Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Tiga belas hari, dua puluh tiga jam, dan kini mungkin empat puluh menit tersisa.
Jam imajiner itu tidak lagi hanya berdetak di kepala AKP Daniel Tirtayasa. Jam itu telah berubah menjadi denyut fisik migrain yang tumpul di pelipis kanannya, berdenyut selaras dengan detak jantungnya yang tidak teratur. Setiap denyutan adalah pengingat akan ultimatum Jenderal Hartono.
Ruang komando Satgasus, yang seminggu lalu terasa seperti pusat saraf harapan, kini terasa seperti mausoleum. Sunyi, dingin, dan berbau kegagalan. Bau kopi gosong yang basi dari teko di sudut ruangan bercampur dengan aroma spidol papan tulis yang menguap.
Daniel telah menghabiskan dua jam terakhir sendirian di dalam makam ini. Matanya terpaku pada papan tulis utama, yang penuh dengan 50 nama target potensial daftar yang dikurasi dengan susah payah oleh timnya.
Kini, papan itu terasa seperti sebuah lelucon yang kejam. Sebuah monumen kesia-siaan. Dia merasa seperti seorang Gembala yang disuruh menjaga 50 domba yang tersebar di lima puluh bukit berbeda, sementara dia tahu serigala sudah ada di dalam kandang, menyamar sebagai salah satu anjing penjaganya.
Dia berbohong padaku.
Pikiran itu terus berulang, sebuah refrein yang memuakkan. Bukan sekadar pikiran; itu adalah sebuah gambaran. Daniel bisa melihatnya dengan jelas: wajah Dr. Samuel Adhinata di TKP Sahroni. Tenang, profesional, akademis. Daniel bisa mendengar lagi nada suaranya yang sangat "membantu", yang dengan ahli mengalihkan fokus semua orang dari anomali teologis skalpel obsidian ke narasi "media" yang lebih logis dan terukur.
Kenapa dia berbohong?
Apakah murni untuk melindungi ego profesionalnya dari teori "mistis" Dr. Maya? Apakah ini hanya persaingan akademis yang memuakkan?
Atau...
Daniel tidak berani menyelesaikan kalimat itu. Mengucapkannya, bahkan di dalam kepalanya sendiri, terasa seperti sebuah kegilaan. Mengakui kemungkinan itu akan menghancurkan segalanya. Samuel adalah anggota timnya. Dia yang merekrutnya. Asetnya yang paling berharga. Dan jika dia benar...
Jika dia benar, itu berarti dia, Daniel, telah gagal dalam tugas paling dasarnya sebagai seorang pemimpin. Dia telah mengundang si pembunuh untuk duduk di meja perangnya. Memberinya akses penuh pada video keluarganya, pada ketakutannya yang paling dalam, pada setiap strategi, setiap kelemahan. Itu berarti kematian Ahmad Sahroni adalah darah yang ada di tangannya.
Dia menatap telepon di mejanya, benda hitam yang terasa seperti pemberat. Dia harus membuat keputusan. Jenderal Hartono memberinya empat belas hari, yang kini secara efektif tinggal tiga belas. Dia tidak punya waktu lagi untuk "logika" yang membawanya ke jalan buntu seperti Antonius Malik umpan yang jelas-jelas ditanam untuk membuang waktunya. Dia tidak punya waktu untuk "logika" Samuel.
Dia harus kembali ke satu-satunya hal yang terasa benar sejak awal.
Dia tidak hanya membunuh. Dia sedang berkhotbah, batin Daniel.
Dia menghukum 'penebusan palsu'.
Dengan gerakan tiba-tiba yang dipenuhi campuran frustrasi, amarah, dan kejernihan yang putus asa, Daniel mengambil spidol hitam. Ia berbalik dari papan "50 Nama" yang gagal dan berjalan ke papan tulis putih bersih yang masih kosong di sisi lain ruangan. Ini adalah pemberontakan. Jika logika forensik telah dikompromikan, dia akan beralih ke logika psikologis.
Di bagian paling atas, ia menulis sebuah judul dengan huruf kapital yang tegas: RUBRIK SANG HAKIM.
"Dia tidak memilih korban secara acak," gumam Daniel pada ruangan kosong itu, suaranya serak. "Dia tidak hanya mencari 'pendosa yang bertobat'. Dia mengikuti sebuah pola. Sebuah silabus. Sebuah... rubrik teologis."
Di bawah judul itu, ia menulis: 7 DOSA MEMATIKAN.
Seketika, ruangan yang terasa pengap itu seolah mendapatkan oksigen. Ini adalah kerangka kerja. Sebuah sistem. Ini adalah jawaban sempurna untuk "God Complex" yang dijelaskan Maya. Seorang individu dengan ego sebesar itu tidak akan membunuh secara acak; dia akan mengaturnya.
Daniel mulai memetakan, tangannya bergerak cepat.
Di bawah 1. KEMARAHAN (WRATH), ia menulis:
LUKAS SANTOSO.
(Dosa: Kehidupan penuh kekerasan sebagai preman, tangan yang berlumuran darah. Hukuman: Disiksa, "kehilangan tangan", darah dibayar darah).
Di bawah 2. KESERAKAHAN (GREED), ia menulis:
RIANA WULANDARI.
(Dosa: Menipu orang miskin untuk kekayaan pribadi, kerakusan finansial. Hukuman: Dosa 'Investasi Harapan Bunda' diekspos ke publik).
Di bawah 3. KESOMBONGAN (PRIDE), ia menulis:
AHMAD SAHRONI.
(Dosa: Membangun "Katedral kemegahan di atas fondasi dosa." Kesombongan spiritual dan material. Hukuman: "Lidah penipu" diambil, dosa 'Bintoro' dan 'pasir & perak' diekspos).
Daniel melangkah mundur, spidol masih teracung. Tiga korban. Tiga dosa. Semuanya pas. Sangat pas.
Itu berarti... ada empat lagi.
Daniel merasakan getaran dingin menjalari tulang punggungnya. Empat korban berikutnya akan dipilih berdasarkan: NAFSU (LUST), KERAKUSAN (GLUTTONY), IRI HATI (ENVY), dan KEMALASAN (SLOTH).
Ini bukan lagi tebakan. Ini adalah peta jalan iblis.
"Ini bukan lagi 50 nama," bisiknya, matanya kini memindai daftar 50 nama itu dengan perspektif baru. "Ini adalah 50 nama yang harus kita saring melalui ini."
Dia membutuhkan validasi. Dia butuh seseorang yang tidak akan menertawakannya sebagai polisi putus asa yang beralih ke takhayul. Seseorang yang tidak memiliki agenda tersembunyi.
Dia tidak bisa memanggil Samuel. Kebohongan Samuel di TKP Sahroni telah meracuni sumur itu. Logika forensik telah gagal.
Hanya ada satu nama tersisa. Satu-satunya orang yang berbicara dalam bahasa yang sama bahasa psikologi, teologi, dan kegilaan.
Dia menekan nomor Dr. Maya.
Satu jam kemudian, Dr. Maya Sari duduk di seberang Daniel di ruang komando yang sunyi. Adit dan Hasan telah diperintahkan dengan nada yang tidak menerima bantahan untuk memverifikasi ulang latar belakang finansial dan pribadi dari 50 nama itu di ruang sebelah, memberi Daniel dan Maya privasi penuh.
Maya menatap papan tulis "7 Dosa Mematikan" itu untuk waktu yang lama. Sangat lama. Daniel bisa melihat matanya yang tajam memindai setiap koneksi yang dibuatnya, memprosesnya. Dia tidak hanya membaca kata-katanya; dia menganalisis proses berpikir Daniel.
Keheningan itu memuakkan. Daniel merasa telanjang secara profesional.
"Ini gila," kata Daniel akhirnya, memecah keheningan. Suaranya serak. Dia merasa rentan, seolah baru saja menunjukkan halaman buku harian paling pribadinya. "Katakan saja ini gila. Jenderal Hartono akan mencopotku di tempat jika dia melihat ini. Dia pikir aku sibuk bermain tebak-tebakan teologis sementara jam terus berdetak."
Maya akhirnya menoleh dari papan tulis, beralih menatap Daniel. Wajahnya tidak menunjukkan senyum, tapi matanya... matanya berkilat dengan intensitas seorang analis yang baru saja menemukan kepingan puzzle yang hilang.
"Yang gila, Komandan," kata Maya pelan, "adalah kita tidak memikirkan ini lebih cepat. Ini... sempurna."
Daniel merasakan sedikit beban terangkat dari pundaknya. "Jadi, kau setuju?"
"Lebih dari setuju," kata Maya. Dia berdiri, seolah ditarik oleh papan tulis itu. "Ini adalah kerangka kerja psikopat yang obsesif-kompulsif. Tepat seperti yang saya duga. Dia tidak hanya menghukum dosa; dia mengelompokkannya. Ini memvalidasi profil 'God Complex' dan 'Intelektual' itu. Dia menciptakan sistem-nya sendiri. Dan seseorang seperti ini tidak akan pernah menyimpang dari polanya sendiri."
Maya berjalan lebih dekat ke papan tulis, menyentuh kata "KESOMBONGAN". "Kemarahan, Keserakahan, Kesombongan... urutannya klasik. Ini menunjukkan seseorang yang sangat terpelajar, tidak hanya dalam teologi, tapi juga dalam sastra. Pikirkan Dante's Inferno. Dia melihat dirinya sedang memandu kita, mengajari kita."
Daniel mengangguk, energi baru mengalir dalam dirinya. "Ini memberi kita arah baru. Kita bisa menyaring daftar 50 nama itu. Mencari politisi yang reputasinya 'malas', atau selebriti yang terkenal 'rakus'..."
"Ya," sela Maya. "Itu memberi kita arah. Tapi itu juga menunjukkan masalah yang jauh lebih besar. Sebuah masalah yang fatal."
Aliran energi Daniel terhenti. Dia mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Maya berbalik dari papan tulis. Tatapannya kini berubah menjadi lebih intens, lebih tajam. Tatapan seorang profiler yang melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain.
"Daniel," katanya, dan penggunaan nama depannya membuat bulu kuduk Daniel berdiri. "Mari kita berasumsi sedetik saja bahwa papan tulis ini seratus persen benar. Mari kita berasumsi Sang Hakim mengikuti pola Dosa Mematikan. Mari kita berasumsi dia sangat cerdas, logis, dan metodis seperti yang kita yakini."
"Oke," kata Daniel, waspada.
"Lalu, jelaskan padaku... Antonius Malik," kata Maya.
Daniel terdiam. "Itu... umpan. Sebuah distraction."
"Tentu saja itu umpan!" kata Maya, suaranya kini bergetar karena frustrasi intelektual. "Tapi bagaimana dia tahu kita akan mengejarnya? Bagaimana dia tahu kapan harus mengirim video keluargamu, tepat pada saat timmu sedang fokus di Jakarta Timur? Tepat pada saat kau paling rentan secara psikologis?"
"Dia meretas kita," kata Daniel, mengulang teori Reza yang selalu terasa lemah. "Dia jenius digital."
"Bukan," kata Maya, menggelengkan kepala dengan tegas. "Itu terlalu rumit. Itu terlalu banyak variabel yang tidak bisa dikendalikan. Seorang 'kontrol-freak' obsesif seperti dia tidak akan bergantung pada peretasan yang bisa gagal atau terdeteksi. Dia butuh kepastian."
Maya berhenti tepat di depan Daniel, memaksa Daniel untuk menatap matanya.
"Bagaimana dia tahu nama sandi Satgasus 'Operasi Penebusan'? Itu tidak ada di server publik mana pun," desak Maya.
Lutut Daniel terasa lemas.
"Bagaimana dia tahu nama rahasiamu, 'Gembala'? Itu tidak ada di arsip kepolisian."
Darah Daniel mendingin. Gembala. Nama itu hanya diucapkan di ruangan ini, di antara tim intinya: dia, Adit, Hasan, Reza, Maya, dan Samuel.
"Dia tidak meretas sistemmu, Komandan," bisik Maya. "Dia adalah sistemmu."
"Dia..." Daniel tidak bisa bernapas.
"Dia ada di dalam ruangan ini," lanjut Maya, suaranya nyaris tak terdengar. "Secara metaforis, dan mungkin harfiah. Dia tahu setiap langkahmu sebelum kau mengambilnya. Dia tidak perlu menebak kau akan mengejar Malik."
Jantung Daniel serasa berhenti. Dia teringat perdebatan sengit di TKP Sahroni.
Samuel. Dia berbohong padaku.
"Saat kau dan aku berdebat tentang profil," lanjut Maya, seolah membaca pikirannya, "antara 'luka trauma' dan 'logika murni', dia mendengarkan. Saat Dr. Samuel Adhinata dengan briliannya berargumen bahwa Antonius Malik adalah 'data forensik yang bisa diukur', sementara teori-teologi kita hanya 'spekulasi'..."
Maya menatap Daniel, matanya penuh dengan kengerian dari kesimpulan logisnya yang tak terhindarkan.
"Dia tidak sedang membantu investigasi, Daniel. Dia sedang menanamkan umpannya sendiri."
Daniel merasa mual. Asam lambungnya naik. Mengatakannya sendiri di dalam kepalanya adalah paranoia. Mendengarnya diuraikan selogis ini oleh seorang profiler... itu adalah fakta.
"Kau bilang..." bisik Daniel, suaranya nyaris tidak terdengar, "bahwa Sang Hakim... adalah Samuel?"
Maya mengambil napas dalam-dalam, memilih kata-katanya dengan presisi seorang ahli bedah.
"Aku tidak bilang dia Samuel. Aku adalah seorang profiler. Aku bilang Sang Hakim memiliki akses tak terbatas ke informasi polisi. Aku bilang dia seseorang yang kau percaya. Seseorang yang profil 'normal'-nya seorang profesional yang dihormati, cerdas, teliti, dan logis cocok sempurna dengan deskripsiku tentang 'kehidupan ganda' yang sangat terkontrol."
Maya menatap lurus ke mata Daniel.
"Pembunuhnya mungkin bekerja di dalam, Pak. Seseorang yang sangat, sangat terpercaya."