Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 23
Demi menjaga harga dirinya, Romlah menatap tajam ke arah Rina.
“Kamu bisa-bisanya teledor seperti ini. Tapi karena kamu sudah lama bekerja di sini, aku beri toleransi. Cukup ganti saja kerugiannya.”
Ia menyodorkan selembar kertas. “Sekarang, tanda tangan surat pernyataan ini.”
Sekilas, Romlah mengedipkan mata—kode bahwa ini hanya formalitas.
“Baik, Bu. Terima kasih,” ucap Rina dengan nada enggan.
Romlah memang tak bisa sembarangan memecat Rina. Mereka satu lingkaran—kawanan yang menjual baju ilegal secara diam-diam. Permainan mereka rapi, terselubung di balik jabatan dan struktur perusahaan. Padahal menurut aturan atasan, setiap kesalahan karyawan harus diselidiki dulu. Karyawan baru bisa diminta mengganti rugi setelah melakukan tiga kesalahan, itupun setelah alasan dan kondisi pribadinya ditelusuri.
“Baik, lanjutkan pekerjaan kalian,” ucap Romlah tegas, menjaga citra otoritas.
“Terima kasih, Bu Romlah. Anda pemimpin yang bijaksana,” ucap Zahira dengan senyum seolah tulus. Tapi kalimat lanjutannya menusuk, “Lanjutkan perjuanganmu.”
Romlah terdiam, giginya bergemeretuk. Ia ingin marah, tapi menahan diri demi menjaga wibawa. Ia paham, kalimat itu bukan sekadar basa-basi. Itu tantangan.
Maknanya jelas: Lanjutkan saja usahamu untuk menjatuhkanku. Aku siap meladeni.
Zahira hanya menggeleng pelan, menyaksikan kepergian Romlah dan Rina yang berjalan menjauh. Dalam hati, ia masih menyimpan rasa heran.
Di kampung ini, ada sebuah konveksi semi-garmen dengan sistem manajemen yang... unik, kalau tak ingin disebut aneh.
Proses penerimaannya tak seperti tempat kerja pada umumnya. Tak ada permintaan ijazah. Tak ada wawancara. Tak ada formulir panjang. Para pelamar langsung dibawa ke dalam ruang produksi dan dites kerja di tempat.
Yang membuat Zahira lebih bingung lagi, justru para lulusan SMP, bahkan SD, yang lebih sering diterima bekerja. Sementara lulusan SMA atau yang punya pengalaman kerja lebih tinggi, justru banyak yang ditolak.
Jika ada yang bertanya atau protes, jawaban manajemen selalu sama:
"Di sini tempat kerja, bukan tempat pamer ijazah."
Jawaban itu terdengar simpel, tapi menyimpan banyak tanda tanya. Bagi Zahira, ada sesuatu yang tersembunyi di balik sistem dan dalam hati bertanya siapa pemilik konveksi ini.
..
..
Romlah menghembuskan napas berat, menahan amarah yang belum juga reda.
"Rina, kenapa kamu nggak ingetin aku kalau itu pekerjaan kamu?" ucapnya kesal.
Rina menyilangkan tangan, tidak mau disalahkan begitu saja.
"Ah, Ibu juga sih, ceroboh. Kalau mau marah ya dipersiapkan dulu. Aku kan bisa aja bolongin dulu baju yang Zahira kerjakan."
Ia ikut menghela napas, seolah ingin menunjukkan bahwa ia pun dirugikan.
"Aku jadi harus keluar uang lima ratus ribu," gumamnya dengan nada berat.
"Ambil saja dari hasil penjualan baju yang kita laporkan sebagai reject," jawab Romlah dingin.
Sudah menjadi rahasia di antara mereka: sebagian baju yang seharusnya lulus seleksi produksi sengaja mereka cap sebagai reject agar bisa dijual diam-diam ke penadah. Laporan palsu adalah bagian dari permainan mereka.
"Tetap saja, sayang uangnya," bisik Rina nyaris tak terdengar.
Romlah menatap kosong ke depan, matanya menyala karena dendam.
"Aku harus mempermalukan Zahira. Kamu punya ide?"
Nada suaranya bukan bertanya, tapi memaksa. Rasa malu karena dibalas dengan elegan oleh Zahira membuatnya geram.
Zahira bukan sekadar bawahan baginya—dia adalah musuh lama. Dulu bersaing dalam cinta dan harga diri, kini bersaing dalam gengsi dan kuasa.
Romlah tahu, selama Zahira tidak jatuh, malam-malamnya akan terus dihantui kegelisahan. Tidurnya tak akan pernah benar-benar tenang.
"Besok ada bos besar yang mau inspeksi ke pabrik. Itu momen paling tepat untuk menjatuhkan Zahira," bisik Rina, matanya menyiratkan kelicikan. Di kepalanya, rencana jahat sudah tersusun rapi.
"Apa detailnya?" tanya Romlah, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
"Ibu suruh Zahira keluar untuk tugas luar jam satu siang. Saat dia pergi, aku akan menyelinap dan menaruh baju-baju baru di dalam lokernya," ujar Rina pelan, seperti sedang membisikkan kutukan.
"Jam dua, bos besar datang. Lalu aku akan memicu sedikit kekacauan—bisa lewat laporan barang hilang atau kecurigaan pada stok yang berkurang. Itu akan memaksa tim inspeksi memeriksa seluruh loker karyawan."
Romlah mengangguk pelan, mulutnya membentuk senyum dingin.
"Dan saat itulah Zahira akan dijadikan tersangka... Lalu di-blacklist. Tidak bisa kerja di mana pun."
Mereka saling berpandangan. Tak ada tawa, tak ada tepuk tangan, hanya keheningan yang penuh rencana busuk.
Untuk Romlah dan Rina, ini bukan sekadar menjatuhkan Zahira. Ini adalah eksekusi dendam karena Zahira sudah berani menentangnya dan mempermalukan dirinya.
. .
..
Meski tubuhnya pegal luar biasa, Zahira tetap duduk tegak di depan meja kecilnya. Jemarinya terus menari di atas keyboard. Baginya, mewujudkan cita-cita bukan soal menunggu mood baik atau inspirasi datang. Disiplin adalah kuncinya.
Jika inspirasi muncul, ia tangkap dan tuangkan dalam tulisan. Jika tidak ada, ia paksa dirinya menciptakan inspirasi itu sendiri.
Hari pertama, dengan perjuangan berat, Zahira berhasil menyelesaikan satu bab berisi seribu kata. Hari kedua, ia mulai terbiasa—dua bab rampung.
Memasuki hari ketujuh, ia mampu menulis lima bab dalam sehari. Itu batas maksimalnya. Bukan karena kehabisan ide, tapi karena tubuhnya mulai memberi peringatan.
Malam itu, jam menunjukkan pukul satu dini hari. Matanya mulai berat, tapi ada kepuasan dalam batinnya. Zahira akhirnya merebahkan tubuhnya, perlahan terlelap dalam pelukan malam, dengan hati yang tenang—karena hari ini, ia kembali setia pada mimpinya. Yang sudah dia pendam selama 20 tahun.
..
..
Pagi itu, suasana di depan pabrik mendadak ricuh.
Romlah berteriak marah, menunjuk sebuah sepeda listrik yang tergeletak tak jauh dari mobilnya.
"Keamanan mana sih?!" teriaknya dengan suara tajam.
Seorang petugas keamanan buru-buru mendekat.
"Ada apa, Bu?" tanya Sardi dengan wajah cemas.
"Kenapa kalian membiarkan orang asing masuk ke area pabrik?! Anak itu sudah menggores mobilku!" bentak Romlah, menunjuk seorang remaja laki-laki yang tampak tidak gentar.
Sardi melihat ke arah mobil Romlah. Hanya ada goresan kecil di sisi pintu.
"Bu Romlah, sudahlah. Itu hanya lecet ringan. Mobil Anda nggak rusak kok," ucapnya hati-hati.
"Apa kamu bilang?!" Romlah membelalak, emosinya memuncak. "Kamu itu security nggak guna! Akan kuusulkan ke Pak Mardi agar kamu dipecat!" katanya penuh arogansi.
Sardi terdiam, wajahnya pucat ketakutan.
Remaja itu akhirnya angkat suara.
"Bu, yang salah justru Ibu. Ibu nyetir sambil nelpon. Saya sudah mepet ke pinggir gerbang, tapi Ibu malah makin ngarah ke kiri. Sisi kanan masih luas, kenapa Ibu yang ambil jalan saya?"
Romlah makin naik darah. Anak ini... berani sekali membantahnya di depan umum! Matanya merah, tangannya terangkat hendak menampar.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.