Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : WILLIAM LUTHELIA' UNDERSTANDING OF MYSELF
Suatu hari di ibu kota kerajaan, sebuah kota yang diselimuti suasana fantasi abad pertengahan dengan benteng batu yang menjulang tinggi dan jalanan berbatu yang ramai.
William Lutelia berjalan sendiri di antara hiruk pikuk pasar, siluetnya yang terbalut jubah biru tua dengan aksen emas tampak kontras dengan kerumunan. Kacamatanya yang berbingkai tipis dan sorot matanya yang intens, lebih sering diarahkan ke buku catatan yang ia pegang daripada ke sekitarnya. Meskipun secara fisik berada di tengah keramaian, ia terasa terisolasi, sebuah benteng pengetahuan yang berjalan di dunia yang lebih menghargai kekuatan pedang daripada ketajaman logika.
William, yang berasal dari salah satu keluarga paling berpengaruh di Niflheim, membawa beban nama besar yang harus ia sembunyikan. Sikapnya yang tenang dan agak canggung dalam interaksi sosial adalah cerminan dari masa kecilnya yang dilindungi dan terbiasa dengan kemewahan perpustakaan keluarga daripada medan pelatihan. Ia merasa dirinya adalah sebuah anomali-seorang cendekiawan dalam balutan baju zirah, yang nyaris tidak pernah diuji dalam pertempuran nyata.
Ia berhenti di tepi alun-alun, menghela napas, ketika tiba-tiba langkah kakinya terhalang oleh dua sosok yang mendekat. Mereka adalah dua teman yang secara tak terduga berhasil menembus dinding pertahanannya, mengajarkannya bahasa dunia luar: Hatsuaki dan R.I. Mereka berdua jauh lebih matang, baik dalam usia maupun pengalaman hidup, sehingga bagi William, mereka lebih terasa seperti kakak yang mengawasi.
Sosok pertama, yang memiliki aura tenang namun berbahaya, menepuk bahu William dengan keakraban yang hangat.
"Tumben, sendirian, William?" tanya sosok yang lebih tua, suaranya dalam dan berwibawa. "Kami pikir kau tersesat di antara barisan buku mantra di kedai itu."
William menutup buku catatannya. Senyum kecil terukir di wajahnya. "Salam, Kak. Saya hanya sedang mengamati pola pergerakan logistik pasar hari ini. Menarik sekali melihat bagaimana efisiensi distribusi barang, terlepas dari-"
Sosok kedua, yang lebih energik dan memiliki senyum tipis, menyela dengan nada sedikit menggoda. "Cukup dengan logistiknya, Adik. Kami tahu otakmu penuh dengan peta dan statistik. Tapi dunia ini bukan hanya tentang angka. Hari ini, kau harus ikut kami."
William menyesuaikan letak kacamatanya. "Ke mana? Saya memiliki jadwal riset yang cukup ketat hari ini. Ada teori tentang arsitektur kuno Niflheim yang harus saya verifikasi."
"Teori itu bisa menunggu," kata sosok pertama, matanya menyiratkan keseriusan di balik keakraban. "Dua hari lalu kau hampir tersandung oleh sekumpulan prajurit saat mencoba membaca peta di tengah jalan. Kami perlu memastikan setidaknya kau tidak menjadi korban pertempuran ringan karena kelalaianmu. Kami akan memberimu 'pelajaran lapangan' hari ini."
William menegakkan posturnya, menyadari implikasi dari 'pelajaran lapangan' yang selalu mereka berikan-latihan fisik yang melelahkan yang selalu berakhir dengan rasa pegal di seluruh tubuhnya.
"Saya menghargai niat baik kalian, sungguh," jawab William dengan sopan, mencoba mempertahankan nada formalnya. "Tetapi, fisik saya... Anda tahu betul bahwa keunggulan saya bukan terletak pada pertempuran langsung."
Sosok kedua tertawa kecil. "Kami tahu, kami tahu. Kau ini keajaiban alam, William. Seorang cendekiawan yang cerdas, yang nyaris tidak memiliki pengalaman dalam pertempuran. Persis seperti yang kami butuhkan untuk menyeimbangkan kegilaan di dunia luar."
Sosok pertama menimpali, meletakkan tangan besar di bahu William. "Jangan khawatir. Kami tidak akan memintamu mengangkat pedang besi. Kami hanya akan memastikan pemuda Lutelia yang berharga ini dapat mengenali bahaya sebelum ia terseret ke dalamnya. Dan, ya, sekali-sekali kau perlu melihat dunia dari perspektif selain gulungan perkamen."
Mendengar sebutan 'Lutelia', William mengangguk pelan, sebuah pengakuan diam-diam atas rahasia yang hanya diketahui oleh dua orang di hadapannya.
"Baiklah," kata William akhirnya, menutup bukunya dan mengikatnya ke sabuk. Ia menatap jubah birunya, lencana emasnya berkilauan. "Tunjukkan pada saya 'perspektif dunia' yang berbeda itu. Tapi tolong, jangan sampai kita terlambat untuk makan malam. Saya sudah menjadwalkan pembacaan ulang untuk sebuah manuskrip kuno sebelum istirahat malam."
Kedua temannya saling pandang, lalu tersenyum lebar. William tahu, ia mungkin tidak akan pernah menjadi seorang ksatria yang gagah berani seperti yang mereka inginkan, namun ia bersyukur. Di tengah kesendiriannya sebagai seorang kutu buku yang kaya raya, dua sosok dewasa ini adalah satu-satunya jembatan antara dirinya dan dunia nyata, menjadi mentor serta sahabat, dan yang terpenting, pelindungnya. Mereka adalah keluarga pilihannya dalam dunia yang berbahaya.
Sesuai dengan janji kedua temannya, perjalanan "pelajaran lapangan" itu tidak melibatkan medan pertempuran berdarah. Sebaliknya, mereka membawa William menyusuri pinggiran Kota Tua, tempat tembok-tembok kusam menjulang dan aroma rempah-rempah bercampur dengan udara lembab dari sungai terdekat. William, meskipun berasal dari keluarga terpandang di Niflheim, jarang mengunjungi wilayah ini.
Sosok yang berwibawa berjalan di sisi kanan William, sementara sosok yang lebih energik berjalan di sisi kirinya, seolah menjadi penjaga tak terlihat.
"Di sini, William," ujar sosok yang lebih energik, menunjuk ke sebuah bengkel pandai besi yang berantakan. "Apa yang kaulihat?"
William menyesuaikan kacamatanya, mengamati pria paruh baya yang sibuk memukulkan palu ke besi yang membara. Keringat membasahi dahi sang pandai besi, otot-ototnya menegang dalam setiap ayunan.
"Saya melihat aplikasi prinsip kerja tempa yang luar biasa," jawab William dengan nada analitis. "Efisiensi energi panas dan kinetik untuk membentuk logam. Tinjauan teoretisnya menunjukkan bahwa frekuensi ayunan palu dan titik kontak mampu menghasilkan tegangan permukaan yang ideal untuk durabilitas-"
"Berhenti di sana, Cendekiawan," potong sosok yang berwibawa dengan senyum tipis. "Coba ganti sudut pandangmu. Jangan lihat prosesnya, tapi rasakan bebannya."
Mereka berdiri di sana selama beberapa saat. Hanya suara denting palu yang memecah keheningan. William memejamkan mata, mencoba menyerap atmosfer. Ia membayangkan dirinya berada di posisi pandai besi itu, tubuhnya yang terbiasa membalik halaman buku dipaksa menahan panas dan tenaga.
"Saya tidak merasakannya," aku William dengan jujur, membuka matanya. "Saya hanya dapat menganalisisnya secara statistik. Intensitas panas, tekanan atmosfer, berat palu... Tapi saya tidak memiliki data sensorik untuk membandingkannya dengan daya tahan fisik pribadi."
Sosok yang lebih energik bersandar di dinding batu di dekat mereka. "Itulah intinya. Kau adalah lautan pengetahuan, William, dan kami sangat menghargainya. Otakmu adalah senjata yang tak ternilai harganya bagi kami semua. Tetapi, dunia ini akan menuntut lebih dari sekadar pemahaman teoretis tentang daya tahan."
"Saya tahu kesenjangan itu," ujar William pelan, membenarkan kerah kemejanya yang tersemat lencana salib kecil. "Saya tumbuh di antara buku. Sementara kalian harus mempelajari dunia dengan tangan dan kaki."
Sosok yang berwibawa menoleh, tatapannya lembut. "Kesenjangan itu ada, dan tak ada yang menuntutmu untuk menutupinya sepenuhnya. Kau tak perlu menjadi prajurit. Kau tak perlu memanggul pedang berat."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kami hanya ingin kau mengerti satu hal: kekuatan tidak selalu tentang tinju atau mantra terkuat. Kadang-kadang, kekuatan adalah kemampuan untuk mengakui di mana letak kelemahanmu, dan memilih siapa yang akan kau izinkan untuk melindungimu."
William terdiam, mencerna kalimat itu. Ia teringat akan garis keturunannya, pengaruh keluarganya yang tersembunyi, dan mengapa ia mempercayakan rahasia itu hanya kepada dua orang di sisinya. Itu bukan semata karena keakraban, melainkan karena ia menyadari batasan dirinya.
"Jadi," William memulai, nadanya lebih serius dari biasanya. "Pemahaman diri adalah bentuk ketangguhan yang lain?"
"Tepat sekali, Adikku," jawab sosok yang lebih energik, tatapannya menyiratkan rasa hormat. "Kutubuku yang jujur pada dirinya sendiri lebih kuat daripada seribu prajurit yang menyangkal ketakutan mereka."
Sosok yang berwibawa mengangguk setuju. "Keturunanmu, latar belakangmu yang dilindungi-itu adalah bagian tak terpisahkan dari dirimu. Kau adalah William Lutelia, dan kami tahu betapa besarnya potensi garis keturunan itu. Mengetahui bahwa kau tidak perlu bertarung, dan memilih untuk belajar, itu adalah kebijaksanaan."
William menundukkan pandangannya. Ia teringat akan sosok Ikaeda, gelar "Death Prince" yang disandangnya, dan potensi kekuatannya yang tak terukur. Ia, William, dengan segala kecerdasannya, memilih untuk mengagumi kekuatan itu dari jarak yang aman dan hormat, tidak pernah berniat untuk menyainginya.
"Saya mengerti," bisik William. "Tujuan 'pelajaran lapangan' ini bukan untuk membuat saya tangguh secara fisik, melainkan untuk menegaskan bahwa saya harus menerima dan mengandalkan ketangguhan kalian."
Sosok yang berwibawa mengulurkan tangan. "Kami adalah perisaimu, William. Dan kau, dengan akalmu, adalah peta kami menuju masa depan."
William menyambut uluran tangan itu, merasakan kehangatan dan kekuatan yang sesungguhnya ia dambakan. Di tengah dunia fantasi yang menuntut pertumpahan darah, ia menemukan kekuatannya sendiri: bukan pada keberaniannya mengangkat senjata, melainkan pada kejujurannya menerima keterbatasan dan loyalitasnya pada dua sosok yang ia sebut kakak.
Tembok Kota Tua perlahan memudar di belakang mereka. Ketiganya kini berjalan di atas bukit yang menjorok, menghadap ke panorama ibu kota yang mulai diselimuti cahaya keemasan menjelang senja. William, dengan jubah dan kacamatanya, tampak seperti pengamat ulung dari atas panggung dunia.
Sosok yang lebih energik mengambil napas panjang, menikmati semilir angin. "Bagaimana? Apakah ini lebih baik daripada tumpukan buku tua?"
William tersenyum, senyum yang kali ini lebih tulus dan lepas dari biasanya. Ia mengeluarkan buku catatan kecilnya, tetapi alih-alih mencatat, ia hanya memegang sampulnya.
"Pemandangan dari sini sangat... deskriptif," kata William. "Saya menyadari bahwa pengetahuan yang dikumpulkan dari buku hanyalah dua dimensi. Ia hanya memberikan definisi. Tetapi pengalaman bersama kalian memberikan kedalaman, dimensi ketiga, yang mengajarkan saya tentang aplikasi dan dampaknya."
Sosok yang berwibawa menunjuk ke arah istana kerajaan di kejauhan, sebuah struktur yang megah dan mencolok di pusat kota. "Di antara tumpukan buku dan perangkat canggihmu, apakah kau pernah berpikir untuk memimpin, William? Dengan latar belakang keluargamu, kau memiliki hak untuk menuntut peran yang jauh lebih besar."
William menoleh, tatapannya tenang, namun ada ketegasan yang jarang terlihat.
"Tujuan saya bukanlah untuk memimpin, Kak," jawab William pelan. "Keluarga saya memang memiliki pengaruh besar di Niflheim, sebuah fakta yang saya rahasiakan. Dan potensi itu adalah pedang bermata dua. Ia datang dengan tanggung jawab dan konflik yang tak terhindarkan."
Ia menghela napas, gestur kelelahan seorang pemikir. "Saya tidak diciptakan untuk konflik. Kecenderungan saya adalah pada pemahaman, pada memecahkan masalah tanpa perlu menumpahkan darah. Untuk berada di balik layar, menggerakkan roda tanpa harus terlihat. Dengan kata lain, saya memahami garis keturunan saya, dan justru karena pemahaman itu, saya tahu jalan saya tidak ada di sana."
Sosok yang lebih energik menyeringai penuh penghargaan. "Kau selalu tahu cara merangkai kalimat paling rumit dengan makna yang paling dalam."
"Sebuah pengakuan yang bijaksana," kata sosok yang berwibawa. "Banyak orang besar yang menyangkal kelemahan mereka dan akhirnya hancur. Kau, sebaliknya, memeluk kelemahan fisikmu dan menjadikannya kekuatan dengan menarik orang-orang yang dapat melengkapimu."
William menoleh ke arah kedua temannya, rasa terima kasih tampak jelas di matanya. "Hanya kalian berdua yang tahu siapa saya sesungguhnya. Dan saya tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan yang kalian berikan kepada saya untuk melindungi rahasia itu."
"Kau tidak akan ke mana-mana tanpaku, Adik," canda sosok yang lebih energik. "Siapa lagi yang akan membelikanku kopi paling langka dari pedagang selatan?"
Sosok yang berwibawa tersenyum dan meletakkan tangannya sekali lagi di bahu William, kali ini sebagai penutup. "Pergilah. Pergilah dan jadilah dirimu sendiri. Jadilah pemikir kami. Teruslah tumbuh dalam akal dan pengetahuan. Kami akan memastikan agar buku-buku dan duniamu aman dari segala jenis bahaya."
"Terima kasih," kata William, membenarkan letak kacamatanya untuk terakhir kalinya. Ia memandang ke kota di bawahnya, tempat pengetahuan dan kekuatan bersatu dalam takdir yang rumit. Ia, William Lutelia, seorang pemuda yang nyaris tidak memiliki pengalaman pertempuran, telah menemukan pertarungan terbesarnya: menerima dirinya apa adanya, dan di dalamnya, ia menemukan kedamaian yang sesungguhnya.
Senja pun turun, dan William, didampingi dua sosok yang ia percayai, kembali ke dunianya-dunia di mana pena lebih kuat daripada pedang, dan persahabatan adalah baju zirah yang paling kokoh.