“Anak? Aku tak pernah berharap memiliki seorang anak denganmu!”
Dunia seolah berhenti kala kalimat tajam itu keluar dari mulut suaminya.
.
.
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1
Suara nyaring dari pintu yang dibanting keras, memecah kesunyian malam itu.
Kayuna terlonjak dari duduknya, kedua netranya mendapati sang suami — Niko, masuk ke kamar dalam keadaan mabuk berat.
Brak!
Langkah berat pria itu menabrak lemari kecil di sisi pintu.
Kayuna menghampiri sang suami. “Kamu kenapa, Mas?” tanyanya dengan raut wajah bingung.
Niko muncul dalam keadaan kacau, rambutnya acak-acakan, dasinya sudah miring tak beraturan. Padahal, pagi tadi ia berangkat kerja dalam keadaan rapi sekali.
Kayuna merangkul suaminya, dengan tubuh mungilnya ia berusaha mengangkat sang suami yang tubuhnya jauh lebih besar dari dirinya. Namun, ia kehilangan keseimbangan, keduanya pun terjatuh bersamaan ke lantai.
Niko membuka sedikit matanya, dengan samar ia menatap sayu wajah sang istri. “Kamu … cantik sekali malam ini,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Entah pengaruh alkohol atau hal lain, pria itu mendadak berdiri tegak, padahal sejak tadi dirinya sudah oleng bahkan tersungkur ke lantai.
Kayuna ikut bangkit, dahinya mengerut rapat. “Berapa banyak yang kamu minum, sampai mabuk berat kayak gini?” tanyanya pada pria yang masih berdiri linglung di hadapannya.
Niko mengangkat tangannya — menyentuh lembut wajah istrinya. Jari-jarinya mulai menggerayang pelan menyibak rambut Kayuna. “Istriku? ... ayooo …,” ucapnya pelan, jelas meminta sang istri untuk memenuhi hasratnya.
Kayuna menatap waspada, ia mundur selangkah, sorot matanya bergetar — terselip rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan.
“Kenapa mundur? Kau menolak?” suara Niko menajam.
Laki-laki itu maju selangkah, mendekatkan wajahnya tepat di hadapan Kayuna. Sorot matanya bak belati yang baru saja diasah.
Kayuna yang sudah terpojok di sudut dinding pun hanya bisa tertunduk. “Mas … kamu mabuk,” lirihnya.
Jemarinya mengepal erat, meremas rok plisket premium yang melekat pada tubuhnya saat itu.
Niko menyeringai, ia terus mengapit wanita itu, mata bengisnya tak henti-henti mengintimidasi sang istri.
Sementara Kayuna hanya terdiam, menelan ludah pahit, menahan napasnya yang tercekat sejak tadi.
Niko merasa geram karena sang istri terus menghindarinya, seolah menolak ajakannya. “Aku suamimu, kenapa kau seolah takut tiap kali aku mendekatkan diri padamu. Hm?”
“Sudah menjadi kewajibanmu untuk memenuhi hasratku, Kayuna.”
Kayuna mengerjap, tak berani menatap balik suaminya, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu. Tetapi, tak ada satupun kalimat yang keluar dari mulutnya, lidahnya terasa kelu.
Tak menunggu lagi. Niko langsung menarik rambut Kayuna — menyeretnya, kemudian menghempaskannya ke ranjang.
Dengan cepat ia melepas dasi dan kemeja hitam yang melekat pada tubuh kekarnya. Terdengar hentakan seseorang — meronta, berusaha melepaskan diri.
“Mas … tolong—”
Plak!
Satu tamparan mendarat tepat pada pipi Kayuna.
“Patuhlah, Kayuna ….”
Niko menggenggam erat kedua tangan istrinya, lalu mengikatnya dengan dasi pada headboard yang memang ia desain khusus. Tangannya tak berhenti menyentuh Kayuna — melepas pakaiannya.
“Kita akan bersenang-senang malam ini, Sayang.” Tanpa emosi. Sorot matanya dingin — seolah tak ada sedikit pun empati yang dimiliki.
Niko lalu meraih sebatang rokok dan menyulutnya, ia menghisapnya pelan, asap tipis mengepul di ruangan.
Tatapan bak pembunuh berdarah dingin terus tertuju pada wanita yang kini tampak tak berdaya.
Dengan tangan terikat, napas Kayuna tersengal, ia merintih ketakutan. Pria beringas itu pun mendekatinya, dengan lembut jemarinya menyentuh tubuh Kayuna — menekan bara rokok di perutnya.
“Akkhhhh!” Kayuna menjerit. Namun, kamar itu sudah dibuat khusus kedap suara, hingga tak akan ada satupun orang yang mendengar teriakannya.
Niko tertawa puas, matanya menyala menatap sang istri yang berteriak kesakitan. “Ayo, Sayang! Teriaklah!”
Niko terus melanjutkan aksinya, memaksa dan menyiksa istrinya demi memenuhi hasrat se_xual sadisme-nya.
Tak ada lagi perlawanan, Kayuna hanya pasrah di tengah siksaan suaminya.
****
Niko adalah sosok suami yang kasar dan tempramental. Ia tak segan menampar dan bersikap kasar pada istrinya, apabila satu saja titahnya tak dipenuhi oleh Kayuna.
Dua tahun sejak pernikahan mereka, Kayuna merasa terperangkap di dalam kandang macan. Menjalin bahtera rumah tangga dengan seorang CEO, tak sepenuhnya indah seperti yang ada dalam drama-drama korea.
Kayuna hanyalah istri pajangan di rumahnya, ia tak jauh beda dengan seorang pelayan yang hanya melayani raja tanpa berani membangkang. Bahkan seluruh keluarga suaminya sama sekali tak menganggapnya berharga, terlahir dari keluarga miskin, membuatnya diperlakukan layaknya wanita hina yang hanya menodai martabat keluarga.
Pagi itu. Kayuna tengah memotong sayuran di dapur, pipinya masih memerah bekas jari-jari kasar yang menamparnya semalam. Matanya sembab, tapi masih tetap fokus dengan pekerjaannya.
Kayuna mendengar langkah kaki ringan yang tak asing di telinganya, ia langsung berbalik, menatap wanita muda yang berdiri dengan raut wajah menyebalkan di sisi meja makan.
“Jus mangga sudah siap di kulkas, bubur ayam sesuai requestmu sudah tersusun rapi di meja, lalu air hangat untuk mandi sudah aku siapkan di kamar mandimu,” ucap Kayuna datar. “Aku heran, padahal ada shower air panas, kenapa repot-repot memintaku merebus air hangat di kompor?”
“Huaamm …” Safira menguap lebar. “Thank you, untuk air hangat … aku lebih suka kalau kakak iparku yang menyiapkannya,” cetusnya dengan suara yang sengaja dibuat untuk menyulutkan emosi lawan bicaranya.
Mendengar itu. Kayuna hanya menyeringai datar, seolah ucapan adik iparnya sama sekali tak membuatnya terusik, kehabisan kata atau sudah mati rasa? Entahlah.
Tak lama, langkah seseorang kembali terdengar mendekati ruang dapur.
“Semuanya sudah tersedia di meja,” ucap Kayuna tanpa menoleh, ia tahu itu adalah sosok Vena—ibu mertuanya yang bermulut pedas.
“Nggak sopan sekali kau ini,” dengus Vena sambil merebahkan bokongnya di atas kursi. “Nasib apes banget, punya menantu nggak tahu sopan santun, apalagi attitude yang baik? Cuih, kampungan, lulusan sekolah murahan.”
“Aku masih nggak habis pikir kenapa Niko mau menikahi wanita hina sepertimu!” omel Vena, mulutnya nyerocos melontarkan segala hinaan pada menantunya.
“Aku setuju sama mama, kak Niko … kayaknya diguna-guna deh,” timpal Safira, sengaja mengompori ibunya yang jelas-jelas memanas nan emosi.
Kayuna hanya diam, tangannya masih sibuk dengan urusan tumisan. Seolah telinganya tak mendengar apapun hari itu, meskipun hatinya terus menggerutu dan terasa sesak.
Logikanya jelas berkata tak terima dengan segala hinaan yang ditujukan pada dirinya. Tetapi, mulutnya memilih tak bersuara, menurutnya saat ini, diam adalah satu-satunya pilihan agar tak terseret dalam pertengkaran yang tak begitu penting.
***
Awan putih mengambang di udara, sementara matahari terasa lebih menyengat dari biasanya. Silaunya menerpa wajah seorang wanita yang tengah berjalan menuju halte bus.
Hari ini, Kayuna tak didampingi oleh supir, ia memilih pergi sendiri dengan kendaraan umum. Ia berencana untuk mampir ke cafe bertemu dengan kakak perempuannya.
“Huuhh … panas banget hari ini,” gumamnya sambil mengangkat tangan — melindungi wajahnya dari terik sang surya.
Perjalanan begitu menyenangkan baginya. Jarang-jarang, ia bisa keluar menikmati hari, dan terbebas dari rumah yang seperti neraka itu.
Setibanya di cafe, ia segera melangkah ke arah pintu. Begitu masuk, aroma latte dan buah segar menyeruak ke indera penciumannya. Ia melambai pada Dewi yang tengah melayani pelanggan di meja kasir.
“Dewi …,” panggilnya dengan senyum tipis.
Salah satu pelanggan menoleh saat mendengar suara Kayuna. Seorang pria mengenakan jaket kulit hitam, wajahnya tertutup rapat oleh topi, tetapi tampak jelas, sorot matanya terpusat pada Kayuna.
Saat Kayuna mendekat, pria itu buru-buru menunduk seolah menyembunyikan wajah misteriusnya. Begitu Kayuna menoleh, tepat di depan pria itu — aroma parfume tak asing menusuk hidungnya.
“Wangi ini …,” lirih Kayuna.
Ragu, tetapi penasaran, akhirnya Kayuna memberanikan diri menyapa pria itu.
“Maaf, kalau boleh tau—”
*
*
Bersambung.