Sera, harus kehilangan calon anak dan suaminya karena satu kecelakaan yang merenggut keluarganya. Niat ingin berlibur malah menjadi petaka.
Sera bersedih karena kehilangan bayinya, tapi tidak dengan suaminya. Ungkapannya itu membuat sang mertua murka--menganggap jika Sera, telah merencanakan kecelakaan itu yang membuat suaminya meninggal hingga akhirnya ia diusir oleh mertua, dan kembali ke keluarganya yang miskin.
Sera, tidak menyesal jatuh miskin, demi menyambung hidup ia rela bekerja di salah satu rumah sakit menjadi OB, selain itu Sera selalu menyumbangkan ASI nya untuk bayi-bayi di sana. Namun, tanpa ia tahu perbuatannya itu mengubah hidupnya.
Siapakah yang telah mengubah hidupnya?
Hidup seperti apa yang Sera jalani setelahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Wasiat Mendiang Istri
"Mama," panggil Darren kepada Maudy yang duduk di tengah ruangan. Mata Maudy menoleh kearah Darren yang baru saja menuruni tangga.
"Di mana Clara?" tanyanya demikian. Maudy, bangkit berdiri lalu berjalan ke arah Darren.
"Clara, sudah pulang," jawab Maudy.
"Aneh, tadi dia ingin aku cepat-cepat pulang sekarang malah dia yang langsung pergi."
"Mungkin Clara, ada panggilan darurat kamu tahu sendiri, kan jika dia itu dokter."
"Hmm ...." Darren mengangguk lalu duduk di sofa.
"Darren, Mama ingin membicarakan sesuatu," kata Maudy dengan ragu.
"Bicara apa, Mah? Biasanya wajah Mama tidak serius ini."
"Begini ... aduh, Mama juga bingung harus mulai dari mana," gumam Maudy yang semakin tidak karuan.
Maudy menarik nafas sejenak, lalu menyodorkan sebuah surat kepada Darren. Mata Darren memicing menatap surat itu.
"Apa ini Mama? Surat warisan, ya?" candanya yang mengambil surat itu. "Kenapa Mama buat surat begini, kayak udah mau metong aja."
"Ih ... Darren, kamu bisa serius gak, sih? Lihat wajah Mama memangnya kaya orang yang mau mati. Durhaka kamu, ya doakan ibumu mati."
"Ya, nggak gitu juga," elak Darren yang menatap ibunya. "Lagian tumben-tumbenan bikin surat kayak gini, apa ini surat dari juragan domba, ya? Dia jadi melamar Mama?"
"Darren!" Maudy, melempar bantal ke arah Darren dengan kesal. Darren benar-benar tidak bisa diajak serius, selalu saja bercanda.
"Amit-amit ... sampai kapanpun Mama gak mau nikah sama tuh, laki." Maudy berkata sambil mengetuk-ngetuk meja.
"Kenapa Mah? Dia banyak dombanya, sudah pasti kaya."'
"Darren kamu ini, ya. Bisa-bisanya ngeledek Mama kamu, lihat tuh, Inah ngatain, kan."
"Nyonya, apa yang Tuan Darren bilang itu benar. Juragan domba juga kayak. Tapi kaya nya nggak keren, kaya pengusaha tambang," kata Inah dengan tawa.
"Inah, sudah sana pergi jangan ikut-ikutan. Saya masih ada yang mau diobrolin sama Darren."
"Ih ... Nyonya, jadi sensi gitu." Inah, langsung pergi setelah menyimpan kopi untuk Darren.
Kali ini wajah Maudy kembali serius. Begitupun dengan Darren, tawanya seketika lenyap setelah membaca surat wasiat dari mendiang istrinya. Ekspresinya tidak bisa diartikan, tetapi mewakili perasaannya yang seakan tidak menerima.
"Apa maksudnya ini Ma?"
"Itu surat dari Tamara, sebelum meninggal. Ia memberikan surat itu kepada Clara, seperti yang sudah ditulis, Tamara mau kamu menikah dengan Clara, dan Tamara mau hanya Clara yang menjadi ibu Lio."
Darren terdiam. Lalu melempar surat itu ke meja.
"Mama yakin itu surat dari Tamara?"
"Darren ...."
"Aku nggak yakin Mah."
"Mungkin saja, Tamara menulis surat itu untuk jaga-jaga, karena ia tahu kehamilannya sangat beresiko. Dan dia harus memilih antara bayinya dan dirinya, pasti karena itu Tamara menulis surat. Dia takut jika suatu saat dia meninggal maka ada yang menjaga Lio."
"Aku nggak percaya, Mah."
"Darren, tapi Clara sudah menunggu jawaban kamu."
"Darren, butuh waktu!" tegas Darren lalu pergi meninggalkan Maudy.
Di atas sana, Sera, termenung setelah mendengar semuanya. Sambil menimang-nimang Lio, Sera tidak sengaja mendengar pembicaraan Maudy dan Darren.
Sera, terkejut ketika Darren sudah berada di atas. Darren melihat ke arah Sera, yang berdiri di tepi pagar pembatas, Sera yang canggung langsung melangkah masuk ke dalam kamar.
"Sera," panggil Darren demikian. Sera, yang baru saja menginjak kamarnya langsung berbalik ke arah Darren.
"Lio tidur?" tanyanya yang berjalan mendekat.
"Tidak Tuan, Lio baru saja menyusu dan aku bawa ke luar untuk ditimang-timang. Tapi ... aku tidak mendengar apapun kok Tuan."
Sera, terpejam dalam hati ia menggerutu, seharusnya dia tidak mengatakan hal demikian yang mungkin akan memancing emosi Darren.
"Berikan Lio, padaku. Aku ingin menggendongnya sebentar."
"Iya Tuan."
Sera, memberikan Lio kepada Darren, yang sama sekali tidak menatapnya. Ekspresinya membuat Sera, bingung. Sera hanya diam melihat kepergian Darren yang membawa Lio ke kamarnya.
"Aduh ... aku salah ngomong nggak, ya," ucapnya demikian.
Sera, merasa bersalah karena perkataannya tadi, tetapi ia juga merasa aneh dan janggal dengan surat itu.
"Apa iya, istrinya Tuan Darren nulis surat untuk yang terakhir kali. Kaya dia mau tahu kapan mati saja, kok aku ngerasa aneh saja, apa ini permainan si dokter itu?"
Sera menggeleng mencoba membuang pikiran buruk tentang Clara dari benaknya. "Setelah bertemu dia tadi, aku jadi curiga terus. Tapi wajahnya itu ... buat aku tidak percaya."
Sera, menutup pintu kamar lalu melangkah ke arah ranjang. Selagi Lio dibawa papanya, Sera ingin tidur sejenak, karena setiap malamnya tidak pernah nyenyak tidur.
Di kamar Darren, menimang-nimang Lio sambil duduk di atas sofa. Wajahnya menatap ke arah foto pernikahannya. Darren, termenung yang kembali memikirkan perkataan ibunya tadi.
"Bagaimana Mama yakin jika itu surat Tamara, padahal Tamara tidak pernah menulis surat."
Darren, masih ingat percakapannya dengan Tamara dulu.
Flashback on
"Sayang ... lihat apa yang aku bawa." Darren, duduk di samping Tamara, ia meletakkan selembar kertas dan sebuah amplop berwarna lalu sebuah pulpen yang ia simpan di atas meja.
Waktu itu masa-masa Darren dan Tamara tengah berpacaran. Mereka berkunjung ke sebuah cafe romantis, banyak para pasangan yang akan menulis surat dan meninggalkannya di sana, seperti nama cafenya surat cinta. Namun, Tamara tidak begitu tertarik.
"Apa ini?" tanyanya kepada Darren.
"Surat cinta," jawab Darren lalu menunjuk setiap pengunjung yang ada di sana.
"Lihat itu ... mereka semua menulis surat, kita juga harus menulis dan nanti surat itu akan kita simpan di kotak itu."
Tunjuk Darren, pada sudut ruangan yang terdapat ribuan kotak persegi panjang yang kecil, kotak itu seperti laci di dalamnya ada banyak surat dari setiap pasangan yang ditinggalkan. Dalam surat itu mereka akan menulis sebuah harapan yang mungkin terjadi di masa depan.
"Apa yang harus aku tulis? Aku tidak pernah menulis surat," kata Tamara.
"Tulis saja harapanmu apa, untuk kita berdua," ucap Darren. Tamara pun mengangguk lalu menulis sesuatu di atas kertas yang sudah Darren siapkan.
"Apa itu? Kamu menggambar bukan menulis." Darren, protes.
"Kamu bilang kita menulis sebuah harapan, karena aku tidak pandai menulis, jadi aku menggambar saja. Lihat kan gambarnya, cantik." Tamara menunjukkan hasilnya.
Sebuah gambar sederhana, sepasang sejoli yang mengenakan pakaian pengantin, wanita yang memegang bunga.
"Apa itu kita?" tanya Darren. "Tapi wajahku begitu jelek," sambungnya.
Tamara tertawa lalu ia menjelaskan tentang gambarnya.
"Ini adalah harapan aku, untuk masa depan hubungan kita. Kita akan menikah."
"Aku rasa ... kamu memberi aku kode, untuk segera melamarmu." Tamara tergelak begitupun Darren.
"Ya, bagus kalau kamu ngerti." Darren tersenyum lalu mengecup kening Tamara.
Flashback Off
Tanpa terasa air matanya luruh begitu saja. Darren menghela nafas panjang. Lalu mengusap air matanya. Ia melirik kepada Lio, seketika senyumnya merekah, melihat Lio tertidur sambil menutup matanya sebelah.ioa semakin lucu dan menggemaskan, membuat Darren ingin mengecup bayinya berulang-ulang.
Tok, tok, tok.
Tiba-tiba suara pintu diketuk dari luar. Darren, beranjak dari kursi tanpa melepaskan Lio dari gendongannya. Perlahan ia membuka pintu dengan sikutnya.
Pintu terbuka lebar, Darren terkejut ketika melihat Sera, yang berdandan seperti badut. Sera, melukis wajahnya dengan masker bengkuang lalu melukis bibir lebar dengan lipstiknya. Tidak lupa ia juga melukis alis dengan sangat tebal dan besar, serta rambut yang ditutup dengan celana boxer pulkadot.
Sera, pun memakai baju tidur dengan warna mencolok.
"Sera, kamu ngapain dandanan kaya gitu?"
"Tuan ... aku bukan Sera, tapi Moly. Aku ingin menghibur Tuan, karena Lio baru saja mengirimkan sinyal, Lio bilang dalam mimpiku jika papanya sedang bersedih, dan aku harus menghiburnya. Apa Tuan terhibur." Katanya sambil goyang-goyang.
Darren awalnya hanya melongo tapi tiba-tiba ia tertawa lepas melihat tingkah Sera, yang seperti badut sungguhan.
Dari ujung tangga, terlihat Maudy mematung, matanya menatap sendu ke arah mereka. Sedikit bibirnya tertarik beberapa senti, Maudy tidak bisa menyembunyikan lagi senyumnya.