NovelToon NovelToon
The Book

The Book

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Hantu
Popularitas:23.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dfe

Ziudith Clementine, seorang pelajar di sekolah internasional Lavante Internasional High School yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa secara mengenaskan.
Bukan dibunuh, melainkan bunuh diri. Dia ditemukan tak bernyawa di dalam kamar asramanya.
Namun kisah Ziudith tak selesai sampai di sini.

Sebuah buku usang yang tak sengaja ditemukan Megan Alexa, teman satu kamar Ziudith berubah menjadi teror yang mengerikan dan mengungkap kenapa Ziudith memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dfe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jangan pergi terlalu jauh

Hidup Megan kini terasa seperti lorong panjang tanpa cahaya. Tidur sudah menjadi kemewahan yang tak pernah dia dapatkan lagi. Bagaimana dia bisa terpejam dengan tenang jika setiap kali matanya tertutup, Ziudith selalu ada di mana-mana.

Hujan malam itu tidak sekadar turun, ia menekan kaca jendela seperti jemari yang mengetuk tidak sabar.

Kondisi kamar asrama Megan redup, hanya diterangi cahaya lampu meja kecil yang menyebarkan rona kuning pucat di antara buku-buku berserakan. Megan duduk di tepi ranjang, tubuhnya terlipat seperti ingin menciut ke titik terkecil, wajahnya tenggelam di antara lutut.

Mata Megan bengkak. Nafasnya berat. Bahkan ketika dia terjaga seperti ini pun, kehadiran Ziudith tak pernah benar-benar pergi. Kadang Megan melihat bayangan gadis itu memantul di cermin kamar mandi. Kadang suara napas berat terdengar dari bawah ranjang. Pernah juga dia merasakan kepalanya seperti digaruk tangan tak kasat mata tapi dapat dia rasakan gerakan tidak wajar yang menerornya. Lampu tak lagi membuatnya aman. Justru di bawah temaram cahaya, dia bisa melihat dengan jelas kulit pucat, kuku-kuku kotor yang merayap di lantai lalu mendekat perlahan.

Seperti kejadian di ruang baca tempo hari, Megan melihat Arkana akan dicekik oleh tangan pucat entah milik siapa.. Dengan tergagap Megan memperingatkan Arkana agar pergi dari ruang baca. Agar menjauh darinya. Karena dia baru menyadari.... Semua orang akan baik-baik saja jika tidak berada di dekatnya.

Hari-hari Megan diisi oleh kegelisahan yang tidak masuk akal. Bunyi pintu berderit bisa membuatnya membeku. Sentuhan angin di leher membuatnya berbalik panik. Dia bahkan mulai berbicara sendiri, mencoba menenangkan diri, namun suaranya terdengar seperti gema di ruangan yang terlalu luas.

Megan sudah tidak lagi menghitung hari. Baginya, waktu hanyalah siklus kelelahan dan ketakutan yang saling membelit. Bahkan saat Megan memejamkan mata sambil menutup telinga, bisikan Ziudith tetap menyelinap masuk.... datar, dingin, dan selalu sama...

"Aku di sini… kau tak akan pernah sendirian lagi, Megan…"

Keputusannya sudah bulat. Ini masih hari Kamis, weekend masih jauh menanti. Tapi Megan memutuskan untuk izin pulang ke rumahnya dengan alasan sakit.

Siapapun akan percaya dengan ucapan Megan, wajah pucat, mata sembab, lingkar mata menghitam, suara serak nyaris hilang, semua itu membuktikan jika Megan memang butuh waktu istirahat. Dan izin untuknya turun dengan mudah.

"Apa kau benar-benar akan pulang, Megan?" Tanya Arkana ketika mereka istirahat bersama di kantin sekolah, Kamis siang.

"Ya, Ar."

Arkana memandang wajah Megan. Memperhatikan mata gadis itu, hidungnya, pipi tirusnya, lalu berlabuh ke bibir tipis kecil yang selalu tampak pucat tanpa sapuan lipstik atau lip balm. Tidak seperti siswa Lavente lain yang selalu ingin unggul dan mencolok di antara yang lain, Megan justru selalu menutup diri. Mundur dari keramaian, menjauh dari sorot mata orang-orang yang menganggap dia berbeda dari yang lain.

Semenjak kematian beruntun dari staf pengajar sampai puluhan murid sekolah elite ini, Megan jadi merasa dibuka mata batinnya. Dia jadi bisa merasakan semua yang orang lain tidak bisa rasakan, seperti kehadiran makhluk tak kasat mata, atau suara-suara dari alam lain yang tentu bukan alam manusia. Dari sana Megan merasa depresi. Dia dianggap aneh dan berbeda karena sering berlari tanpa alasan di tengah keramaian, atau menjerit keras ketika sedang berada di dalam kelas. Semua itu jelas membuat Megan dianggap sakit jiwa oleh teman-temannya.

"Kau makin pendiam dan pemurung akhir-akhir ini. Apa kau tidak mau berbagi sedikit saja cerita padaku?" Tanya Arkana menopang dagunya dengan tangan kanan.

Ada perasaan tidak rela ketika mengetahui jika Megan akan pulang ke rumahnya lebih awal. Tapi di satu sisi dia berpikir jika mungkin itu adalah jalan terbaik untuk membuat Megan tenang. Berkumpul dengan keluarga adalah hal yang menyenangkan, kan?

"Tentu kau tahu alasannya, Ar.. Sebenarnya aku takut kau sering dekat denganku seperti ini. Kadang secara tiba-tiba, wajahmu bisa berubah menjadi sosok lain. Aku tahu itu mungkin hanya ilusi, halusinasi, atau sistem otakku sudah rusak sepenuhnya.. tidak bisa membedakan antara yang khayalan dan kenyataan. Tapi, tetap saja di sini.. di sini takut." Megan memegang dadanya.

Megan menatap ke arah langit-langit kantin sekolahnya. Tidak ingin air matanya jatuh. Memang tidak jatuh, tapi ketakutan langsung menyelimutinya.. Di atas sana, Dia melihat Samuel sedang berbaring lurus menatap Megan tajam. Bayangkan saja, sosok yang sudah meninggal itu seperti sedang tiduran tapi menempel di atap dengan sorot mata penuh kebencian.

"Apa kau sudah melupakan ku, Megan? Kenapa kau bisa berduaan dengan lelaki lain di saat aku sudah tidak ada? Apa kau sudah tidak mencintai ku lagi? Kalau begitu... Kau harus mati, Megan! Aku tidak rela kau bersama dengan orang lain. Ikutlah denganku."

Tanpa mulut terbuka, Samuel turun secepat kilat. Sedetik kemudian dia sudah berada di meja, tepat di hadapan Megan. Dia menjatuhkan diri sampai darah menggenang di sekitar meja. Megan menutup mulutnya ketakutan.

Samuel mengangkat kepalanya, dia mendongak.. Dengan wajah berdarah-darah Dia menatap Megan tanpa berpaling.

"Ada apa? Apa kau melihat sesuatu?? Jangan takut ada aku!" Arkana sigap memeluk Megan.

Tidak peduli ini sedang ada di kantin, tidak peduli tatapan orang-orang seperti meminta penjelasan, tidak peduli Megan berontak ingin pergi dari sana, tapi Arkana tidak gentar. Dia terus memeluk Megan erat. Sambil memberikan dadanya agar Megan menyembunyikan wajahnya di sana. Dengan lembut, Arkana membelai rambut Megan.

Megan terisak tanpa henti. Nafasnya memburu, matanya terpejam.

"Jangan lihat, apapun yang membuat mu takut sekarang ini… Jangan dilihat. Aku di sini, Megan. Tenanglah.. Ada aku." ucapnya pelan, suaranya bergetar tapi berusaha terdengar pasti.

Tangan Arkana berpindah. Kini mengusap pelan punggung Megan berulang-ulang, seperti mengusir dingin yang menempel di sana. Di sela deru napasnya, Arkana mulai bersenandung lirih.. melodi lembut yang pernah dia dengar di pemutar musik di gawainya, sebuah lagu yang selalu mengingatkannya pada janji untuk melindungi.

"Kau tak perlu takut… aku akan tetap di sini…

Bahkan jika langit runtuh, aku takkan pergi…

Tutup matamu… dan semua akan tenang…"

Suara itu nyaris seperti bisikan, tapi cukup untuk menembus hiruk pikuk ketakutan di kepala Megan. Tubuh Megan masih bergetar, namun genggamannya pada seragam Arkana semakin erat, seperti seorang anak yang ketakutan akan ditinggal pergi oleh orang yang paling dia sayangi.

Arkana tidak peduli jika semua orang menatap ke arahnya, memandangi mereka dengan wajah ingin tahu yang besar. Yang dia tahu hanyalah detik ini, ia harus menjadi jangkar Megan. Menjadi perisai untuk gadis malang itu. Serta harus menjadi alasan gadis itu tetap berada di dunia!

"Aku di sini…

Kau aman…

Kita akan bertahan…"

Nada-nada itu tenggelam bersama detak jantung Arkana yang Megan dengar di telinganya. Perlahan, isakan itu mereda, diganti oleh tarikan napas panjang yang gemetar. Perlahan Samuel memudar seperti kabut yang tertiup angin.

Megan baru berani menatap Arkana. Mata Megan masih merah, tapi dia mundur untuk memberi jarak agar tidak terlalu memicu banyak perhatian orang-orang sekitar. Namun bukankah itu telat dilakukan? Arkana dan Megan sukses mencuri atensi banyak orang saat ini.

"Aku takut.." ucap Megan lemah.

"Ada aku. Tidak udah takut lagi, hmm?" Jawab Arkana menyeka sisa air mata di pipi Megan.

"Justru karena ada dirimu, aku jadi lebih takut, Ar.." Megan mengatakan sambil menunduk.

"Hah? Kenapa? Apa wajahku seperti hantu?"

Megan menggeleng. "Aku takut terbiasa dengan sikap mu, dengan hadir mu, dengan perhatian mu.. aku takut tiba-tiba semua itu menghilang.. aku takut Ar.."

Senyum di wajah Arkana membuatnya semakin tampan. Dia memegang kedua pipi tirus Megan... "Aku tidak akan kemana-mana, Megan. Aku di sini untuk mu!" Ujar Arkana penuh kepedulian.

Kamis malam. Hujan sedari sore baru saja reda, menyisakan jalanan basah yang memantulkan cahaya lampu kuning di gerbang sekolah. Udara masih lembap, berbau tanah dan dedaunan yang meranggas di halaman. Suasana sekolah malam itu terasa asing, tidak ada suara murid, tidak ada langkah riuh, hanya desiran angin yang membuat daun bergerak bagai menari di cabang rantingnya.

Megan berdiri di bawah atap kecil dekat pos satpam, ransel tergantung di salah satu bahu. Matanya sesekali melirik ke arah mobil hitam yang terparkir di luar gerbang. Itu mobil milik orangtuanya yang ditugaskan untuk menjemput dirinya. mesin mobil sudah menyala, dan lampu depannya menembus tipis kabut sisa hujan. Di balik kemudi, supir keluarganya menunggu, wajahnya samar di balik kaca.

Arkana berdiri di hadapan Megan, tubuhnya tinggi tegap sedikit menunduk, kedua tangannya di saku celana. Lampu gerbang yang redup membuat bayangannya memanjang di atas paving yang licin.

"Megan… Apa kau yakin mau pulang sekarang?" suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh bisik angin yang melintas di sela gedung tua bernama Lavente.

Megan mengangguk, meski gerakan itu sedikit terlihat ragu.

"Aku… tidak kuat, Ar. Setiap malam di asrama aku merasa ada yang mengintip dari jendela. Di lorong aku dengar langkah kaki. Di kamar mandi, di kelas, di kantin.. di manapun! Mungkin jika aku berada di rumah… aku bisa sedikit beristirahat." Megan mengatakannya dengan senyuman.

Arkana menghela napas panjang. "Di sini aku bisa menjaga mu, Megan. Kalau pulang… aku tidak bisa…"

Arkana tak melanjutkan apapun yang ingin dia ucapkan. Kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokan, bersama rasa berat yang tidak sanggup dia jelaskan.

Megan menunduk, jemarinya menggenggam tali ransel. "Ar.. Aku ingin menjadi normal lagi..."

Normal? Kata itu terdengar asing di telinga Arkana. Dia tahu, ini bukan soal tempat tapi teror yang mengikuti Megan tidak terikat oleh dinding atau gerbang sekolah. Namun bagaimana bisa dia memaksa gadis itu tinggal jika setiap tatapan Megan seperti memohon untuk pergi?

'Aku punya firasat buruk,' batin Arkana, tapi tidak dia ucapkan. Lelaki itu lebih memilih mengunci mulutnya rapat-rapat.

Arkana melangkah maju, meraih tangan Megan, menggenggamnya erat. Jemarinya hangat, tapi genggamannya berat. Seolah ingin menahan seseorang yang berada di tepi jurang agar tidak melompat.

"Kalau ada apa-apa... sekecil apa pun... janji kau harus langsung menghubungi ku. Jangan tunggu, jangan bilang tidak sempat."

Megan tersenyum tipis. "Baiklah tuan posesif. Aku janji."

Sunyi merayap di antara mereka. Lampu mobil di luar gerbang berkedip sekali, tanda dari supir yang mulai tidak sabar. Arkana menarik Megan ke dalam pelukan. Pelukan itu lama, rapat, dan terasa seperti usaha terakhir untuk menahan dunia agar tidak merenggut Megan darinya.

"Megan…" bisik Arkana di telinganya, "…jangan pergi terlalu jauh dari aku."

Gadis itu menarik diri perlahan, menatap Arkana dengan senyum yang dipaksakan.

"Hei... Aku cuma pulang, Ar. Nggak ke mana-mana."

Langkah Megan berderap pelan di atas paving basah, menuju gerbang yang terbuka separuh. Arkana tetap berdiri di tempat, tatapannya mengikuti punggung Megan yang kian menjauh. Sebelum masuk ke dalam mobil, Megan berbalik. Dia tersenyum sambil melambaikan tangannya. Dan kemudian gadis itu masuk ke dalam mobil.

Namun, di kursi belakang mobil dalam keremangan lampu, Arkana dapat melihatnya.

Sosok pucat, duduk diam, kepala sedikit miring, matanya memandang lurus keluar jendela. Wajah yang Arkana kenal, karena sebelum berbalik ke depan.. sosok itu sempat ikut menatap ke arah Arkana. Tersenyum sambil ikut melambaikan tangan.

Ziudith!

Sekejap, Arkana berkedip dan kursi belakang tadi kembali kosong.

Mesin menderu, ban berdecit pelan di jalan licin. Mobil itu meluncur pergi, meninggalkan Arkana sendirian di bawah cahaya kuning gerbang sekolah, dengan bayangan wajah pucat itu masih melekat di pelupuk matanya.

1
🟢🌻ֆɦǟզʊɛɛռǟ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🌻
biarkan sja mereka mati megann siapa suruh gak percaya🙄🙄
🟢🌻ֆɦǟզʊɛɛռǟ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ🌻
dihhh jaga tuh mulut mu iti kl kamu tuh udah jadi target dr the book gak bakal.selamt lagi aliass koitt🤣🤣🤣
🍊 NUuyz Leonal
please lah Thor aku ko ya yg cape gini berasa aku yng di kejar kejar sama hantu nya
🍊 NUuyz Leonal
asli padahal aku takut tapi masih nekat aja baca😫😫😫
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
ish kalo Megan mati, selese donk ceritanya..
Kan Megan pemeran utamanya
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ ㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤ𒈒⃟ʟʙᴄ
itu si ziu kok minta di bunuh sekali lagi yaa😤😤iblis mana sih menyerupai ziu sampai segitunya sama megan🤦‍♀️🤦‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️
Huewir Ruek 𝐙⃝🦜
ihhhh ksian Ziudith
tadinya kami menyanjung dan mengasihaninya Krn nasib tragis yg menimpanya
tapi sekarang kami membencinya karena dendam yg membabi-buta
dikira jadi saksi kejahatan itu mudah apa?
dipikir kalo kita mengadukan ke pihak berwajib juga akan bisa 'menolong' sang korban sebagaimana mestinya?
disangka kalo kita jadi saksi gak akan kena beban moral dari sonosini?
huhhhh dasar iblissss, emang udh tabiatnya berbuat sesaddddd lagi menyesadkannn😤😤😤
𝐙⃝🦜尺o
apa ziu perlu mati lagi biar lenyap?
𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄 😏
thorrr oeiiii.. kok habis.. ga bisa skrol lagi ini😤😤😤😤
𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄𝐌𝐄𝐍𝐘𝐄 😏
untung ga ketemu ladhu... bisa berabe negonya🤣
Rita Ariani
kasian megan
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
itu mah bukan ziu tapi iblis yang menyerupai ziu😒😒yuk megan kamu bisa melawan rasa takut dalam dirimu 🙈🙈🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️🚶🏿‍♀️
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
sepertinya sia² Meg..
karna kmn pun kamu pergi, dia selalu mengikutimu
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
lagu siapa nih?
bae² kena royalti ntar🚴🏻‍♀️🚴🏻‍♀️🚴🏻‍♀️
𝑨𝒌𝒖 𝑴𝒂𝒚𝒂🎐ᵇᵃˢᵉ
Megan akan menjadi sasaran terakhir ziudith kah??
Megan tidak pernah jahat kepada ziudith,tapi kenapa Megan selalu di buru oleh Ziudith???!
𝐙⃝🦜尺o
deritamu dan nasib burukmu gak harus menyeret orang lain yang gak berhubungan denganmu ziu, meski Megan cuek tapi dia gak jahat sama kamu
💖⃟🌹Ʃеᷟʀͥᴎᷤᴀᷤ🌹💖👥
Ya ampun,Ziudith ini ngeselin amat sih. Situ yg dibully koq minta balas dendam kesemua orang. Aneh lho..
Apakah Megan bakal kecelakaan,smoga enggak ah.. Jangan sampe
maya ummu ihsan
aku harap kalian tidak kalah dari iblis yg menyerupai ziudith
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
benar² bisa gila klo setiap hari selalu dihantui kek gitu🤦🏻‍♀️
𝐇𝐁𝐃 𝐄𝐑𝐋🎉🎊
knp seperti buah simalakama?
mau diem, diteror terus.. mau nolong, ehh malah lebih horor lagi juga🤦🏻‍♀️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!