Maria bereinkarnasi kembali setelah kematiannya yang tragis oleh tunangannya yang mengkhianati dirinya, dia dieksekusi di kamp konsentrasi milik Belanda.
Tragisnya tunangannya bekerjasama dengan sepupunya yang membuatnya mati sengsara.
Mampukah Maria membalaskan dendamnya ataukah dia sama tragisnya mati seperti sebelumnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reny Rizky Aryati, SE., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 PEMBICARAAN DI WAKTU MAKAN MALAM
"BLAM... !" Pintu kamar Maria tertutup kembali saat Rexton melangkah pergi dari ruangan itu.
Maria masih berbaring di atas ranjang tidurnya sembari menghadap ke arah jendela kamarnya.
"Fuih...", desahnya pelan lalu membuka mata. "Dia tidak menyentuh diriku..." sambungnya termenung.
Maria agak terheran dengan sikap Rexton kali ini padahal dirinya telah mengenakan lingerie seksi yang sangat menggoda, tapi kenapa Rexton malah membiarkan dirinya bahkan tidak lagi merayunya seperti tadi.
"Istri durhaka ? Siapa yang dia maksudkan itu, aku ?" tanyanya penasaran.
Maria menatap sayu ke arah jendela kamarnya yang tertutup tirai.
"Aku bukan istrinya dan belum menjadi istrinya melainkan berstatus istri simpanan, bukannya nikah kontrak sama saja bermakna demikian", selorohnya asal.
Maria memandang tirai jendela yang melambai-lambai karena tertiup angin dari celah jendela kamarnya yang berlapis.
"Besok, yah ?" gumamnya. "Kupikir bahwa besok adalah hari yang menyenangkan ternyata hari paling membosankan, kenapa harus pergi ke pengacara, bukannya bersenang-senang merayakan hari jadi..."
Maria menarik nafas pelan lalu menghembuskannya.
"Aku tidak ingin pergi, tapi berharap besok niatku terlaksana, seharusnya aku membawa Rexton langsung ke hadapan semua orang agar gosip tentang kami segera menyebar luas", ucapnya.
Maria lalu teringat akan niatnya kepada Prinsen yang ingin membalaskan rasa sakitnya atas pengkhianatan laki-laki jahat itu.
"Aku masih mengenakan cincin pertunanganku dengan Prinsen, bukannya aku sekarang seharusnya membuang cincin ini dariku", ucapnya.
Maria mengulurkan tangannya ke depan, terlihat jari manisnya masih memakai sebuah cincin emas bermata berlian yang merupakan cincin pertunangannya bersama Prinsen.
"Uhk, tak seharusnya aku masih memakai cincin terkutuk ini", ucapnya.
Maria buru-buru melepaskan cincin bermata berlian itu dari jari manisnya kemudian melemparkannya asal.
Cincin bermata berlian itu menggelinding cepat di lantai kamar lalu tergeletak asal di dekat jendela, Maria memandangi cincin itu dengan tatapan kosong, tapi kini tidak ada lagi penyesalan dalam hatinya.
"Selamat untukku sendiri dan tiba saatnya waktu pembalasan dendam bagi kalian berdua, apa kabarmu, Haven...", ucapnya sembari memicingkan kedua matanya.
...***...
Suara garpu dan pisau beradu cepat di atas piring makan, tiba waktu makan malam di kediaman Grand duke Herman.
Di ruangan makan yang luas, tampak anggota keluarga Grand duke Herman berkumpul, untuk melakukan kegiatan makan malam mereka.
"Hari ini adalah hari ulang tahun Maria, seharusnya ada kue tart besar tersedia saat ini, kenapa sekarang tidak ada kue ulang tahun di hari jadimu, Maria", tegur seorang anak laki-laki kepada Maria.
"Tidak lagi ada kue tart karena aku sudah dewasa saat ini, bukan waktunya lagi menikmati kue ulang tahun seperti anak kecil, Matthijs", sahut Maria yang menyendokkan sendoknya ke dalam mangkuk brenebon.
"Sayang sekali kita tidak makan kue tart lagi padahal aku sangat menyukainya, Maria", kata Matthijs kecewa.
"Jangan khawatir, Matthijs, tidak ada kue tart masih ada kue lezat lainnya, tadi mama sudah menyiapkan rijsttafel untuk kita semua", kata mevrouw pada anak laki-lakinya.
"Oh, ya, benarkah itu, mama ?" tanya Matthijs senang.
"Ehem, yah...", sahut mama sembari menganggukan kepala lalu tersenyum lembut.
"Mana ? Mana ? Aku ingin rijsttafel sekarang, berikan padaku !" kata Matthijs.
"Sebentar lagi Espen datang membawakan rijsttafel itu kesini, bersabarlah dulu", sahut mevrouw.
Nyonya Grand duke Herman tersenyum saat melihat wajah anak laki-lakinya berubah gembira.
"Sekarang kita makan brenebon dengan roti dulu sebelum mencicipi rijsttafel", ucapnya.
"Yeaaaw... !!!" seru Matthijs senang lalu melahap habis sepiring brenebon dan sepotong roti miliknya.
"Mama, besok aku akan pergi bersama Rexton Brox ke kota, mungkin kami akan terlambat pulang untuk makan siang", kata Maria.
"Tidak masalah, selama kau bersamanya, mama akan merasa tenang", sahut nyonya Grand duke Herman.
"Jadi aku boleh pergi dengannya ?" tanya Maria agak terkejut karena mamanya mengijinkannya keluar rumah tanpa Prinsen
Maria menatap mamanya yang duduk berseberangan dengannya di meja makan.
"Tapi aku hanya pergi berdua bersama Rexton", lanjutnya agak terheran, dengan sikap mamanya yang terkesan mendukung.
Maria memperhatikan dengan seksama ke arah nyonya Grand duke Herman, mungkin saja mamanya berubah.
"Tuan Rexton adalah laki-laki yang baik, dia juga sangat berwibawa, mama percaya kalau kau pergi bersamanya, dia pasti menjagamu dengan baik", kata mama.
"Oh, begitu, ya...", sahut Maria.
Maria tak menyangka jika mamanya tidak akan melarang dirinya keluar dengan laki-laki lain selain Prinsen.
"Tumben ?!" ucapnya sambil melirik mama.
"Tumben kenapa ? Toh, kau juga sudah dewasa, pasti tahu mana yang benar dan yang tidak benar untukmu, sayang", kata mevrouw.
"Tapi aku baru mengenal Rexton", kata Maria.
"Ya, mama tahu itu", sahut mevrouw.
"Oh....", ucap Maria ragu-ragu sembari memainkan garpu makannya ke atas brenebon favorit keluarganya.
"Siapa itu Rexton ?" celetuk Matthijs bertanya.
"Tamu kita, dia sedang menginap di kamar tamu, seorang perwira tinggi dari Inggris", sahut mevrouw.
"Kenapa dia tidak ikut makan malam bersama kita ?" tanya Matthijs.
"Biar Maria yang akan mengantarkan makan malam tuan Rexton ke kamar tamu", sahut mama.
"Aku ikut kesana", kata Matthijs.
"Untuk apa kau juga ikut kesana, Mathijs ?" tanya mevrouw.
"Aku ingin mengenalnya", jawab Matthijs.
"Nama lengkapnya Rexton Brox Mackenzie, apa kau belum bertemu dengannya, Matthijs?" kata Maria.
"Aku tidak melihatnya di rumah", kata Matthijs.
"Kau pulang sore dari sekolahmu", lanjut Maria.
"Ya, hari ini pelajaran sangat padat dan Graven memberikan tambahan pelajaran untuk mata pelajaran sejarah", kata Matthijs.
"Matthijs, dilarang menyebut gurumu hanya dengan panggilan nama saja, seharusnya kau memanggilnya heer Graven", kata Maria.
"Dia bukan guru tapi kolonel", sahut Matthijs.
Maria tertawa pelan mendengar kekonyolan adik laki-lakinya itu.
"Tetap kau harus menghormatinya apalagi dia seorang kolonel yang semestinya kau lebih hormat pada heer Graven", ucap Maria.
"Apa kau juga tidak lupa membawa pistol ke sekolah ?" tanya mama.
"Banyak dari kami membawa pistol ke sekolah, tapi salah satu temanku justru membawa algojo ke sekolah untuk dia jadikan pengawalnya", sahut Matthijs.
"Oh, iya ? Wow, keren sekali temanmu", kata mama.
"Matthijs juga ingin membawa pengawal seperti teman Matthijs, boleh, ya, mama", kata Matthijs.
"Dilarang !" sahut mama tegas. "Akan terlihat mencolok buatmu jika membawa seorang pengawal ke sekolah ELS, lupakan itu, Matthijs !"
"Sampai kapan kita akan tinggal disini, aku ingin pulang ke Nederland, mama", kata Matthijs.
"Rupanya kau sudah sangat rindu sekali Nederland, tapi mama juga tidak tahu sampai kapan ayahmu ditugaskan di Land-en Volkenkunde, bersabarlah, sayang", kata mama.
"Kenapa kau bertanya begitu, bukannya disini sangat indah, kau lahir di Land-en Volkenkunde bukan di Nederland, Matthijs", kata Maria.
"Aku hanya rindu bertemu grootvader Hoven", sahut adik laki-laki dari Maria sembari mengunyah brenebonnya.
"Liburan sekolah kau bisa ke Leiden", kata Maria.
"Tapi untuk saat ini, bepergian sangat rawan sekali karena kabarnya ada gerakan bawah tanah dari pribumi", kata mevrouw.
"Gerakan bawah tanah, apa ada pemberontakan ?" tanya Maria terkejut.
"Mungkin saja, tapi mama juga tidak tahu benar atau tidaknya kabar itu, hanya desas-desusnya gerakan bawah tanah itu dipimpin pajabat VOC yang tidak terima dengan pemerintahan sekarang", sahut mama.
"Mengejutkan sekali", kata Maria.
"Kau juga seharusnya membawa senjata setiap kau akan pergi keluar rumah, Maria", kata mama.
"Tidak perlu, ada Rexton bersamaku, dia adalah senjata terbaikku, jangan cemaskan aku", kata Maria.
"Bagaimanapun juga kita bukanlah pribumi, menjaga diri kita dengan aman adalah tanggung jawab kita, bukan menyerahkan keamanan kita pada orang lain, itu bukanlah tindakan bijak menurut mama", nasehat mama.
"Ya, Maria tahu itu, mama", sahut Maria.
"Memangnya kau bisa mengoperasikan pistol, Maria ?" tanya Matthijs yang masih sibuk melahap rotinya.
"Tidak sih...", sahut Maria.
"Belajar lah karena itu hal terpenting buatmu supaya kau aman kemanapun kau pergi, Maria", kata Matthijs.
"Ya, aku tahu", jawab Maria.
Maria teringat kembali kejadian sebelum dia bereinkarnasi, dimana adik laki-lakinya itu harus ikut tewas bersama kedua orang tuanya sewaktu seluruh keluarganya di eksekusi mati oleh VOC atas tuduhan pemberontakan.
Tak terasa air mata Maria menggenang dipelupuk matanya kala dia mengingat kejadian itu semua.