“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam: 03
Hardi gamang, berhenti melangkah dan berbalik badan, jelas rautnya kebingungan antara ingin tetap menyembunyikan dan membeberkan, tapi dia menguatkan hati serta tekad demi istri dan calon buah hatinya.
“Tak masalah, dihajar babak belur pun saya terima, mau dibuang dari kartu keluarga juga tak mengapa, asal Sawitri kembali kerumah.”
Jawaban yakin itu menambah semangat orang tua Sawitri, mereka terharu sampai Bu Mina meneteskan air mata.
“Nak, terima kasih telah sudi mencintai Sawitri dengan tulus.” Bu Mina mendekati sang menantu, menepuk pundaknya.
Mata Hardi berkaca-kaca, ia menggenggam tangan ibu mertuanya. “Saya yang semestinya mengucapkan terima kasih Buk, kalian telah mengijinkan saya mempersunting wanita cantik paras serta hatinya.”
“Ayo!” sela pak Kasman setelah menutup pintu rumah.
Bersama mereka melangkah beriringan melewati jalan tak diaspal dan sebagian berkerikil, setengah jam kemudian sudah terlihat atap rumah seng milik juragan Bahri. Hunian paling mewah di kampung Tani.
Bu Mina menarik ujung kemeja lusuh suaminya, mereka jalan di belakang Hardi.
“Niat kita baik Buk, jangan takut selagi tak berbuat salah,” pak Kasman menenangkan istrinya.
“Bapak dan Ibuk tunggu sebentar di sini ya, saya panggil Ayah dulu.” Hardi mempersilahkan kedua mertuanya untuk duduk di kursi kayu teras rumah, lalu dia masuk ke dalam.
Namun, bu Mina dan pak Kasman tahu diri. Mereka duduk di lantai dengan kaki menjejak tanah.
“Eh eh … ada apa ini? Mengapa kalian pagi-pagi sekali sudah berkunjung? Mau minta jatah sembako kah?” sarkas sosok paruh baya yang terlihat masih muda, berpakaian bagus dengan emas berukuran besar menghiasi leher dan tangan.
Bu Mina menunduk, menjawab lirih. “Itu tak benar Nyonya. Kami datang karena ada perlu, ingin meminta pertolongan.”
Nyonya Samini ibunya Hardi, menatap tak suka sembari menelisik tajam penampilan lusuh wanita sebayanya yang mengenakan baju kaos berbahan kasar, dan kain jarik melilit bagian bawah, lalu menoleh ke si pria tua berkemeja berkancing tanggal, celana selutut terdapat robekan kecil.
“Kalian kira rumah kami tempat penanggulangan bencana apa? Minta tolong itu ke aparat ataupun perangkat desa, bukannya disini!” sindirnya sinis, seraya duduk angkuh di bangku.
“Bu, tolong jangan seperti itu ucapannya, mereka kesini bukan mau ngemis, tapi datang dengan cara terhormat,” tegur Hardi lembut, ia berdiri di samping ibunya.
“Halla … ujung-ujungnya minta bantuan gratis,” sungut nyonya Samini.
“Ehem … apa tak kurang pagi kalian sampai sini? Matahari saja belum terbit, kalian sudah berharap pertolongan dengan berpenampilan bak gembel.” Sosok tinggi, perut melar, kumis tebal, dan wajah sangar itu keluar dari dalam rumah, duduk disebelah istrinya.
Pak Kasman dan bu Mina menghela napas, kalau saja bukan hal penting, tidak akan mau mereka berkunjung.
Kedua orang tua Hardi memang terkenal sombong, semena-mena, sering sesuka hati memotong upah para pekerja.
“Cepat katakan apa mau nya! Saya tak ada waktu mengurusi hal remeh dari kaum rakyat jelata macam kalian!” titahnya merendahkan.
Pak Kasman merubah posisi duduknya menjadi menghadap sang besan. “Kami ingin memohon pertolongan, Juragan. Dari kemarin pagi putri saya tak pulang, sudah dicari sampai desa sebelah, tapi keberadaannya tidak ada yang mengetahui. Kiranya juragan berbaik hati, mau membantu menurunkan para kroco untuk mencari Sawitri.”
“Palingan anakmu itu minggat bersama laki-laki, lantaran sudah bosan hidup melarat,” sela nyonya Samini.
“Bu!” Hardi memegang pundak ibunya.
“Kau itu jadi orang janganlah terlalu baik ataupun lembek, nanti mereka ngelunjak! Bukan menghargai tapi menginjak!” bentak nyonya Samini, menepis tangan putranya.
Juragan Bahri menatap muak dua orang yang duduk berlutut, terbentang jarak empat langkah dari tempatnya duduk.
“Apa yang bisa kalian tukar sebagai imbalan?”
Pak Kasman bingung, dia tak memiliki barang berharga, selain anting emas setengah gram yang dikenakan istrinya.
Kala tak mendapati jawaban, ia menawarkan kesepakatan. “Berikan Ayam jago mu! Maka saat ini juga anak buah ku bergerak mencari putrimu.”
Netra pak Kasman membulat sempurna, ayam kesayangannya yang sudah lebih dari 5 kali menjadi juara saat di sabung diminta sebagai alat tukar.
“Apa tak ada pilihan lain, Juragan? Saya rela bekerja tak diupah,” tawarnya mencoba keberuntungan.
Juragan Bahri mendengus menatap mengejek. “Siapa pula yang ingin mempekerjakan orang tua berpenyakitan macam kau ini, baru berjalan beberapa meter sudah ngos-ngosan, tubuh ringkih, pandangan kabur, sama sekali tak berguna. Ya … atau tidak?!”
Demi putri kesayangannya, ia rela melepaskan hewan peliharaan yang sudah dirawat sedari piyik. “Baik, juragan.”
“Yah, tolong jangan terlalu kejam! Ayam jago itu termasuk sumber penghasilan keluarga pak Kasman. Bila Ayah ambil, lalu bagaimana mereka bertahan hidup?” Hardi menatap memelas ayahnya.
"Bela terus mertuamu itu Hardi! Rupanya kau sudah siap Ayah depak dari kartu keluarga dan rumah ini. Sudah untung, tak ku hajar kau dan mereka!” Tunjuknya tepat pada kedua orang tua Sawitri.
“Bernyali sekali kalian ingin menipu seorang Bahri, bermain api, sudah siapkah terbakar nyala nya?”
Hardi sangat terkejut, wajahnya pias, ia bergegas bersimpuh, mencium kaki ayahnya. “Maafkan saya, Yah. Saya mencintai Sawitri.”
“Omong kosong! Cinta mu itu tak pakai otak, harusnya kau gunakan logika, mereka begitu melarat, tak berpendidikan dan hanyalah buruh kasar. Sementara kau … Ibuk kuliahkan sampai menjadi seorang sarjana terhormat. Begitu wanita miskin itu ditemukan, segera kau ceraikan!” Nyonya Samini begitu murka, ia berdiri dan menuding putra semata wayangnya.
Hardi menggeleng, ia beralih memegang kaki ibunya, memohon agar jangan dipaksa menceraikan Sawitri.
Juragan Bahri berdiri, bersuara lantang memanggil ketiga orang kepercayaannya. “Herman! Gandi! Pendi!”
“Siap Juragan!”
Muncul lah ketiga sosok sebaya, yang salah satu diantara mereka berjalan pincang, satunya lagi berwajah cacat.
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....