Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Kenikmatan"
Keesokan harinya adalah hari libur, sehingga mereka semua menghabiskan waktu di rumah dengan aktivitas masing-masing. Saat makan siang berlangsung santai, Amara tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuat Luna terkejut.
“Ma, aku mau adik,” kata Amara spontan.
Luna tersedak kecil, membuat Nathan refleks meraihkan segelas air padanya.
“Pelan-pelan,” ucap Nathan cemas.
“Kamu tiba-tiba ingin punya adik?” tanya Nathan kemudian, tersenyum lembut pada putrinya.
Amara mengangguk dengan wajah polos. “Aku ingin punya adik supaya ada teman bermain. Aku bosan sendirian.”
Luna menatap Nathan sejenak. Mereka saling bertukar pandangan sebelum kembali menatap Amara.
“Kamu yakin? Punya adik itu artinya harus berbagi perhatian, lho,” ujar Luna lembut.
“Iya! Aku siap, Ma,” jawab Amara antusias. “Ayo buatkan adik sekarang!”
Nathan tertawa kecil, bahunya sedikit bergetar. “Sabar, sayang. Tidak sesederhana itu.”
Ia menyenggol lengan Luna pelan, menggoda. Luna melirik tajam lalu mencubit lengannya dengan kesal.
Amara menatap mereka bergantian, semakin penasaran. “Memangnya bagaimana caranya?”
Nathan berdehem kecil. “Itu rahasia orang dewasa. Nanti kamu akan mengerti sendiri.”
“Yang penting,” lanjut Luna cepat, “sekarang kamu harus makan yang banyak dan tidur lebih cepat.”
Nathan mengangguk setuju. “Benar. Anak baik itu tidurnya tidak larut.”
Amara mengangguk puas. “Baik! Kalau begitu aku mau punya adik secepatnya.”
Malam itu, setelah Amara tertidur lelap di kamarnya, rumah terasa lebih sunyi. Lampu-lampu diredupkan, dan hanya cahaya temaram yang tersisa di ruang keluarga.
Luna berdiri di dekat jendela, menatap ke luar, pikirannya masih dipenuhi ucapan polos putrinya siang tadi. Nathan mendekat perlahan, berdiri di sampingnya.
“Dia tumbuh terlalu cepat,” ujar Luna pelan.
Nathan tersenyum, meraih tangan Luna dengan lembut. “Dan dia bahagia. Itu yang penting.”
Luna menoleh, bertemu tatap dengan Nathan. Ada kehangatan di sana—tenang, dewasa, dan penuh rasa saling memahami. Malam itu, tanpa perlu banyak kata, mereka membiarkan kebersamaan berbicara dengan caranya sendiri.
Di luar, angin malam berembus pelan, membawa ketenangan yang menyelimuti rumah kecil mereka.
Nathan memeluk Luna dari belakang tangannya mengusap lembut sisi tubuh Luna, mengecup lembut leher Luna.
"Kamu siap sayang?". Kata Nathan lembut namun penuh makna.
Luna berbalik menghadap Nathan, pipinya sudah merona. "Pelan-pelan ya...". Nathan tersenyum. "Aku akan melakukannya perlahan sayangku".
Nathan membimbing Luna keranjang, membaringkannya secara lembut dan hormat. Tatapan Nathan berhenti sebentar untuk mengamati wanita nya itu.
Lalu perlahan bibir mereka mulai menyatu dengan lembut, rasa manis, hangat dan lembut itu membuat hasrat semakin kuat.
Nathan dengan perlahan melepaskan pakaian Luna, membuka secara bertahap dan melemparnya kelantai. "Kamu cantik sayang".
Nathan mengusap sisi tubuh telanjang Luna, dan dengan gerakan cepat membuka bra Luna.
Malam yang begitu indah, suasana diluar sedikit dingin karena hujan turun menambah kenikmatan bagi mereka.
"Aku akan lakukan sekarang, kamu siapa?". Ucap Nathan yang sudah diposisi.
Luna mengangguk, mencengkram erat sprei. meskipun ini bukan pertama kalinya dengan Nathan namun rasanya masih tegang dan bersemangat.
Nathan mencengkram pinggul Luna, mendorong masuk ke dalam. "Hm...ah.. enak sayang?".
Luna mendongak nikmat. "aahh.....ya..terus".
Satu kalimat itu membuat Nathan semakin dekat dan didorong.
Nathan mulai mendorong lebih dalam. "aahh...uh.. nikmat sekali, sayang..ayo sayang". Nathan mulai bergerak dengan kecepatan yang selaras.
Luna mencengkram punggung Nathan. "Aahh... sayang..aahhh...aahhh...lagi..lagi".
Mereka berdua mencapai puncaknya. Sedikit lagi mereka melakukan pelepasan. Tiba-tiba...
"Papa! mama!". Pintu kamar diketuk dari luar, suara Amara membuyarkan kenikmatan Luna dan Nathan.
Luna tersengal-sengal. "Sayang... berhenti, ada Amara...ah".
Nafas Nathan juga tersengal-sengal. "ah... nanggung sayang...ga enak banget.. sedikit lagi..".
"Papa!! mama! aku ingin masuk!". Amara mengetuk lebih keras.
Luna yang masih diatas kenikmatan sebisa mungkin bersikap normal dan berbicara. "Amara... sebentar".
Nathan semakin mempercepat gerakan. "Sayang.. kumohon sedikit lagi....ayo...aaahh...ahh".
Dengan sisa tenaga terakhir Nathan melepaskan semuanya. "aku datang... sayang.. sayang terima aku...aahh...aahhhh!".
Setelah itu mereka berdua ambruk bersama, nafasnya masih tersengal-sengal, keringat masih bercucuran. "Terimakasih sayang ku..". Nathan mengecup kening Luna.
Amara yang diluar cemberut. "Papa!!!!". teriaknya
Nathan menghela nafas. "Selalu waktu yang tidak tepat". Nathan turun dari ranjang dan memakai celana pendeknya. lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh Luna yang telanjang. "Sebentar sayang".
Nathan membuka pintu, dan gadis kecil berdiri didepan pintu dengan boneka beruangnya. "Kenapa lama sekali!". kata Amara cemberut.
Nathan tertawa kecil. "Papa dan mama sedang sibuk, maaf. Ada apa sayang?".
"Amara mau tidur disini". cemberut
Nathan berjongkok agar sejajar dengan Amara. "Kenapa tiba-tiba?".
"Pokoknya aku mau tidur dengan mama". Amara menyerobot masuk kedalam kamar dan naik keranjang. Luna langsung mencengkram selimut nya agar tak melorot.
"Mama..". Memeluk Luna.
Luna mendekap putrinya. "Ada apa sayang? Kamu mimpi buruk?". Amara mengangguk kecil
Nathan yang melihat itu merasa hangat lalu menutup pintu dan ikut berbaring bersama.
Dan malam itu diakhiri dengan kehangatan bersama.