Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Mentari pagi menyusup lembut ke dalam kamar melalui celah tirai yang belum sepenuhnya ditutup. Naya menggeliat kecil, rambutnya berantakan, dan wajahnya masih setengah tertutup bantal guling.
Di sisi ranjang, Alvan sudah berdiri, rapi dengan kemeja putih santai dan celana kain ringan. Ia menatap ke arah Naya dengan satu alis terangkat.
“Bangun. Hari ini kita akan keliling tempat wisata, ingat? Jangan sampai kamu yang ngajak liburan malah bangun paling siang.”
Naya hanya mengangkat tangan dan melambai ke udara tanpa membuka mata.
“5 menit lagi…”
“Kata-kata paling pembohong dalam sejarah manusia,” gumam Alvan datar,
Alvan mendekat, bersedekap di depan dada sambil menatap Naya yang masih meringkuk seperti kepompong.
“Kalau kamu nggak bangun dalam 5 menit, aku yang bakal bangunin kamu dengan cara yang... nggak kamu suka,” ancamnya dengan nada menggoda, meski tetap terdengar datar.
Naya hanya menggumam tak jelas, suaranya tertahan oleh bantal.
“Pak dosen bawel... pagi-pagi udah kayak jam weker hidup...”
Alvan menghela napas panjang, lalu berjalan ke meja kecil dan menuangkan segelas air putih. Ia kembali ke sisi tempat tidur, menatap Naya yang masih menolak bangun.
“Terakhir kali ditanya, kamu mau bangun sendiri atau aku guyur?” tanyanya, kali ini agak lebih serius.
Mata Naya langsung terbuka. “Oke! Oke! Aku bangun, jangan pakai drama air, please.”
Alvan menyeringai kecil.
“Bagus. Sekarang mandi. Sarapan sebentar lagi, dan kita gak bisa bikin Arya dan Sarah nungguin pasangan yang kesiangan. Bukannya kamu sendiri semalam yang bilang kalau bangun kesiangan akan ditinggal sendirian dihotel ini , tapi berhubung aku orang yang baik aku tunggu kamu mengerti MY DEAR”
Naya membelalak sempurna mendengar kata my dear.
"Ihhh apaan sii pak dosen...."
Alvan hanya mengangkat bahu santai, menyimpan senyum tipis di sudut bibirnya.
“Apa? Gak boleh ya aku jadi suami manis satu hari aja? Kan lagi liburan,” balasnya ringan sambil berjalan ke arah meja kecil di dekat jendela, mengambil segelas air putih dan meminumnya perlahan.
Naya menatapnya sebal, tapi pipinya malah memanas. Ia langsung berbalik menuju kamar mandi sambil bergumam pelan, “Dasar dosen sok romantis...”
Namun, sebelum menutup pintu kamar mandi, ia sempat melongokkan kepala sebentar dan berkata,
“Tapi serius, jangan pakai embel-embel my dear segala Itu cringe!”
Alvan membalas dengan nada datar tapi tajam, “Noted. Tapi kalau kamu mulai senyum-senyum sendiri setelah denger itu, bukan salah aku, ya.”
BRAKK!
Pintu kamar mandi ditutup oleh Naya dengan dramatis, membuat Alvan terkekeh pelan.
Ia duduk di tepi ranjang, mengusap pelan rambutnya yang masih setengah basah. Tatapannya sempat melayang ke arah bantal-bantal yang semalam jadi pembatas. Sekilas senyum kecil menyelinap di wajahnya.
“Cringe ya?” gumamnya sambil menggeleng pelan.
“Padahal dari semua panggilan, itu yang paling sopan buat seseorang yang tiba-tiba muncul di hidupku, dan... entah kenapa jadi terlalu sering ada di pikiranku.”
---
Beberapa menit kemudian...
Naya keluar dari kamar mandi dengan rambut dikuncir tinggi dan outfit santai tapi modis. Alvan melirik sebentar dan berdiri.
“Makan dulu sebelum kita keluar. Kamu perlu energi buat nyari spot selfie favoritmu itu, kan?”
Naya melotot. “Pak dosen ini ngatain gue hobi foto-foto?”
“Fakta,” jawab Alvan singkat.
Mereka keluar kamar bersamaan. Di lorong hotel, sudah terlihat Sarah dan Arya yang duduk di sofa tunggu. Sarah tampak santai, sambil memainkan ponsel. Arya berdiri menyandarkan badan ke dinding, tapi matanya langsung menangkap kedatangan Naya dan Alvan.
Dan… seperti biasanya, detik itu juga, senyum Arya langsung meredup.
Pandangan matanya yang sebelumnya lembut saat memandangi ombak kini perlahan memudar saat mendengar suara itu. Suara Naya. Dan seperti otomatis, hatinya ikut tenggelam.
“Hai guys, maaf ya bikin kalian lama nungguin kita,” ucap Naya ceria, masih dengan suara riang khasnya yang seperti tak pernah berubah sejak dulu.
Sarah langsung menyambut, berdiri setengah melompat kecil. “Akhirnyaa! Gue udah mau pesen makanan dua kali saking kelamaan nungguin kalian!”
Alvan hanya tersenyum tipis dan menarik kursi untuk Naya sebelum ikut duduk di sebelahnya.
Arya mengangguk pelan. “Gak apa-apa kok. Baru juga lima belas menit,” ujarnya datar, tanpa ekspresi. Tatapannya tak lagi mengarah ke Naya—melainkan ke piring kosong di depannya.
Naya melirik Arya sejenak, ingin bicara, tapi entah kenapa bibirnya terasa kelu. Mungkin karena sorot mata Arya yang tak seperti biasanya—bukan sinis, bukan cuek. Tapi kosong.
Sarah menyadari itu. Ia melirik ke dua sahabatnya bergantian, lalu cepat-cepat mengangkat buku menu.
“Udah deh, kita pesan makan aja. Gue udah laper banget, siap makan babak kedua!”
Alvan tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Kita pesen yang ringan dulu, biar perut gak kaget pas diajak jalan keliling.”
Naya tertawa, tapi suara tawanya tak mampu menghalau ketegangan samar di udara. Arya, tetap diam. Hanya angin pantai yang menyapu rambut mereka, seakan ikut menyembunyikan emosi yang tak terucap.
Dan di hati kecil Naya, ia tahu—ada sesuatu yang berubah.
---
Setelah hampir satu jam duduk di meja makan hotel tepi pantai, sarapan hampir selesai. Piring-piring sudah hanya berisi sisa, dan gelas minuman tinggal setengah.
Naya mengusap mulutnya dengan tisu, lalu berdiri.
“Aku ke toilet dulu ya,” katanya sambil tersenyum. Tak menunggu jawaban, ia segera berjalan melewati lorong kecil menuju area toilet wanita.
Arya menatap punggung Naya yang menjauh. Ia tampak ragu sejenak, tapi lalu ikut berdiri dengan gerakan cepat.
“Gue juga ke toilet,” ucapnya singkat.
Sarah dan Alvan langsung saling pandang.
Senyum Sarah tipis, tapi alisnya terangkat dengan makna. “Cepet banget geraknya, ya?” bisiknya ke arah Alvan.
Alvan menyandarkan punggungnya ke kursi sambil mengangkat gelas jus terakhirnya. “Dia gak sekadar kebelet, kayaknya,” ucapnya datar.
Tatapannya kosong, terpaku ke arah lorong tempat Arya barusan pergi. Tangan kirinya mengepal di atas pahanya, halus tapi terasa tegang.
Di lorong menuju toilet hotel, suasananya sedikit lebih sepi. Lampu-lampu gantung kecil menerangi jalan dengan warna kuning hangat.
Saat ia mengangkat wajah, refleksi bayangan seseorang muncul di belakangnya. Ia menoleh pelan—dan benar saja, Arya berdiri beberapa langkah dari pintu toilet pria. Wajahnya tegang, pandangannya menusuk lurus ke arah Naya.
“Arya?” Suara Naya nyaris berbisik.
Arya mengangguk pelan, langkahnya tertahan. “Gue cuma… mau tanya sesuatu.”
Naya mengeringkan tangannya, menoleh penuh. “Tanya apa?”
Arya menatap mata Naya dalam-dalam. “Lo bahagia, Nay? Bahagia nikah sama Alvan—dosen killer itu yang dari awal lo bahkan gak suka?”
Pertanyaan itu menggantung lama di udara. Naya menyipitkan sebelah matanya.
“Arya, lo tau gue gak suka ditanya hal ini berulang-ulang. Gue udah pernah jawab kan.” Suaranya datar, tapi jantungnya berdetak lebih cepat.
Arya menghela napas. “Gue tau... Tapi apa lo yakin? Gimana kalau suatu saat nanti lo beneran jatuh cinta sama dia?”
Naya diam. Untuk sepersekian detik, ia kehilangan kata. Tapi segera ia melawan.
“Gue gak bisa jawab soal perasaan. Kadang hati kita... jalan sendiri tanpa kita minta. Tapi sekarang, giliran gue yang nanya—” Naya melangkah mendekat, matanya lurus menatap Arya.
Arya terdiam"Hmm apa?"
"Gue tau lo sahabat gue tapi kenapa lo keliatan nya gak suka ya sama pernikahan gue dan pak Alvan ?"tanya Naya
“Come on, Nay. Kita sahabatan. Wajar lah kalau gue overprotektif sama lo,gue khawatir lo gak bahagia sama dia.”
Naya menggeleng pelan, senyumnya tipis. Pahit.
“Bukan protektif. Tatapan lo lebih dari itu. Dan lo tau gue gak bodoh. Lo nyimpan sesuatu, Ar.”
Arya terdiam. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara. Hanya napas yang lebih berat dari biasanya.
Lalu akhirnya...
“Gue suka sama lo, Nay.”
Sunyi.
“Udah lama. Jauh sebelum ada Alvan. Gue pikir ini bakal hilang... tapi ternyata makin hari malah makin dalem.”
Naya membeku di tempat. Tangannya yang tadi memegang tisu ikut jatuh ke lantai.
“Ar... gue—”
Tapi Arya sudah berbalik. Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan lorong itu dengan napas tercekat dan dada yang berat.
Dan Naya tetap berdiri di sana. Menatap ke arah cermin. Tapi kali ini, bukan untuk melihat bayangan siapa-siapa—melainkan menatap matanya sendiri, yang kini mulai berkaca.
---
🍒🍒🍒