Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Khawatir tapi Gengsi
Laras mengerjap pelan. Sinar lampu ruangan menusuk matanya yang masih berat. Tubuhnya lemah, kepala berdenyut, tapi kesadarannya sudah mulai kembali. Ia terlonjak kecil ketika menyadari dirinya berbaring di sofa panjang di ruangan mewah yang sangat asing baginya. Perlahan ia menegakkan tubuh, lalu baru menyadari Oliver duduk di kursi seberang, menyilangkan kaki sambil memandanginya tanpa ekspresi jelas.
“Sudah bangun?” suara Oliver datar, tapi ada nada tegas yang membuat jantung Laras berdebar lebih cepat.
Laras menelan ludah. Perasaan malu, takut, dan bingung bercampur jadi satu. Ia buru-buru merapikan selendang tipis di bahunya, lalu mencoba bangkit. “Maaf, Pak… saya seharusnya tidak merepotkan. Saya… saya bisa pulang sekarang,” ucapnya lirih, mencoba berdiri meski tubuhnya masih limbung.
Oliver langsung berdiri, langkah panjangnya mendekat. “Kau tidak akan pulang sendiri dalam keadaan begini. Aku yang akan mengantar.”
Nada suaranya tegas, bahkan terkesan seperti perintah. Namun bagi Laras, ucapan itu membuatnya semakin tertekan. Ia menggeleng cepat, menunduk. “Terima kasih, Pak… tapi saya bisa pulang sendiri. Tidak usah repot-repot.”
Rahang Oliver menegang saat dirinya ditolak mentah-mentah oleh gadis desa ini. “Apa maksudmu? Kau berani menolak tawaran direkturmu sendiri?” suaranya meninggi, mengandung kemarahan.
Laras terdiam. Kedua tangannya menggenggam erat tali tas bekal yang ada di pangkuannya. Ia ingin menahan perasaan, tapi ada sesuatu di dadanya yang pecah. Air mata yang sejak tadi ia tahan mulai menggenang. Dengan suara serak, ia akhirnya bicara.
“Kenapa Bapak harus marah? Belum cukup apa yang Bapak lakukan untuk membuat saya menderita?”
Oliver terdiam namun sorot matanya berubah.
Laras menatap tepat di mata Oliver, kali ini tidak selembut biasanya. “Sebenarnya… apa salah saya? Saya memang miskin, iya. Tapi saya tidak bodoh, Pak. Saya sadar… selama ini Bapak sengaja mengerjai saya, kan?. Menyuruh-nyuruh, mempermainkan, membuat saya terlihat lemah. Bapak berharap saya melawan lalu dipecat, begitu? Sebegitu bahagianya kah mempermainkan orang miskin?”
Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. Laras menunduk dengan suaranya bergetar, namun setiap kalimat terdengar jelas menusuk.
“Menurut Bapak… pekerjaan yang saya lakukan memang tidak ada artinya. Tapi buat saya, ini satu-satunya jalan untuk memperbaiki hidup saya. Jalan untuk meringankan beban Bapak saya. Batu loncatan untuk masa depan saya, yang meski kecil… tetap sangat berarti bagi saya.”
Laras mengusap matanya cepat-cepat, lalu berdiri. Dengan tangan gemetar ia meraih tas kotak bekalnya yang ada di meja. “Saya permisi…” bisiknya pelan.
Oliver hanya terpaku. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu, pikirannya kosong. Hanya tatapannya mengikuti langkah Laras yang perlahan meninggalkan ruangan.
Malam sudah benar-benar larut. Lampu jalan di jalan desa sudah mati, membuat perjalanan terasa gelap dan panjang. Jam segini sudah tidak mungkin ada angkot yang lewat. Laras berjalan cepat, seakan ingin melupakan semua yang baru saja terjadi. Air matanya terus mengalir mengiringi setiap langkah kakinya.
Setiap langkahnya terasa berat, tapi tidak ada pilihan lain selain terus melangkah. Tangannya menggenggam erat tas selempangnya, sedikit memberi kekuatan untuk melangkah lebih cepat.
“Apa salahku sampai harus diperlakukan seperti ini?” gumamnya lirih, tersendat oleh isak tangis.
Laras mempercepat langkahnya. Angin malam semakin dingin namun tidak begitu terasa karna rasa perih di hati gadis berusia delapan belas tahun itu jauh lebih menyakitkan.
Tanpa Laras sadari, dari kejauhan sebuah mobil hitam melaju perlahan. Lampunya meredup, seolah sengaja menjaga jarak. Di balik kemudi, Oliver menatap punggung gadis itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia tidak turun, tidak pula memanggil. Hanya mengikuti, seakan menuntun langkah Laras agar tidak benar-benar sendirian di jalan gelap itu. Oliver menggenggam erat setir mobilnya, pikirannya kalut. Ia ingin marah, tapi entah kepada siapa. Ia ingin menyangkal, tapi kalimat Laras terus terngiang di telinganya.
Sejak pagi Oliver terlihat mondar-mandir di ruangannya. Ia mencoba tenggelam dalam laporan, tapi pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, bayangan wajah pucat Laras saat terakhir pingsan terus muncul di kepalanya.
Ia berdecak sebelum menekan interkom.
“Bu Sita,” suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.
Tak lama, Sita muncul ke ruangannya. “Iya, Pak?”
Oliver melirik sekilas ke arah pintu, memastikan tak ada karyawan lain yang mendengar. Dengan nada setengah berbisik ia bertanya, “Itu… karyawan baru Laras. Sudah masuk kerja?”
Sita menahan senyum kecil. “Belum Pak, dia masih sakit. Surat izin sakit sudah saya terima dari dokter perusahaan.”
“Oh,” Oliver berdeham, pura-pura cuek. “Baiklah.”
Ia kembali menunduk pada berkas di mejanya, seolah tidak peduli. Padahal sejak Sita keluar, jemarinya mengetuk meja tanpa henti. Hari pertama, ia tahan. Hari kedua, rasa penasarannya makin besar. Hingga di hari ketiga, Oliver tak bisa lagi mengabaikan keresahan yang mengganggu dadanya.
Sore itu, tanpa memberi tahu siapa pun, ia meninggalkan pabrik. Mobil hitamnya meluncur menuju desa tempat Laras tinggal.
Sita menahan bibirnya agar tidak tersenyum. Saat ia melangkah keluar dan pintu tertutup, barulah wajahnya mengendur dengan pandangan menerawang.
“Bapak direktur ini aneh sekali…” gumamnya pelan. “Ah tidak mungkin,” Sita menggeleng-gelengkan kepala menyingkirkan drama romantis yang tiba-tiba menyintas di pikirannya.
Ekspresinya berubah menjadi iba. “Apa jangan-jangan beliau tidak sabar menunggu Laras masuk supaya bisa disiksa lagi? Ya ampun, kasihan sekali anak itu. Mana polos dan lugu begitu…”
Sita menarik napas panjang, lalu kembali ke mejanya. Dalam hati ia hanya bisa berharap Laras cukup kuat menghadapi segala tingkah bosnya yang kadang kelewat keterlaluan.
Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari rumah sederhana berdinding kayu dengan pekarangan kecil di depannya. Di balik kemudi, Oliver menatap rumah itu dengan tatapan ragu. Tangannya sempat terangkat hendak membuka pintu tapi tidak jadi. Ia menarik napas panjang, lalu memijit keningnya sendiri.
“Tiga hari…” gumamnya lirih. “Masa iya cuma sakit biasa? Atau dia sengaja…?”
Namun entah kenapa, ia khawatir kalau gadis itu benar-benar sakit parah. Sial… ia merutuki dirinya sendiri.
Akhirnya ia turun dari mobil. Sepatu mahalnya menginjak tanah berdebu halaman kecil rumah itu, begitu kontras dengan penampilannya yang selalu rapi. Oliver berdiri di depan pintu kayu yang catnya sudah mengelupas, tangannya terangkat ragu hendak mengetuk.
Belum sempat ia mengetuk, suara berderit terdengar. Pintu terbuka perlahan. Dari dalam, muncul Laras. Gadis itu mengenakan pakaian terusan sederhana, rambutnya digelung seadanya. Wajahnya masih pucat, hidungnya merah karena flu, dan suaranya bindeng saat bersuara.
Kedatangan orang di hadapannya ini membuat Laras sangat terkejut.
“…Pak Oliver?” suaranya terdengar kaget sekaligus ragu.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀