Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Kecewanya Reza
Reza duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tak menyangka—adik kandungnya sendiri, yang dulu begitu ia lindungi, ternyata sanggup menusuknya dari belakang.
Kilasan masa lalu menyeruak dalam ingatannya—bagaimana Betari hampir kehilangan akal karena ditinggal suaminya demi perempuan lain. Wajah pucat adiknya saat itu, tubuhnya yang lemah, dan mata kosong yang tak lagi punya harapan... semua kembali menghantui pikirannya.
"Kamu tenang saja... semua kebutuhan Jenny biar aku yang tanggung. Kamu hanya perlu fokus untuk sembuh,"
ucap Reza lembut, saat menjenguk Betari di rumah sakit jiwa.
Ya, saking cintanya dengan laki-laki itu, Betari sampai harus dirawat secara intensif. Ia mengalami depresi berat dan beberapa kali mencoba mengakhiri hidupnya.
"Kamu jahat, Mas!! Kamu jahat ninggalin aku dan Jenny!!"
teriak Betari histeris kala itu, suaranya menggema di sepanjang lorong rumah sakit.
Saat itu, Jenny baru berusia sepuluh tahun. Terlalu kecil untuk memahami kondisi ibunya, terlalu polos untuk menyadari luka yang mendalam dalam keluarga mereka.
Lastri—sang ibu—akhirnya meminta kepada semua anaknya: agar tidak pernah mengungkit apa pun tentang masa lalu Betari setelah ia sembuh nanti. Semua luka akan dikubur rapat-rapat, demi menjaga harga diri dan ketenangan jiwa sang adik.
Reza menghela napas panjang. Matanya memerah, rahangnya mengeras.
"Aku nggak pernah minta balas budi..." gumamnya lirih.
"Tapi tega sekali kalian..."
Hatinya remuk, lebih dari yang bisa ia tampakkan di wajah.
Betari... adik yang ia rawat sejak kecil. Yang ia lindungi dari cibiran tetangga, yang aibnya ia tutupi rapat-rapat demi menjaga nama baik keluarga.
Dan Jenny... bocah mungil yang dulu memanggilnya "Om" sambil minta digendong. Sekolahnya ia biayai, kebutuhannya ia penuhi, ulang tahunnya tak pernah ia lewatkan.
Tapi sekarang?
Mereka berdua justru menjadi orang yang paling menyakitinya.
Reza menunduk, menahan napas yang terasa berat di dada. Dalam bayangannya, suara Renata kembali terngiang—lembut, penuh perhatian.
"Mas, jangan terlalu diforsir. Kamu bisa sakit nanti..." ucap Renata sambil memijat pelan pundaknya, saat ia pulang tengah malam untuk ketiga kalinya dalam seminggu.
Saat itu, ia hanya menoleh singkat sambil membuka laptopnya.
"Tanggung jawabku banyak, Ren. Aku punya kamu, Rajata, Carissa... dan Jenny sekarang. Kalau aku nggak kerja keras, siapa yang akan menjamin hidup kalian semua?"
Dan kini, orang yang dulu ia pertahankan sepenuh tenaga... justru menginjak kepercayaan itu seperti tak berarti apa-apa.
Pintu kamar berderit pelan saat Renata masuk, membawa secangkir teh dalam nampan kecil. Aromanya lembut, menenangkan, menguar pelan di udara. Ia tidak bicara banyak—ia tahu betul, luka di hati suaminya tidak bisa diredakan dengan kata-kata.
Ia hanya duduk di samping Reza, lalu meletakkan teh itu di meja kecil di sebelah ranjang.
"Pa... diminum dulu tehnya," bisiknya pelan, sembari mengusap pelan punggung tangan suaminya.
Reza tak menoleh, tapi mengangguk perlahan. Ia meraih cangkir itu dengan dua tangan, seolah meminjam sedikit kehangatan dari teh buatan istrinya. Ia menyeruputnya pelan, menahan napas di sela-sela tegukan.
Entah kenapa teh buatan Renata selalu bisa membuatnya merasa tenang.
Keheningan mengambang di antara mereka. Hanya bunyi detik jam dan desir angin dari jendela yang terbuka setengah.
Lalu, tiba-tiba Reza meletakkan cangkirnya.
"Kita pulang malam ini. Panggil Carissa, suruh siap-siap."
Renata menoleh, terkejut.
"Pa... nggak baik nyetir dalam kondisi marah. Itu bahaya..."
Reza bangkit dari tempat tidur, menatap istrinya sejenak sebelum akhirnya menjawab.
"Kita bisa cari penginapan di jalan kalau capek. Aku... aku cuma nggak sanggup lagi lihat wajah si penjilat itu, Ren."
Renata menatap suaminya. Bahunya tegang, matanya penuh luka, tapi tak ada air mata—hanya diam yang berat. Ia ingin membantah, tapi apa yang bisa ia katakan? Luka Reza terlalu dalam untuk dinasihati.
Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.
"Baiklah. Aku ke kamar Carissa dulu," ucapnya, sebelum berdiri dan melangkah keluar, membawa keheningan bersamanya.
Di sisi kamar yang lain, Tessa baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, digulung asal dengan handuk kecil. Udara Bandung malam itu menusuk kulit, membuatnya merapatkan kedua tangan ke tubuh sendiri, berusaha menahan dingin yang menyusup pelan.
Pandangan matanya langsung tertuju pada Rajata—laki-laki itu sudah berganti hoodie hitam dan sedang sibuk merapikan baju ke dalam koper.
"Jadi... kita beneran balik malam ini?" tanya Tessa, mengernyitkan dahi.
"Hmm. Sesuai rencana awal," sahut Rajata tanpa menoleh.
"Tapi, Ja—"
"Nggak ada tapi." Rajata memotong cepat. "Gue juga nggak mau lama-lama di sini."
Nada suaranya dingin, membuat Tessa mengatupkan bibir. Mau tak mau, ia mulai ikut beres-beres. Ia pikir Rajata hanya bercanda saat tadi bilang akan langsung pulang setelah acara selesai. Tapi nyatanya... laki-laki itu tidak main-main.
"Gue masukin koper dulu ke mobil. Lo... siap-siap aja dulu," ucap Rajata sambil menarik resleting koper.
Tessa hanya mengangguk pelan, tanpa kata, sambil mengoleskan body lotion ke lengannya yang mulai kering karena udara dingin.
Saat Rajata keluar kamar, langkahnya tak sengaja bertemu Renata di koridor.
"Kamu jadi balik sekarang, Ja?" tanya Renata pelan.
"Iya, Ma. Lusa Rajata tanding. Minimal besok udah harus di rumah buat istirahat," jawabnya.
Renata mengangguk kecil, seperti sudah hafal betul kebiasaan Rajata menjelang pertandingan. Sehari sebelumnya, anak itu selalu memilih beristirahat di rumah, menjauh dari hiruk-pikuk.
"Mama mau ke mana?"
"Mau ke kamar Carissa. Papa juga rencana mau balik sekarang."
"Sekarang?" Rajata mengernyit.
"Iya."
"Kalau gitu, Rajata tunggu di bawah, kita berangkat bareng aja."
Renata mengangguk lagi dan melanjutkan langkah ke kamar Carissa. Ia mengetuk pintu pelan.
Tok. Tok. Tok.
Pintu terbuka, memperlihatkan wajah Liliana.
Selama di Bandung, Carissa tidur bersama Gendis dan Liliana. Awalnya Jenny juga ikut, tapi belakangan Jenny memilih tidur di kamar ibunya.
"Tante cari Rissa?" tanya Liliana sopan.
Renata mengangguk. "Iya. Tante masuk ya?"
Liliana mempersilakan. Tak lama kemudian, Carissa keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut.
"Mama? Ngapain ke sini?" tanyanya heran.
"Papa mau ngajak kita balik ke Jakarta malam ini. Kamu siap-siap, ya."
"Hah? Sekarang? Kenapa, Ma?" Wajah Carissa langsung berubah kecewa. "Ini udah malam, nggak baik perjalanan jauh."
Renata menghela napas. "Mama tahu. Tapi kita juga nggak bisa terlalu lama di sini. Kasihan papa..."
Carissa menoleh ke arah Gendis dan Liliana. Wajahnya cemberut. Mereka bertiga sudah merencanakan jalan-jalan besok pagi. Semua harus batal... gara-gara Jenny.
Begitu Renata menghilang di balik pintu, Liliana langsung menghela napas panjang.
"Yaaah... gagal deh kita girls time keliling Bandung," keluhnya kesal.
"Iya nih, padahal aku udah nyogok Kak Gema biar dipinjemin kameranya," timpal Gendis sambil manyun.
Carissa yang sedang sibuk merapikan barang-barangnya ikut mengumpat, "Emang ya, si Jenny tuh biang masalah. Udah bagus bokap gue biayain dia dari kecil sampai kuliah. Bukannya bersyukur, malah ngelunjak, mau nikahin Bang Rajata segala."
"Gue juga nggak nyangka, ternyata Jenny sama Tante Tari hatinya bisa sebusuk itu," sahut Liliana dengan nada muak.
"Kalau gue jadi Jenny sih udah malu banget. Apalagi tadi sampai ngerendahin istrinya Bang Raja di depan keluarga!" seru Gendis geram.
❗️Kadang... yang kita bantu mati-matian, malah jadi orang pertama yang justru menancapkan belati paling dalam.
Kamu pernah?
Hay teman-teman! Jangan lupa like dan komennya yaaa 🥰
kasihan, malang benar nasibmu Tessa