Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23 Aku Pria Normal!
Naomi tidak bisa tidur sama sekali. Malam terasa panjang dan penuh siksaan. Pasalnya, sejak tadi Xander tidak mau diam.
Setiap kali Naomi bergerak, sesuatu dibawah sana milik Xander terus menusuk pinggangnya, membuatnya risih dan jengkel tak terkira.
Naomi memejamkan mata erat-erat, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk, sebuah ilusi yang akan segera berakhir saat ia membuka mata.
“Hentikan kelakuan anda ini!” Naomi mendesis, suaranya dipenuhi kekesalan yang mendalam.
Naomi mencoba mendorong tubuh Xander dengan sekuat tenaga, namun pria itu terlalu kuat, seperti benteng yang tak tergoyahkan.
“Kita tidak bisa begini! Ini sungguh mengganggu! Saya risih!” Naomi bahkan mencoba menendang pelan, berharap Xander akan melepaskannya, memberinya ruang bernapas.
Namun, Xander tetaplah Xander pria keras kepala dan pemaksa.
“Harus kukatakan berapa kali, gadis barbar? Aku tidak akan berbuat macam-macam.” Tangannya yang kekar semakin mengeratkan pelukan di pinggang Naomi, menariknya lebih dekat, seolah sengaja ingin menggoda dan membuat Naomi semakin panik. “Aku hanya butuh tidur, dan kamu adalah bantal terbaikku.”
Naomi mendengus keras, rasa kesalnya sudah di ubun-ubun.
“Bibir anda berkata begitu, tapi yang ada di dalam celana Anda itu tidak bisa dibohongi!” Naomi masih berusaha melepaskan diri dari pelukan Xander yang erat.
Naomi memutar tubuh, mencoba menendang, bahkan berusaha menggigit bahu Xander.
“Anda ini laki-laki normal atau bukan, sih?! Lepaskan saya!”
Untung saja ranjang itu kokoh dan mampu menahan segala guncangan. Kalau tidak, mungkin saja bisa ambruk karena ulah mereka berdua yang tak henti-hentinya bergerak dan saling dorong dalam pergulatan kecil itu.
Kasur pegasnya berdecit pelan, mengikuti irama gerakan mereka, menambah nuansa tegang dan sedikit absurd di kamar itu.
Xander terkekeh pelan, kepalanya sedikit mendongak, matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan geli.
Kemudian, ia menoleh ke arah Naomi, senyum tipis yang mempesona terukir di bibirnya. “Kamu suka tidak?” tanyanya seolah tanpa dosa, padahal ia tahu betul apa yang sedang terjadi dan efek yang ditimbulkannya pada Naomi.
Naomi melotot, matanya membelalak tak percaya mendengar pertanyaan itu. Ia merasa seperti akan meledak.
“Suka?! Anda ini gila ya?!” Naomi berteriak, suaranya tertahan agar tidak membangunkan penghuni mansion lain.
Naomi tak ingin ada yang tahu kekacauan di kamar ini.
“Kalau anda ingin memuaskan nafsu anda, lakukan dengan pacar anda atau teman lelaki anda saja! Jangan lampiaskan pada saya dong!” Kalimat terakhirnya penuh penekanan, menyiratkan tuduhan yang sudah lama ia simpan tentang orientasi sek-sual Xander.
Mendengar tuduhan itu, Xander sontak kesal.
Wajahnya yang semula datar kini mengeras, rahangnya mengatup rapat. Tatapan matanya berubah tajam, menusuk Naomi, seolah ingin membakar gadis itu dengan pandangannya.
“Jadi kamu masih menganggap aku belok? Apa pedangku ini masih belum bisa meyakinkanmu?!” Xander sedikit membentak. “Aku ini pria normal, Naomi! Normal! Apa buktinya harus aku tunjukkan padamu?!”
Naomi terdiam, kata pedang itu terngiang di benaknya, disusul dengan ancaman tersirat Xander.
Pedang katanya? Apa mereka sedang dalam arena perang? pikir Naomi.
Gadis itu memang selalu punya cara berpikir yang unik dan polos, terkadang di luar nalar Xander.
Namun, ia juga tahu, Xander jarang sekali marah seperti ini. Pria itu selalu tenang dan menguasai diri, seolah tak ada yang bisa menggoyahkannya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Xander begitu emosional, begitu marah.
Xander mengamati ekspresi Naomi, dan senyum tipis kembali tersungging di bibirnya.
Sebuah ide jahil muncul.
“Kamu masih tidak percaya padaku, atau kamu cemburu, hm?” Xander sengaja menggoda. Ia mengerlingkan mata, melihat bagaimana Naomi akan bereaksi.
Xander mendekatkan wajahnya, hingga hidung mereka nyaris bersentuhan, nafas hangatnya menerpa wajah Naomi.
Naomi terkesiap, pipinya langsung merah padam, bahkan sampai ke telinganya. Jantungnya berdebar kencang tak karuan.
“Anda ini bicara apa?! Siapa yang cemburu?! Menyingkir sana! Jangan dekat-dekat!” Ia berusaha mendorong Xander lagi dengan kedua tangannya, namun percuma. Xander tak bergeming, malah semakin mendekat. “Saya tidak peduli Anda normal atau tidak! Yang penting, jangan ganggu tidur saya!”
“Oh ya?” Xander menaikkan satu alis, seringainya semakin lebar. “Bagaimana kalau aku tidak mau?”
Naomi memejamkan mata, frustasi. “Anda ini benar-benar menyebalkan! Saya bisa teriak kalau Anda tidak melepaskan saya sekarang juga!” ancamnya, mencoba menggertak.
“Silahkan,” tantang Xander, nyaris berbisik di telinga Naomi. “Teriaklah. Aku jamin tidak akan ada yang datang menolongmu. Ini kamarku, dan dindingnya kedap suara.”
Xander tahu betul tentang keamanan mansionnya.
“Atau, kamu bisa menyerah dan membiarkanku membuktikan bahwa aku tidak belok, dan kamu tidak cemburu.”
Tanpa memperdulikan. ucapan Naomi yang protes dan ancamannya, Xander dengan cepat membalik tubuh gadis itu, membuat Naomi kini di bawahnya, menghadap langsung ke arah Xander.
Posisi mereka menjadi sangat intim, bahkan lebih intim dari sebelumnya.
Naomi mendesah tertahan, merasa malu, marah, dan entah kenapa, sedikit terang sang.
Sebuah sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Naomi bisa merasakan setiap lekuk tubuh Xander menekan tubuhnya.
Mereka saling menatap satu sama lain. Naomi bisa melihat jelas pantulan dirinya yang memerah di mata hitam Xander.
Jarak wajah mereka begitu dekat, napas Xander yang hangat menerpa wajahnya, aroma maskulinnya memenuhi indra penciuman Naomi.
Jantung Naomi kembali berdebar kencang, bukan hanya karena marah atau panik, tapi juga karena sensasi aneh yang mulai menjalar di tubuhnya, sensasi yang asing namun memabukkan.
Bibir Xander sedikit terbuka, seolah siap melahap bibirnya.
“Gadis barbar?” panggil Xander.
“A-apa?” Jawabnya gugup.
“Bolehkah aku menciummu?” tanya Xander nyaris seperti gumaman.
Matanya menatap bibir Naomi yang sedikit terbuka, kemudian kembali ke matanya, mencari izin, menuntut jawaban dan menuntut persetujuan.