basah,
dan seorang ksatria Kerajaan Celestia berzirah perak hitam, topeng logam menutupi wajahnya.
Udara di sekitar mereka begitu hening — hanya terdengar derit pelat logam dan tetes air dari atap.
“Jadi, kau mengenalnya,” ujar ksatria itu dingin, pedangnya sudah terhunus.
“Makhluk yang disebut kutukan dunia… bernama Anzu.”
Alfred menatap tajam, tapi tak menjawab.
Ia tahu, setiap kata yang keluar bisa mempercepat kematian seseorang.
“Diam bukan berarti tak bersalah,”
ksatria itu melangkah maju,
“aku akan memastikan kau tak sempat memperingatkannya.”
Tanpa aba-aba — pedang itu menyambar.
CLAAANG!
Alfred menangkis dengan refleks cepat.
Beban hantaman membuat lengannya bergetar, tumitnya terseret di atas batu basah.
Pedang lawan begitu berat, lebih cocok dipegang prajurit yang lahir dan hidup di medan perang.
Ksatria itu menyerang lagi, cepat dan mematikan.
Setiap ayunan seperti badai — penuh disiplin dan niat membunuh.
Tapi Alfred menahan.
Berkali-kali.
Bahu kirinya nyaris terbelah, lengan kanannya mati rasa. Namun setiap kali pedang lawan mendekat, ia bergerak satu langkah ke belakang, menunggu celah.
Ia bukan pendekar kerajaan.
Ia hanya orang yang pernah bertarung untuk bertahan hidup.
Dan hari ini — ia bertarung bukan untuk dirinya, tapi untuk sahabatnya.
“Kenapa diam?” ejek sang ksatria.
“Sudah pasrah?”
Alfred tidak menjawab. Ia menatap lantai basah, memperhatikan pijakan musuh — berat sebelah kanan.
Ada celah.
Saat berikutnya datang, ia menunduk menghindari tebasan tinggi dan menghantam lutut ksatria dengan tumitnya sekuat tenaga.
BUAAKH!
Suara logam berderak, tubuh lawan oleng sesaat.
Kesempatan kecil — tapi cukup.
Alfred memutar pedangnya, menusuk dari bawah ke arah celah di perut zirah.
Darah hitam mengalir dari retakan logam.
Ksatria itu mundur, menahan luka di perutnya.
“Kau… berani menentang kerajaan?”
suara itu serak, marah, tapi juga terkejut.
Alfred menatapnya dengan pandangan dingin, bahunya naik turun karena kelelahan.
“Aku hanya melindungi orang yang mempercayakan hidupnya padaku.”
Ia mengangkat pedangnya lagi.
Meski napasnya berat, matanya tidak goyah.
Ksatria itu berteriak dan menyerang terakhir kalinya — serangan lurus yang memecah udara.
Tapi Alfred sudah siap.
Ia melangkah ke samping, membiarkan bilah lawan melewati bahunya, lalu memutar tubuh, menghantam sisi helm dengan gagang pedang.
TRAAK!
Topeng logam retak. Ksatria itu terhuyung mundur — dan Alfred menebas mendatar, mengenai bagian helm terbuka.
Suara logam pecah.
Tubuh ksatria itu jatuh keras ke tanah batu, tak bergerak lagi.
Hanya napas Alfred yang tersisa — berat, terputus-putus, disertai darah yang menetes dari bibirnya sendiri.
Ia memegangi sisi tubuhnya yang terluka — pedangnya penuh darah dan hujan.
“…Aku menang,” gumamnya lirih.
“Tapi rasanya… seperti hampir mati.”
Ia memaksa berdiri, menyeret langkahnya ke arah gang sempit.
Di belakangnya, kabut menelan tubuh ksatria yang tergeletak, meninggalkan genangan merah di antara batu-batu basah.
“Anzu… aku harus memperingatkannya… sekarang.”
---
Beberapa jam kemudian — Rumah tua di pinggiran kota
Di bawah tanah, Anzu sedang duduk bersila, mencoba menyeimbangkan auranya.
Cahaya merah berdenyut lembut di sekitar tubuhnya, stabil, tenang.
Ia sudah mulai mengendalikan resonansi antara jiwa dan kekuatan barunya.
Tiba-tiba…
ia merasakan sesuatu.
Sebuah getaran lemah — samar, tapi familiar. Seperti rasa sakit dari jauh.
Anzu membuka matanya.
Aura merah di tubuhnya goyah sesaat.
Langkah berat terdengar dari luar.
Pintu terbuka dengan suara kayu berderit.
Alfred berdiri di ambang pintu, tubuhnya berlumuran darah dan lumpur.
Wajahnya pucat, matanya sayu, tapi masih menatap lurus.
“Alfred!”
Anzu langsung berlari menahannya, membantu tubuhnya yang hampir tumbang.
“Ada apa ini? Siapa yang melukaimu!?”
Alfred mencoba bicara, tapi suaranya serak.
“Ksatria… Celestia… mereka sudah di kota. Aku mencoba… menyamarkan langkahku, tapi satu orang mengenaliku.”
Anzu mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
“Berapa lama sampai mereka menemukan tempat ini?”
“Tak lama,” jawab Alfred pelan. “Mereka sudah tahu kau ada di Lambergeth.”
Anzu menatap pria tua yang muncul dari tangga dengan kotak obat di tangan.
Pria itu langsung berlutut, memeriksa luka Alfred.
“Lukanya dalam, tapi bukan mematikan,” katanya tenang.
“Dia butuh waktu untuk pulih… setidaknya dua hari.”
Anzu berdiri, menatap langit di luar jendela sempit.
Kabut malam mulai turun lagi, menyelimuti seluruh kota.
“Kita tak punya dua hari,” ucapnya lirih.
“Begitu mereka menemukan tubuh ksatria itu, seluruh pasukan akan dikerahkan.”
Pria tua itu menghela napas.
“Aku tahu. Tapi jika kau memaksakan perjalanan malam ini, temanmu bisa mati di jalan.”
Anzu terdiam lama.
Kemudian ia menatap Alfred yang terbaring lemah, namun tetap menggenggam pedangnya di sisi ranjang.
“…Kau bodoh,” gumamnya pelan.
“Kenapa tak kabur saja?”
Alfred membuka matanya sedikit, tersenyum samar.
“Kalau aku kabur… siapa yang akan menutup punggungmu?”
Anzu menunduk, menahan emosi yang hampir pecah di matanya.
Pria tua itu menatap keduanya bergantian, lalu berkata pelan,
“Baiklah. Kita tinggal satu malam saja di sini. Setelah itu, sebelum fajar, kalian pergi.”
Anzu mengangguk pelan.
Di luar rumah, angin malam membawa suara langkah berat — gema zirah logam di kejauhan.
Mereka belum tiba, tapi waktu sudah hampir habis.
Anzu berdiri di depan jendela, menatap kabut yang menggulung di antara rumah-rumah.
Suara Satan berbisik pelan di pikirannya, seperti bayangan dari dalam jiwanya.
“Mereka mencarimu, Anzu… tapi yang mereka temukan nanti bukan manusia. Mereka akan menemukan sesuatu yang bahkan para dewa pun takut lihat.”
Anzu menatap tangannya, aura merah samar menyala di ujung jarinya.
“Kalau begitu…”
katanya tenang, menatap fajar yang hampir muncul di timur,
“biarkan mereka melihat siapa aku sebenarnya.”
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪