"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanya manusia kecil
Suasana di kamar itu sama, hening, henya tetes infus dan suara monitor yang menggema pelan. Hania duduk di sofa yang sama yang ia duduki setiap hari, membacakan paragraf novel romansa yang tak benar-benar ia pahami lagi. Matanya hanya sesekali menatap halaman. Selebihnya… ia menatap wajah Brivan. Pria yang tertidur paksa.
Hampir sebulan bersama, menghabisakan waktu diruang hening yang sama. Hania tahu, dia dan Brivan hanya sebatas perawat dan pasien. Meski ada nyawa yang tumbuh dalam diri Hania. Meski keduanya terikat pernikahan, tetap saja ada batas jelas yang terbentang.
Kasihan? Tidak tega? Atau apa? Hania tidak begitu jelas. Tapi ada sesutu yang ia rasakan untuk Brivan. Dia tidak ingin laki-laki ini terluka lebih dalam lagi, mungkin Hani tidak pantas. Lebih tepatnya tidak boleh. Tapi soal rasa? Siapa yang bisa mengaturnya. Dia punya hak untuk rasa pada siapapun. Namun, kita juga harus memakai logika untuk mengendalikan rasa itu.
Pelan, Hania menutup buku yang ia baca. Tangannya terulur mengusap surai hitam legam yang kini sudah mecapai bahu. Mata Hania terkunci pada paras tampan yang terlelap paksa. Seulas senyum tipis, samar tersungging di bibir mungil wanita berusia 24 tahun itu.
"Kita ..." Hania terkekeh pelan, penuh getir kala sadar apa yang ia ucapkan tak pantas untuk dia dan Brivan.
"Maksud saya, aku dan kamu ... Punya hubungan yang unik. Yang tidak semua orang punya, aku tidak tahu harus memanggilmu apa. Suami? Ayah dari anakku ... atau Tuan ....."
Hania menghela nafas dalam, berat. Tubuhnya semakin condong ke depan, mendekat pada sang pangeran hati.
"Aku akan membantumu sebisaku ..kau harus membuka matamu..."
Rasa sesak tiba-tiba menyusup, memenuhi dada Hania. Segala ketidak pastian yang akan terjadi saat Brivan membuka mata. Bagaiman dengan Hania nanti? Brivan pasti bahagia bisa bersama lagi dengan istrinya, lalu dia? Bagaimana?
Hania menunduk, mengusap air mata yang jatuh tanpa permisi. Bodoh, untuk apa ditanya lagi. Dari awal tidak ada tempat untuk Hania di sini. Dia hanya singgah sebagai wadah, dan akan pergi membawa kehancuran hati saat tugasnya sudah selesai.
"Jangan khawatir .. aku tak apa. Aku akan tetap membantumu, jangan takut ada aku," bisiknya dengan usapan lembut di pipi Brivan
Pintu terbuka. Hania menegakkan tubuhnya, menoleh cepat.
Suster Fira masuk dengan langkah tenang dan peralatan di tangan.
Seperti ritual yang nyaris menjadi semacam ibadah di mansion ini. Hania sedikit bergeser memberi wanita berseragam putih itu ruang.
Tanpa banyak bicara, Suster Fira membuka kotak dan mengambil ampul kecil berisi cairan biru pucat—penjara dalam bentuk suntikan.
Namun sebelum jarum itu menyentuh selang infus, suara Hania terdengar.
“Jangan …”
Fira berhenti. Alisnya naik. “Apa?”
“Tolong… jangan berikan obat itu dulu. Setidaknya hari ini saja. Kumohon, Suster.” Hania menahan tangan Suster Fira, menatap penuh harap.
Fira menghela napas. Tangannya tetap menggenggam suntikan, tapi kini ia menatap Hania.
“Hania. Jangan mulai.” Suster Fira berusaha melepaskan tanga Hania yang menahannya.
“Aku serius,” suara Hania gemetar, tapi matanya tajam.
“Kita tahu itu bukan obat ..... Itu bius. Dan kamu tahu… dia sebenarnya bisa bangun.”
Fira mencengkeram jarum suntik lebih kuat.
“Kau tidak tahu apa yang kau katakan,” sahutnya dingin.
Hania menggeleng.
“Aku tahu! Aku tahu… aku lihat sendiri! Hari itu, dia bergerak, dia—”
“Dan lihat apa yang terjadi setelahnya, Hania!” potong Fira tajam.
“Dokter Mario hampir membunuhmu dengan tatapannya. Kau pikir apa yang akan dia lakukan kalau tahu kita bersekongkol?”
“Kita tidak melakukan hal buruk… kita hanya mencoba menyelamatkan nyawa, Suster!”
“Ini bukan tentang benar atau salah, Hania.” Fira menggertakkan giginya, suaranya menurun tapi semakin getir.
“Ini tentang bertahan hidup. Kau pikir aku tidak ingin membantumu? Tapi jika aku melawan, bukan hanya aku yang hancur.” Fira mengibaskan tangannya menghempaskan tangan Hania dengan sedikit kasar.
Hania mengigit bibirnya. Matanya memerah manahan diri untuk tidak berteriak. Kenapa Fira susah sekai diajak kerja sama. Selain Fira, Hania tidak tahu lagi harus minta tolong pada siapa dan bagaimana. Yang Hania tahu, dia harus menghentikan obat itu masuk ke tubuh Brivan. Sama seperti waktu itu, saat Hania lupa menyuntik Brivan.
“Aku juga tidak punya siapa-siapa. Tapi aku tidak bisa diam saja! Brivan manusia, bukan boneka percobaan. Kalau kita diam, kita sama saja menyiksanya…” Suara Hania lirih hampir putus asa.
“Aku sudah diam cukup lama, dan itu membuatku tetap hidup!” bentak Fira lirih, air mata hampir jatuh tapi dia cepat menegakkan dagu.
Hening. Tapi bukan hening yang tenang. Ini hening yang menggertak, seperti badai yang belum meledak, tapi sudah terasa tekanan udaranya.
Hania dan Fira saling menatap, seperti dua kutub berbeda dari hati yang sama lelahnya. Tapi berbeda jalan.
“Lalu sampai kapan kita membiarkan orang baik diracuni dan dikurung di dalam tubuhnya sendiri?! Sampai semuanya terlambat?” Hania gemetar. “Fira… tolong. Kumohon…”
Suasana kamar menegang.
Brivan masih tertidur. Tapi seolah bisa merasakan desakan yang berputar di sekelilingnya.
Fira menunduk. Matanya berkaca, tapi tetap keras.
“Aku tidak bisa. Maaf.”
Jarum suntik menyatu ke infus. Cairan biru mengalir perlahan.
“Kau bilang ingin menolong? Lakukan itu tanpa menyeretku. Jika kau nekat… pastikan kau siap menanggung semuanya sendiri.”
Hania membeku.
Air matanya jatuh, diam-diam.
Fira merapikan alatnya. Menghela napas terakhir sebelum berbalik. Tapi sebelum meninggalkan ruangan, ia berbisik:
“Aku bukan pengecut, Hania. Tapi aku bukan pahlawan. Kita hanya… manusia kecil di dalam istana raksasa ini.”
Pintu tertutup perlahan.
Hania terduduk lemas di sisi ranjang Brivan.
Menggenggam tangan yang makin hari makin dingin itu. Dan dalam hatinya, ia bersumpah… jika tak ada yang mau jadi penyelamat, maka ia sendiri yang akan menjadi suara kecil—yang akan terus bersuara sampai langit paling tinggi mendengarnya.
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya