Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Kampus, Ruang Dosen – Siang Hari
Ruangan itu terang. Matahari masuk melalui jendela besar, menerangi meja-meja dengan tumpukan kertas, laptop terbuka, dan suara keyboard yang sesekali terdengar. Tapi di salah satu sudut, Alvan duduk membisu.
Ia menatap layar laptop yang hanya menampilkan halaman kosong Microsoft Word. Judul skripsi mahasiswanya sudah terbuka, tapi pikirannya sama sekali tidak di sana.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi, memejamkan mata sejenak. Namun justru kalimat itu kembali terngiang:
"Aku mau kita cerai."
Alvan membuka mata cepat, menghela napas berat. Tangannya mengepal perlahan di atas meja.
"Kenapa saat aku mencoba memulai dengan benar... dia justru ingin mengakhiri segalanya?" batinnya resah.
Ayahnya, Pak Hermawan, masih terngiang dalam ingatannya.
“Jangan permainkan pernikahan. Kamu sudah dewasa, Alvan. Kalau kamu menikah, artinya kamu berkomitmen. Jangan seperti orang yang tak tahu arah.”
Dan Alvan tahu, ia sudah mencoba.
Ia sudah berusaha mendekat. Ia ingin belajar mencintai. Ia ingin membuktikan bahwa pernikahan mereka bisa lebih dari sekadar sandiwara.
Tapi yang didapat... penolakan. Penolakan yang menyakitkan.
Pintu ruangan terbuka. Seorang dosen lain masuk, menyapa ramah.
“Pak Alvan, kelas sore ini jalan?”
Alvan menoleh cepat. Wajahnya tetap tenang, meski ada bayangan lelah di matanya.
“Ya. Jalan. Saya akan masuk seperti biasa.”
Dosen itu mengangguk dan berlalu. Alvan menutup laptopnya, berdiri perlahan.
Langkahnya menuju kelas terasa lebih berat dari biasanya. Seperti ada beban yang menempel di pundaknya bukan karena tugas akademik, tapi karena luka yang datang dari rumah... dari seorang istri yang kini bahkan enggan menyebutnya "suami".
Lorong kampus terasa lebih ramai dari biasanya. Mahasiswa lalu-lalang, tertawa, sibuk dengan buku, diskusi, dan obrolan ringan.
Namun di tengah keramaian itu, Alvan merasa... kosong.
"Mungkin aku memang bukan laki-laki yang pantas untuknya. Tapi bukan berarti aku akan menyerah semudah itu. Karena aku tahu... ada hal dalam hidup yang pantas diperjuangkan meski kita dihancurkan berkali-kali."
___
Lorong Kampus – Beberapa Menit Sebelum Kelas Dimulai
Langkah kaki Alvan terasa lambat, pikirannya masih kusut. Ia berjalan sambil menunduk, tanpa benar-benar memperhatikan arah. Langit mendung di luar jendela tampak seperti cerminan hatinya. Gelap, berat, dan nyaris hujan.
Hingga—
Braak!
Seseorang menabraknya dari arah berlawanan.
“Ah maaf, saya nggak—”
Tubuh perempuan itu nyaris jatuh, namun dalam refleks cepat, tangan Alvan langsung menangkap lengan dan pinggang perempuan itu, menopangnya dengan sigap sebelum menyentuh lantai.
Beberapa detik.
Waktu seperti berhenti.
Mata mereka bertemu.
Mata coklat bening milik perempuan itu menatap Alvan dengan sorot terkejut, namun tak ada ketakutan di sana hanya... ketertarikan samar yang tak bisa disembunyikan. Alvan juga terpaku, meski hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatnya tersadar akan posisinya.
Segera ia melepaskan pegangan dan berdiri tegak.
“Maaf,” ucap Alvan cepat, menunduk sopan. “Saya yang kurang hati-hati.”
Perempuan itu tersenyum kecil. Senyum yang tenang, berkelas. Ia membenarkan rambut panjangnya yang terurai halus ke bahu. Penampilannya rapi dan elegan—kemeja satin putih bersih, celana panjang berpotongan tegas, dan sepatu hak rendah berwarna nude.
“Sepertinya saya juga terlalu terburu-buru,” jawabnya lembut, lalu mengulurkan tangan. “Namaku Dira. Mahasiswi baru magister psikologi. Kamu dosen di sini?”
Alvan mengangguk perlahan. “Alvan. Dosen Hukum.”
Dira menyipitkan matanya sedikit, memperhatikan wajah Alvan lebih lama.
“Alvan... oh, jadi ini kamu,” gumamnya, seolah mengenali nama itu dari obrolan orang-orang. “Kamu cukup terkenal di lingkungan kampus, tahu?”
Alvan tersenyum tipis, berusaha sopan. “Bukan hal yang perlu dibanggakan.”
Dira tertawa pelan. Suaranya ringan, tidak dibuat-buat. “Maaf kalau tadi bikin kamu kaget. Tapi... aku senang bisa ketemu langsung. Wajahnya ternyata lebih karismatik daripada kata orang.”
Alvan terdiam sebentar. Ucapan itu datang tiba-tiba, dan ia belum bisa membaca maksud di balik senyum Dira. Tapi sebelum ia sempat menanggapi, Dira sudah melangkah satu langkah ke belakang.
“Semoga bisa ngobrol lagi nanti. Aku harus ke ruang administrasi dulu,” ujarnya sambil melambai kecil. “Sampai jumpa, Pak Dosen.”
Alvan masih menatap punggung Dira yang perlahan menjauh di lorong kampus yang lengang. Ada sesuatu yang berbeda dari perempuan itu. Bukan sekadar karena tabrakan tadi tapi karena caranya tersenyum, caranya menatap, dan caranya meninggalkan kesan.
Namun sebelum pikirannya bisa menyelam lebih dalam, matanya menangkap sosok lain di ujung lorong.
Langkahnya terhenti.
Napasnya tercekat.
Itu... Naya.
Alvan membelalak pelan. Ia yakin betul—pagi tadi, Naya masih meringkuk dalam selimut, menolak diajak bicara, apalagi pergi ke kampus. Tapi sekarang, di depannya, berdiri sosok perempuan yang jelas-jelas adalah istrinya. Mengenakan jeans biru gelap, kemeja putih longgar, dan tas selempang hitam, Naya berdiri membeku di jarak belasan meter.
Tatapan mereka bertemu.
Sekilas. Tapi cukup untuk membuat udara di sekeliling terasa tegang dan dingin.
Sorot mata Naya bukan hanya terkejut... tapi juga marah.
Alvan ingin melangkah, ingin menjelaskan entah apa—padahal tak terjadi apa-apa dengan Dira. Tapi Naya lebih cepat. Ia memutar tubuhnya dengan tajam, lalu melangkah pergi tanpa satu kata pun.
Langkahnya cepat. Tegas. Dan menyakitkan.
Alvan hanya bisa berdiri mematung.
Bingung.
Dan… kecewa.
Untuk pertama kalinya hari itu, nama Naya kembali memenuhi isi kepalanya—bersamaan dengan rasa sesal yang tak tertahankan.
Suasana kelas riuh rendah. Beberapa mahasiswa tertawa, yang lain sibuk membuka catatan atau menyelesaikan tugas yang belum rampung. Di sudut ruangan, Naya dengan posisi kepala tertunduk di atas meja, sesekali menarik napas panjang seolah sedang menekan sesuatu di dadanya.
Klik.
Suara gagang pintu ditekan dari luar. Dalam sekejap, keramaian itu seolah dihentikan oleh tombol tak terlihat. Semua kepala serempak menoleh.
Dan di sanalah Alvan berdiri. Mengenakan kemeja biru muda yang tergulung rapi di lengan, wajahnya tenang seperti biasa, tapi sorot matanya lebih dingin dari biasanya. Langkah kakinya mantap menuju meja dosen.
“Selamat pagi,” ucapnya singkat, datar, namun cukup untuk menggema ke seluruh ruangan.
“Selamat pagi, Pak,” sahut para mahasiswa bersamaan, sebagian dengan semangat, sebagian lagi dengan rasa segan.
Naya pun perlahan mengangkat kepalanya. Matanya langsung bertumbuk pada sosok pria yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya duduk. Jantungnya berdebar tak karuan, apalagi setelah pagi tadi ia melihat Alvan bersama perempuan asing—dan kini pria itu berdiri di depan kelas seolah tak ada yang terjadi.
Alvan membuka laptopnya perlahan, membiarkan keheningan sedikit lebih lama dari biasanya. Ia sempat menoleh ke arah Naya. Tatapan mereka bersirobok—sejenak saja—sebelum Naya buru-buru menunduk, pura-pura mencatat.
"Baik," Alvan memecah hening, "kita mulai materi hari ini: Etika Komunikasi Profesional dalam Dunia Media."
Namun suaranya terdengar sedikit lebih berat. Beberapa mahasiswa mungkin tak menyadari, tapi bagi Naya, setiap kata yang keluar dari mulut Alvan seperti mengandung banyak hal yang tak terucap.
---
Alvan melangkah pelan ke sisi papan tulis, memulai penjelasan tentang Etika Komunikasi Profesional. Kalimat demi kalimat mengalir dengan terstruktur, suaranya jelas dan nada bicaranya seperti biasa—tenang namun tegas.
Namun di tengah pembahasan, matanya sesekali melirik ke satu titik. Tepat ke arah bangku ketiga dari depan, sisi kiri.
Naya.
Gadis itu tidak mencatat. Tidak pula menatap ke depan. Kepalanya menunduk, matanya menatap kosong ke meja, sementara penanya hanya diputar-putar di antara jari-jarinya. Pandangannya gelap dan jauh, seakan tubuhnya hadir di ruangan, tapi pikirannya sedang berada entah di mana.
Alvan berhenti berbicara.
Beberapa mahasiswa menoleh, bingung.
Tatapan Alvan tak lagi menyapu ruangan—ia hanya terarah pada satu orang.
“Nona Naya,” ucapnya, nada suaranya berubah menjadi lebih tajam namun tetap tenang.
Naya tersentak kecil, lalu perlahan mendongak. Mata mereka bertemu. Dan dunia seakan berhenti berputar.
Mata itu... bukan sekadar tatapan seorang dosen kepada mahasiswinya. Bukan juga pandangan seorang suami kepada istrinya. Tapi campuran dari amarah yang tertahan, luka yang belum sembuh, dan... rindu yang tertutup oleh ego.
Kelas mendadak hening. Bahkan suara AC pun seolah menghilang. Semua mahasiswa kini menoleh, satu per satu, menatap antara Alvan dan Naya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
“Jika ada hal lain yang lebih menarik daripada materi ini,” lanjut Alvan, masih menatap lurus, “silakan keluar dan selesaikan terlebih dahulu.”
Naya menggigit bibir bawahnya. Ia ingin membalas, ingin berkata sesuatu—tapi tak satupun kata berhasil keluar. Dadanya sesak oleh emosi yang ia tahan sejak pagi tadi.
Namun alih-alih keluar, Naya justru mengambil buku catatannya dan membuka lembar kosong. Ia menunduk, seolah kembali fokus.
Tapi Alvan tahu... Naya tidak sedang mencatat.
Dan seluruh kelas masih menatap mereka, bergantian. Ada yang berbisik, ada yang hanya bertukar pandang dengan temannya.
Alvan menarik napas panjang, mencoba kembali ke mode profesional.
“Baik. Kita lanjutkan,” ucapnya pelan.
Tapi keheningan yang tercipta tadi... seakan menyisakan luka yang belum benar-benar mengering.
Setelah kelas bubar dan suara langkah kaki terakhir mahasiswa memudar di lorong, ruang kuliah itu menjadi hening. Hanya ada satu suara: detik jam dinding yang berputar perlahan.
Alvan masih berdiri di depan, membereskan laptop dan tumpukan berkas. Tapi matanya terus melirik ke arah bangku yang masih terisi. Naya belum bergerak sejak bel terakhir berbunyi.
Ia akhirnya menghela napas, lalu melangkah pelan, mendekati kursi Naya. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di sebelahnya. Jarak mereka cukup dekat hingga Naya bisa mencium aroma khas parfum yang dikenalnya.
"Naya..." suara Alvan terdengar lembut, namun jelas mengandung sesuatu yang tertahan. "Yang tadi di lorong itu—"
“Aku tidak mau dengar,” potong Naya cepat, tanpa menoleh, suaranya datar namun penuh tekanan.
Alvan terdiam sejenak, menatap wajah Naya yang menolak bertemu pandang. Ia tahu ekspresi itu—dingin di luar, tapi sesungguhnya menyimpan badai di dalam.
"Baiklah kalau kamu tidak mau dengar," ucap Alvan akhirnya.
Ia berdiri perlahan, kembali ke meja dosen, membereskan laptop dan buku dengan tenang. Tak satu pun suara tambahan keluar dari mulutnya. Hanya gerakan teratur seolah semuanya tak penting.
Langkahnya menuju pintu juga sunyi.
Naya akhirnya mengangkat kepala, menatap punggung Alvan yang menjauh, dan tanpa sadar menggumam pelan, "Katanya mau menjelaskan…"
Ia menekan-nekan pulpen di tangannya dengan kesal, napasnya sedikit memburu. Ada rasa jengkel… tapi entah kepada siapa—Alvan, perempuan di lorong, atau kepada dirinya sendiri yang merasa terusik.
Pintu ruang kelas menutup dengan suara pelan, meninggalkan Naya sendirian di ruangan yang kini terasa begitu lapang… dan dingin.
🍒🍒🍒