"Cinta itu buta, itulah mengapa aku bisa jatuh cinta padamu." -Langit Senja Pratama-
"Tidak, kamu salah. Cinta itu tidak buta, kamu saja yang menutup mata." -Mutiara Anindhita.
.
Ketika cinta jatuh di waktu yang tidak tepat, lantas apa yang mesti kita perbuat?
Terkadang, sesuatu yang belum sempat kita genggam, justru menjadi yang paling sulit untuk dilepaskan.
Follow IG @itayulfiana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ita Yulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETIA — BAB 22
Tiara mengabaikan uluran tanganku, dan aku merasa sedikit kecewa. Tapi untungnya dia tak membalas, sebab itu berarti dia tidak perlu menyalami tanganku yang dingin dan berkeringat, tanda-tanda kegugupan yang aku coba sembunyikan.
"Kamu... sungguh pemilik akun @senja25?" Dia menatapku tak percaya, dan aku hanya bisa mengangguk, memasang senyum terbaikku, yang menurut pengakuan banyak wanita bahwa itu terlihat sangat manis dan mempesona, bisa membuat mereka tertarik dan jatuh cinta. Tapi aku tidak tahu apakah itu juga berlaku bagi Tiara. Semoga saja. Aku sangat mengharapkan itu terjadi, lalu dia segera menceraikan suaminya. Dengan catatan, aku tidak ingin menjadi selingkuhan, melainkan suaminya selanjutnya setelah dia resmi menjadi janda. Hahaha.
Kembali ke pokok pembahasan. Aku tidak heran jika dia menatapku seperti itu, karena aku yang telah dengan sengaja membiarkan dia salah paham selama ini, dan sekarang saatnya aku mengungkapkan identitas asliku.
Ketika kami sudah duduk berseberangan, aku menunggu Tiara mengenaliku. Namun, dia tidak ingat. Bahkan saat aku memperkenalkan nama lengkapku: Langit Senja Pratama, dan Jaja—satu-satunya orang yang memanggilku seperti itu, dia malah tidak ingat sama sekali.
Aku merasa sedikit kecewa, tapi aku tidak bisa menyalahkan Tiara. Waktu 20 tahun itu terlalu lama, dan aku telah berubah drastis sejak terakhir kami bertemu. Ditambah, mungkin kenangan masa lalu kami sama sekali tak berkesan baginya sebab dulu aku kerap kali berkata ketus saat kesal padanya.
"Jaja? Lucu sekali," katanya sembari tersenyum. "Sepertinya panggilan itu sebaiknya tidak digunakan oleh siapa pun, takutnya malah akan mengingatkanmu pada... mantan istrimu."
"Mantan istri? Hey, jangan bercanda. Aku ini masih bujangan ting-ting, alias belum pernah menikah," protesku. Jelas saja aku tak terima. Bagaimana bisa aku menikah, sementara aku masih memiliki perasaan yang kuat terhadapnya? Tak bisa kupungkiri, mantan kekasihku memang banyak, tapi tak ada satu pun yang bisa menggeser posisinya dari hati dan pikiranku. Dia terlalu istimewa bagiku.
"Oh, sorry. Aku tidak tahu," katanya, meringis dan salah tingkah. Aku tersenyum menatapnya. Dia masih saja terlihat lucu seperti dulu. "Tunggu dulu," Tiara seketika menyipitkan mata menatapku. "Jika kamu belum menikah, lalu bagaimana dengan—"
Aku memotong ucapannya dengan cepat. "Aku akan menceritakan kisah rumah tangga kedua orang tuaku. Lebih tepatnya dari sudut pandang seorang anak broken home."
Singkat cerita, sesi wawancaraku dengan Tiara berlangsung singkat, dan aku merasa seperti waktu 40 menit berlalu dengan sangat cepat. Aku tidak ingin pertemuan ini berakhir, tapi dia harus pergi karena ada urusan penting. Aku hanya bisa mengantarnya keluar, masih berharap ada kesempatan lain untuk bertemu lagi.
Tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Robby, teman dekatku yang menikah hari ini. Aku langsung menjawab, "Halo."
"Bro, lo itu groom macam apa? Kenapa jam segini belum nongol. Wah, gak bener nih," Robby mengomel, tapi aku justru tertawa.
"Sorry banget, Bro. Hari ini gue gak bisa datang cepat. Ada urusan penting banget soalnya."
"Wah, urusan apa gerangan yang lebih penting dari nikahan gue di hari minggu?" Robby bertanya, dan aku lebih memilih tertawa ketimbang menjawab dengan jujur.
"Ada lah pokoknya. Ini menyangkut masa depan juga soalnya."
"Ya udah, gue tunggu lo datang secepatnya. Bentar lagi sesi foto bareng."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah sekitar 30 menit, aku tiba di gedung tempat Robby dan istrinya melangsungkan pesta pernikahan mereka hari ini. Sebelum naik ke lantai 2, aku mampir ke toilet dulu untuk berganti pakaian dengan seragam groomsman.
Namun, saat keluar dari toilet, aku justru mendapati pemandangan yang cukup mengejutkan. Suasana sekitar depan toilet pria waktu itu cukup sepi, dan aku malah kembali memergoki Arkan dengan Anika. Berbeda dengan sebelumnya, jika biasanya aku melihat mereka bermesraan, kali ini mereka bertengkar dan berdebat.
"Aku hamil lagi, Mas. Hamil anak kamu yang ketiga kalinya. Masa kamu gak kunjung mau tanggung jawab sih?" Suara Anika terdengar parau, sepertinya dia sudah menangis lama. Dan fakta yang baru saja aku dengar itu cukup mengejutkanku. Si4lan juga si Arkan. Bisa-bisanya dia mengkhianati Tiara sampai sebegitunya, selingkuh sampai menghamili perempuan lain 3 kali.
Tiba-tiba aku terpikir merekam mereka berdua untuk aku jadikan sebagai bukti perselingkuhan yang nanti akan aku tunjukkan kepada Tiara. Aku meraba-raba saku celana dan jas yang kukenakan. Hais, si4l, ponselku tidak ada. Aku melupakannya di mobil bersama dompet akibat terburu-buru tadi. Sepertinya kali ini mereka masih beruntung.
"Makanya itu aku bilang, Nika, kamu gugurin dulu anak itu," kata Arkan, suaranya dingin dan tanpa empati.
"Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk kamu mempertahankan anak itu."
"Brengsek kamu, Mas! Egois!" Air mata Anika mengalir, dia menangis sambil memukul dada Arkan dengan keras, sampai-sampai aku bisa mendengar suara debumannya.
Arkan menahan pukulan itu dengan menangkap kedua lengan selingkuhannya, tapi Anika tidak berhenti. Dia terus memukul, terus menangis.
Tubuh Anika kemudian luruh ke lantai, diiringi tangisannya yang terdengar semakin pilu. "Bangun, Sayang. Jangan seperti itu, nanti ada yang lihat," kata Arkan, suaranya mulai panik.
Anika menolak bantuan Arkan, mendorong dada Arkan dengan keras. Arkan jatuh terduduk di lantai, dan Anika berdiri, matanya merah dan berlinang air mata.
"Biarin ada yang lihat! Aku gak peduli!" dia berteriak, suaranya mengguncang hati. "Biar semua orang tahu, biar semua keluarga kamu yang datang ke pesta ini tahu, dan biar istrimu juga tahu, bahwa kamu itu pria baj1ng4n. Aku gak peduli lagi, Mas. Aku cuma mau kamu tanggung jawab, nikahin aku secepatnya. Aku gak mau lagi bunuh anak kita, aku gak mau lagi bunuh darah dagingku sendiri. Huhuhu...."
Tangisan Anika semakin keras. Aku yang mendengarnya ingin merasa kasihan, tapi itulah karma yang seharusnya dia dapatkan karena nekat berselingkuh dengan pria beristri.
"DIAM KAMU, ANIKA!!!" Suara Arkan tiba-tiba menginterupsi, membuat Anika tersentak kaget dan menghentikan tangisannya. Diiringi dengan cengkeraman kasarnya pada pipi wanita tersebut.
"Kalau kamu nekat dan tidak mau menurut, jangan salahkan aku kalau aku membuangmu." Kali ini suara Arkan lebih pelan, tapi penuh dengan peringatan, membuat Anika terdiam selama beberapa saat, nampak ketakutan.
Anika menelan ludah, matanya melebar karena rasa takut. Arkan melepaskan cengkeramannya, tapi Anika masih tetap diam, seolah-olah takut untuk bergerak. Suasana menjadi tegang, hanya terdengar suara napas berat Arkan dan tangisan Anika yang mulai kembali mengalir.
"Maafkan aku, Anika." Arkan kemudian memegang bahu wanita itu, suaranya berubah menjadi lembut dan penuh penyesalan. "Aku... aku sebenarnya tidak berniat kasar padamu. Aku tadi hanya emosi. Ada baiknya kamu pulang dulu. Lain kali kita bicarakan masalah ini baik-baik."
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Anika berlari pergi sambil masih menangis. Tak lama kemudian Arkan juga pergi. Barulah aku keluar dari tempat persembunyianku.
Aku menggelengkan kepala sambil berdecih. "Drama yang menarik. Aku jadi penasaran kelanjutannya. Semoga saja Tiara cepat mengetahuinya."