"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Antara Cinta dan Bisnis
"Evan kenapa kamu tidak ke Sekolah?"Mama membuka pintu kamar dengan tergesa,nafasnya tertahan di tenggorokan menahan luapan emosi yang hampir meledak.
"Ini kan yang Mama mau?" Evan duduk di tepi ranjang,wajahnya murung.Dua tangannya saling menggenggam di antara paha,tubuhnya sedikit merosot dengan siku yang menompang tubuhnya dikedua pangkal kakinya.
"Evan,maksud Mama kamu boleh berteman dengan siapapun tapi jangan pernah berfikir untuk lebih dari itu.Arina itu..dia..."
"Dia miskin?" Datar nada bicara Evan,memotong kalimat Rina,Mamanya.
Mama mengatupkan bibirnya,seolah ingin menarik semua ucapannya,tapi rasa kesal dengan reaksi Evan yang tidak pernah mengerti dengan apa yang dia maksud membuatnya menahan geram.
"Setelah aku tahu Papa punya istri lagi dan aku punya seorang saudara di luar sana,melihat tangis Mama setiap malam lalu pura-pura baik-baik saja di pagi hari.Aku selalu insomnia...aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Kadang aku menangis sendiri tanpa sebab.Kadang sama sekali tidak merasakan sedih meski itu terdengar menyakitkan bagi sebagian orang.Aku malas bertemu orang-orang.Aku lebih suka sendirian,bahkan aku tidak punya minat lagi untuk bermain piano padahal itu adalah kesukaanku dulu" suara Evan sedikit serak
"Aku yang sekarang sudah sangat jauh berbeda.Pergi ke sekolah sekaligus tumbuh bersama Arkan yang aku di paksa untuk menerima kenyataan bahwa dia saudaraku,itu tidak mudah buat ku" Dia menunduk,menatap ubin kamarnya.Ada genangan kecil di sudut mata.
"Dari Arina,aku masih bisa bersyukur setidaknya aku tidak kekurangan uang seperti dia,semangat Arina belajar menular tanpa aku suruh.Aku bisa tertawa lagi,merasakan lagi kesedihan dan kesulitan teman-teman ku karna dia.Karna kemiskinan keluarganya,lalu...apa menurut Mama orang seperti Arina tidak boleh berteman lebih dengan ku?"Suaranya masih datar,tidak ada emosi hanya lebih ingin di dengarkan saja.Namun bagi Mama,kalimat demi kalimat seperti petir menyambar nyambar.
Mama mendongak. Air mata menetes tanpa ia sadari.
Wajah Evan kini benar-benar menatapnya,tatapannya seperti tatapan yang bukan menuntut, tapi sebagai seseorang yang ingin dimengerti.
“Jadi kalau Mama bilang aku nggak boleh dekat sama dia…”
suara Evan pecah perlahan
“Apa artinya orang seperti Arina nggak pantas buat disayang, cuma karena dia nggak sekaya kita?”
“Kalau gitu, Ma, dari dulu pun aku juga nggak pantas sayang sama Mama, karena Papa milih orang lain.”
Hening.
Kata-kata terakhir itu jatuh seperti pisau,tapi bukan untuk melukai...melainkan untuk membuka luka lama yang selama ini ditutup rapat.
Evan masih menatapnya, napasnya berat, mata memerah.Perlahan ia rebahkan tubuhnya di kasur,posisi miring membelakangi Mama yang menahan Isak.Ada butiran air mata yang jatuh ketika ia menutupkan mata.Tanpa suara,tanpa isak Evan menangis tanpa bisa di tahan.
***
Malam ini hujan lagi,suara gemuruh dan kilat di langit membuat bayangan didinding menari dalam cahaya putih sesaat.
Arina duduk di kasurnya yang tidak besar.Selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya.Tangan kanannya mengelus-elus pergelangan tangan kirinya yang sudah tidak menimbulkan nyeri.Tangannya benar-benar sudah sembuh.
Sorot mata Arina kosong,seperti orang yang kehilangan minat untuk apapun.Kata Ponsel terus menari-nari di kepalanya.Biasanya kalau sedang bosan seperti ini,hanya benda itu yang menemani.Ia menghela napas panjang,telapak tangannya mengelus lututnya perlahan."Beli ponsel baru,pasti sulit sekali.Kemarin kabel USB saja Arkan yang beli,kalau tidak entah kapan aku bisa punya.Sekarang malah Ponselnya yang benar-benar mati,Ya...Allah harus dengan cara apa aku biar bisa dapetin Ponsel baru"
Arina merebahkan tubuhnya,memejamkan mata tapi hati dan pikiran nya masih terus berbicara.
***
Pagi ini,meja makan sudah di hiasi hidangan roti dan susu.
Keluarga Evan sarapan bersama.
"Aku di antar sopir saja.Mama tidak perlu lagi mengantar ku"
Evan menghabiskan roti selai kacang di pringnya.Di seberang meja makan ada Mamanya yang sibuk mengoleskan roti dengan selai untuk Dirga, laki-laki tampan dan mapan,Papanya Evan.
Papa batuk kecil lalu meletakan cangkir kopinya di meja.
"Iya,kamu sudah besar...harus mandiri.Arkan juga terbiasa di antar jemput sopir"Kalimat itu meluncur begitu saja.Bagi Papanya,Evan memang harus menerima bahwa Arkan adalah saudaranya..dan itu suatu hal yang mudah.Tapi tidak dengan Evan.
Evan berdiri,derit kaki kursi bergeser menggema karna terdorong dengan kuat."Aku tidak sedang meniru Arkan".Suaranya dingin,datar...tidak ada tekanan.Matanya tidak menatap sedikit pun pada Papa maupun Mama. Evan berlalu begitu saja,menyisakan segelas susu yang sama sekali belum tersentuh
"Evan,susu mu belum di minum" Mama sedikit berteriak,tapi suaminya mengangkat tangan. Menghentikan Mama.
"Sudahlah,dia sudah besar.Jangan perlakukan dia seperti bayi"
Ucap Papa sambil menyeruput lagi kopi di depannya.
"Mas,tolong jangan bahas Arkan di depan Evan.Anak itu masih belum bisa menerima"
"Dia menerima atau tidak,tidak akan merubah kenyataan kalau mereka bersaudara"
"Mudah sekali buatmu Mas,tapi tidak untuk kami.Seandainya saja kamu tidak tergoda dengan wanita rendahan itu..."
"Jaga bicaramu Rina,dia juga istriku.Kamu tidak berhak berbicara buruk seperti itu tentangnya"
"Jadi sekarang kamu sudah sangat membelanya Mas?"
"Sudahlah,aku masih mau mengakui kamu sebagai istriku saja itu sudah bagus.Aku malas berdebat.Hentikan omong kosong ini"
"Mas,aku ini istri pertamamu.Dan dia yang merebut mu dari aku...bahkan sengaja mempengaruhi mu untuk terus membelanya"
"Kalau sikapmu seperti ini,aku semakin malas untuk menemui mu.Sudahlah...pernikahan kita juga hanya sebatas agar bisnis keluarga kita berkembang kan?,Kamu juga sudah mendapatkan yang kamu mau.Lalu apa lagi?"
"Tapi aku tidak suka kalau kamu membicarakan anak dari perempuan itu"
"Dia juga anakku,apa kamu lupa?"
"Aku tidak lupa,bahkan aku sangat jijik mengingatnya"
"Kenapa kau jijik? Kau bilang Almira merebut ku dari mu Rina?Apa kau lupa?,justru kamu yang merebut aku dari nya.Almira yang sudah dulu mengisi hatiku.Dan pernikahan kita hanya sebagai pernikahan bisnis.Kita sudah sama-sama menyetujuinya".
"Tapi Evan adalah anak kita berdua,setidaknya hargai perasaannya"
"Sudah aku bilang,anak itu mau tidak mau dia harus menerima bahwa Arkan adalah saudaranya,Sudahlah aku bosan bertengkar denganmu."
Papa pergi meninggalkan Mama begitu saja.
Di meja makan,Mama duduk mematung.Menatap punggung suaminya yang semakin menjauh,lalu hilang menyisakan suara deru mesin mobil yang lama kelamaan suara itu menghilang.
"Br*ngs*k!!!"
"Sudah sekian tahun pernikahan ini,aku masih belum bisa juga merebut hati Dirga dari Almira...dasar wanita j*lang itu,masih saja dia yang di cintainya"
Matanya nanar, penuh kilatan amarah,juga getir yang semakin menyiksa.