Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Mengawasi Nala
Nala menuruni tangga sambil menatap telepon genggamnya. Ia baru menyadari dirinya sudah ditambahkan ke dalam grup KKN dan pagi ini akan diadakan rapat.
Nala bahkan belum tau siapa-siapa kelompok KKNnya, hanya tau jika dua di antaranya adalah idola kampus, itupun info dari Zanna. Satunya anak kedokteran dan satu lagi teknik informatika. Nala senang, karena ia yakin, teman-temannya bisa membawa dampak positif baik untuk mereka dan juga warga setempat.
Tepat di tanggal terakhir, Nala nyaris jatuh sebab kakinya tergelincir. Beruntung Gaza berada di depan Nala hingga bisa menahan agar istrinya tak jauh.
“Lain kali, turun tangga hpnya d simpan dulu.” Gaza memperingati.
Nala hanya mengangguk kemudian berlalu menuju meja makan untuk sarapan. Dirinya terkejut saat melihat di meja makan sudah ada nasi goreng dan telur mata sapi.
“Mas yang masak?” tanya Nala basa basi. Lalu siapa lagi yang masak kalau bukan suaminya? Hantu?
“Iya, makan dulu setelah itu kita ke kampus.” Gaza, menuangkan air putih untuk Nala.
“Terima kasih, Mas.”
Nala masih canggung, ia ingat semalam Gaza bersikeras tidur sekamar dengannya, walaupun berakhir tidur di sofa. Nala tak tahu apa yang ada di pikiran suaminya dan gebrakan apa yang akan pria itu lakukan lagi.
“Aku gak usah ikut ke kampus, mau ada rapat dengan anggota KKN. Janjiannya di luar kampus.” Nala menjelaskan di sela-sela makannya. Ia tak mau membuat Gaza menunggunya sehingga pekerjaan pria itu terganggu.
Gaza melirik, ia kembali menikmati nasi goreng saat melihat Nala yang berbicara tanpa menatap nya.
“Jam berapa? Di mana?” tanya Gaza.
“Di cafe Bumi Hijau, gak jauh dari kampus. Jam 9,” ucap Nala sembari menatap jam tangan hitam miliknya.
“Aku antar,’’ ujar Gaza tanpa pikir panjang.
Nala berhenti mengunyah. Suaminya kembali berulah, sejak kapan Gaza peduli dengan kegiatan Nala. Bahkan selama ini Gaza hanya membawanya ke kampus, bersikap mesra, pulang lalu kembali asing.
“Mas ‘kan harus ke kampus.” Nala menolak secara halus.
Gaza tersenyum, senyuman yang tak pernah Nala lihat sebelumnya.
“Bisa kok kalau cuman antar saja. Masih ada Surya yang bisa gantikan mengajar di kelas.”
Nala tak bisa membantah, ia hanya mengangguk. Melarang Gaza adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa Nala lakukan.
Nala sudah selesai sarapan, ia mempersiapkan tas yang akan ia bawah. Berhubung hari ini tidak ada kuliah, Nala hanya membawa buku catatan kecil.
“Sudah siap?” tanya Gaza saat keluar dari kamar tepat di sebelah kamar Nala.
“Sudah, Mas.”
“Ayo.”
Gaza menarik tangan Nala dalam genggamannya. Nala terkejut, sekilas ia melirik genggaman tangannya dan Gaza. Kemudian tatapannya beralih ke arah Gaza yang tersenyum ke arahnya.
“Kenapa?” tanya Gaza.
Nala hanya menggeleng, ia tak biasa. Ini terlalu aneh, terlalu asing tapi jantungnya berdegup kencang.
Mobil Gaza keluar dari komplek perumahan, siap memasuki padat jalanan perkotaan. Sesekali Gaza melirik ke arah Nala yang masih diam. Ia tersenyum, wajah bingung Nala jelas terbaca. Mungkin karena sikapnya, Gaza sadar. Ia sudah berkomitmen untuk memulai, jadi ia tidak akan membiarkan Nala merasa sendiri lagi.
Setengah jam terjebak macet, akhirnya mobil yang dikendarai Gaza berhenti tepat di cafe yang tadi Nala maksud.
Temanya sama seperti namanya, biru dan hijau menggambarkan bumi dan alam yang hijau.
“Mas kok turun?” tanya Nala saat melihat Gaza ikut turun dari mobil.
“Mau masuk,” jawab Gaza sembari menunjuk ke arah Cafe.
Nala menggigit bibirnya, Nala tak bisa mendiami Gaza di depan umum. Peran suami istri romantis harus ia lakoni lagi.
“Mas temani sebentar, lagian di kampus gak ada kerjaan.”
Gaza menarik tangan Nala yang masih mencari tau maksud dari sikap Gaza barusan.
Gak ada kerjaan? Surya bahan sibuk saat ini membagi waktu antara mengajar di kelasnya dan memberikan tugas di kelas Gaza.
Nala membuka pintu cafe, aroma kopi segera menyambutnya. Suasana cafe yang didominasi oleh kayu daur ulang menambah kesan estetik di tengah hiruk pikuk perkotaan.
Nala mengedarkan pandangannya, ia tak tahu teman-teman kelompoknya. Ada beberapa meja yang diisi oleh sekelompok mahasiswa, tapi Nala ragu menghampiri.
“Teman-teman kamu sudah datang?” tanya Gaza, pria itu masih menggandeng tangan Nala.
Nala menggeleng. “Gak tau, aku gak kenal wajah mereka,” jawab Nala masih sibuk mencari.
Mata Nala menyipit, ia seperti menghela siluet tubuh seseorang yang ada di bagian pojok cafe.
“Zanna,” gumam Nala.
Gaza yang mendengar Nala menyebut nama adiknya ikut mengikuti arah padangan Nala.
“Dia ngapain disini?” tanya Gaza. Ia tahu itu Zanna, walaupun hanya ujung rambutnya saja yang terlihat, Gaza akan langsung mengetahuinya.
“Nala!” teriak Zanna, membuat Nala tersenyum kaku.
Benar, ita Zanna. “Dia ngapain di sini?” tanya Nala kepada suaminya.
Gaza menggeleng, “temui saja. Aku tunggu di sini sambil ngopi. Kalau sudah selesai rapat, aku antar pulang atau kemanapun kamu mau.”
Nala menghela nafas pelan, berarti Gaza akan tetap disini sampai ia selesai rapat. Huft, itu adalah waktu yang panjang.
Langkah Nala perlahan berhenti tepat di belakang Zanna, tak jauh disana ia melihat seorang pria yang sibuk dengan laptopnya.
“Kenapa di sini?” tanya Nala akhirnya.
Zanna menepuk kursi di sampingnya. “Duduk dulu kakak iparku yang cantik. Sudah sehat?” tanya Zanna dengan suara centil yang ia buat-buat.
Nala menuruti, ia duduk di samping Zanna yang kini tersenyum lebar ke arahnya.
“Kamu belum jawab, kamu ngapain disini?” Nala mengulang pertanyaannya.
Zanna menunjuk pria yang duduk di hadapan mereka, pria itu bahkan tak terganggu sedikitpun.
“Rapat KKN dong!” Zanna menjawab sembari menyeruput kopinya.
“Kok bisa samaan?” tanya Nala lagi.
“Loh kita sekelompok. Dasar apatis, gak liat nama aku di daftar mahasiswa KKN.” Zanna sedikit kesal. Ia mendekat ke arah Nala, “Kamu kira, kamu aja yang bisa pindah kelompok, aku juga bisa. Gak perlu aku jelaskan caranya ‘kan?” bisik Zanna.
Nala menarik jarak, ia menatap Zanna tak percaya. Sahabat itu benar-benar nekat pindah kelompok.
“Aku mau jagain kamu, La.” Zanna melanjutkan ucapannya. Nadanya terdengar serius, tapi bagai Nala itu terlalu serius untuk seorang Zanna.
“Aku gak percaya,” ucap Nala jujur. Ia melirik pria yang kini ikut menatapnya.
“Mas…” gumam Nala menyapa pria itu.
“Bima Satya,” ucapnya pelan.
“Iya?” Nala bingung.
“Namaku Bima, bukan Mas.”
Nala mengangguk mengerti, ia melirik Zanna yang tersenyum manis ke arah Bima.
“Kita sekelompok?” tanaya Nala lagi, sebetulnya tak perlu ditanya. Zanna sudah memberikan jawaban tanpa bersuara.
“Yap, semoga kita bisa bekerjasama dengan baik,” ucap Bima sembari tersenyum, seketika matanya menyipit menambah kesan manis.
“Iya, semoga bisa bekerja sama.” Nala mengulang ucapan Bima, ia sibuk melihat Zanna yang seolah terpesona oleh Bima.
Nala tak lagi bicara, ia melirik Gaza yang terus menatap ke arahnya. Cukup lama hingga beberapa orang datang secara bersamaan seperti janjian. Seketika suasana menjadi ramai dan meja yang tadinya kosong kini penuh, bahkan harus manarik beberapa meja dan kursi lagi.
Zanna menghitung, “masih kurang satu, siapa?” tanya Zanna lagi.
“Tuhh…” Bima menunjuk ke arah pintu. “Pak dokter datang.”
Semua mata mengikuti arah telunjuk Bima. Susana seketika hening, Arka berjalan sembari merapikan rambutnya. Langkahnya tegas seperti seorang model. Kemeja putihnya terlihat mahal, aura dokternya terpancar kuat.
Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya saat berhasil menemukan meja temannya-temannya.
Gaza yang tadi terus menatap Nala, kini beralih pada pria yang kini menjadi pusat perhatian. Matanya terus menatap, mengikuti setiap langkah pria itu hingga menarik kursi yang ada di samping Nala.
Tanpa ragu, pria itu duduk di samping istrinya, bahkan orang pertama yang ia berikan senyuman lebar ada Nala.
“Sial*an,” bisik Gaza saat melihat Nala membalas senyuman pria itu.
“Hai.” Zanna melambaikan tangannya. “Kenalkan nama aku Zanna dan ini Nala,” lanjut Zanna sembari menjulurkan tangannya.
“Arka Yudistira, panggil saja Arka.” Arka menyambut uluran tangan Zanna. Setelahnya ia menjulurkan tangannya ke arah Nala.
“Nala,” ucap Nala singkat, kemudian menarik tangannya dari genggaman Arka.
“Baiklah, semua sudah lengkap. Kita mulai dari perkenalan saja dulu.” Zanna angkat bicara. “Perkenalkan, aku Zanna dari jurusan ilmu komunikasi.” Zanna berdiri semabi menyapa teman-teman yang lain.
Nala ikut berdiri. “Perkenalkan, aku Nala dari jurusan desain komunikasi visual.”
“Apa perlu aku kenalan juga?” tanya Arka pelan.
Semua orang menggeleng, siapa yang tak mengenal Arka, mahasiswa kedokteran dan cukup berprestasi.
“Jika Dokter Arka gak mau berkenalan, biar aku saja. Perkenalkan, aku Rio Adiwijaya, ekonomi Pembangunan.” Suaranya tegas dan terlihat sangat mengayomi.
“Aku Yoga Pratama, jurusan pertanian. Anak asli desa suka hati tempat kita KKN nanti. Jadi dari desa untuk desa,” ucap pria itu sembari tertawa.
“Perkenalkan, aku Dimas Anugrah jurusan ilmu komunikasi. Kita harus menjaga komunikasi supaya bisa tetap berkomunikasi.” Seketika semua orang tertawa mendengar ucapan Dimas.
“Gerry Putra, teknik elektro,” ucapnya singkat.
Seketika suasana hening, semua mata tertuju ke arah Gerry. Tipe pria yang tak kenal maka tak sayang, sudah kenal masih tetap tidak di sayang.
“Aku ikutin cara Gerri.” Bima berdiri. “Bima Satya, Jurusan…’’ ia menunjuk laptop di mejanya, kemudian duduk.
Semua orang seketika menangguk, seolah paham apa yang diberitahu Bima.
“Perkenalkan, saya Safira, pendidikan bahasa inggris.” Perempuan berhijab itu kemudian tersenyum ramah.
“Aku, Lina Permata. Teknik Lingkungan,” ucapanya kemudian tersenyum kaku.
Berbeda dengan Safira yang anggun, Lina terkesan energik dan praktis.
“Hai semuanya, perkenalkan Aku putri Lestari. Bisa dipanggil Putri. Jurusan Ilmu Sosial dan Politik.” Suaranya lembut dengan senyuman manisnya.
“Baik semuanya sudah kenalan,” ucap Zanna senang. “Setelah ini kita tentukan siapa yang jadi ketua dan lain-lainnya yah. Kita butuh yang bisa mengayomi.” Zanna melirik ke arah Arka dan Bima bergantian.
Arka yang dari tadi sibuk menatap Nala ketika terkejut, ia mengalihkan pandangannya.
“Jangan lihat aku, aku gak suka jadi ketua.” Arka menolak saat tau maksud tatapan Zanna.
“Aku galak!” Bima ikut menolak.
Nala yang tadi fokus ketika merinding, ia melirik Zanna yang masih sibuk menentukan siapa ketua. Nala menoleh ke samping, ia mendapati Gaza yang menatap ke arahnya. Tatapan tak suka dan penuh peringatan.
“Abaikan…” ucap Nala kemudian kembali menyimak.
Gaza yang melihat Nala mengabaikannya, seketika mengeraskan rahangnya. Bukan itu, tapi ia merasa tak suka pria yang duduk tepat di depan Nala dan satu lagi di samping Nala.
Gaza merasa harus melepas bola mata keduanya agar tidak memperhatikan Nala seperti itu.