(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baby Serena bukan anak om Al?
Michelle membalas dengan sopan, "Halo, Bu Ketua." Wanita itu adalah pemilik sanggar lukis tempat Michelle belajar, dan tatapan penuh makna dari kedua wanita itu membuat hatinya bingung dan heran.
Alfred tiba-tiba memecahkan keheningan, suaranya agak tegas, “Sejak kapan kau mendarat kemari, Jolina?”
Jolina menatap Alfred sambil menyunggingkan senyum tipis, “Semalam. Yang lain mungkin sudah di kediamanmu.”
Alfred cuma mengangguk pelan tanpa bicara, sedangkan Michelle melirik mereka berdua dengan mata penuh tanya, mencoba mengurai hubungan misterius antara Jolina dan Alfred.
Jolina membalas tatapan Michelle dengan senyum yang membuat gadis itu membalas dengan senyum kaku, canggung. Tanpa ragu, Jolina berdiri lalu meraih lengan wanita di depan Michelle, menggenggamnya hangat.
“Kak Celline, sepertinya Dokter Grace kedatangan pasien. Lebih baik kita lanjutkan bicara lain kali,” bisik Jolina sambil menatap Alfred, nada suaranya mengandung sindiran halus. “Lagipula, di sini nggak seru, apalagi dengan bengkohan es yang menganggu.”
Alfred cuma mendengus kesal, menyembunyikan jengkel yang mulai mengembang. Dr. Grace di mejanya hanya tersenyum tipis, jelas tahu hubungan mereka berdua.
“Dr. Grace, kami pamit undur diri dulu, lain kali kita ketemu lagi, ya.” Jolina melambai santai, tapi tatapannya tetap waspada.
“Senang bertemu denganmu lagi, Jo,” sapa Dr. Grace hangat.
“Semoga kita ketemu lagi, gadis manis,” tambah sang ketua alias Celline dengan senyum tipis. Michelle hanya mengangguk pelan, tak berani berkata-kata.
“Sampai jumpa di rumah, Al,” ujar Jolina sambil melirik Alfred yang kembali mengangguk dingin, menyetujui kepergiannya tanpa berkata banyak.
Setelah mereka pergi, ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi. Alfred menyela lamunan Michelle dengan suara tegas, "Sejak kapan mau berdiri? Masuk sana sama dokter."
Michelle mengangkat alis, menatap dokter Grace yang sudah membuka sebuah pintu penuh, di dalamnya terdapat alat-alat medis berkilat.
"Mari, nona. Kau akan berobat secara rutin," kata dr. Grace dengan nada lembut tapi pasti.
"Hah!?" Michelle hanya mampu ternganga, matanya beralih ke Alfred yang tampak santai seperti tak ada beban.
"Dia... sudah tahu penyakitku?" pikir Michelle dalam hati, dadanya berdebar tak menentu.
**
Michelle dan Alfred melangkah cepat menuju mobil mereka. Di depan mobil, Vino sudah berdiri, sigap membuka pintu seolah tak ingin melewatkan satu detik pun untuk melayani tuannya.
Alfred mendadak berhenti, matanya menyipit saat menatap ke seberang jalan. Di sana, seorang pria berpakaian hitam lengkap dengan masker, berdiri diam mengawasi mereka dengan intens. Tangan Alfred terkepal erat, rahangnya mengeras menahan amarah yang mendidih.
“Masuk sekarang!” perintahnya dengan suara dingin.
Michelle hanya mengangguk, tanpa membantah saat dorongan ringan dari tangan besar Alfred mengarahkannya masuk ke kursi belakang mobil.
Setelah memastikan Michelle sudah duduk dengan aman, Alfred kembali menatap tajam ke arah pria misterius itu. “Mereka sudah mulai berani menampakkan diri di sini,” bisiknya pelan pada Vino, “Sudah bergerak.”
Alfred menekankan suara serak dengan tekad membara. “Suruh beberapa orang mengikutinya. Aku ingin tahu siapa yang kali ini berani mencari masalah denganku. Mungkin mereka sedang mengawasi siapa saja yang dekat denganku.”
“Laksanakan,” perintah tuannya dengan suara tegas. Vino sigap mundur satu langkah, memberikan ruang bagi Alfred mengambil alih kemudi.
Dengan gerakan cepat, Vino membuka pintu belakang. “Nona, silakan pindah ke depan,” ucapnya datar tanpa ekspresi.
Michelle hanya mengangguk pelan, melangkah keluar dan duduk di kursi depan di samping suaminya. Wajah Alfred yang biasanya tenang kini menahan amarah, membuat Michelle merasa bingung dan cemas.
Ia mematung di kursi, matanya berusaha fokus menatap pemandangan di pinggir jalan, berusaha mengalihkan pikiran dari ketegangan yang menggelayut di udara. Tangannya tanpa sadar mencengkeram sabuk pengaman, menggenggam erat seolah ingin menahan gejolak di dalam dada.
Sepanjang perjalanan, Alfred mengemudi dengan tenang dan profesional, sesuatu yang jarang Michelle lihat darinya, karena biasanya dia hanya menjadi penumpang.
Sesampainya di mansion, Alfred langsung keluar tanpa sepatah kata, diikuti Michelle yang merapikan tas di pelukan. Di ruang utama, para pelayan sudah berbaris rapi, menanti kedatangan tuan mereka.
Roslina mendekat dengan sopan, “Tuan, sahabat-sahabat Anda sudah berkumpul di ruang keluarga.”
Alfred hanya berdehem pelan, lalu mengangguk tanpa semangat sambil melangkah masuk ke dalam lift. Matanya menangkap sosok Michelle yang masih berdiri di lorong, tampak ragu-ragu.
“Kemarilah!” suara Alfred terdengar santai dari dalam lift.Seketika Michelle berlari kecil masuk, napasnya terengah, wajahnya merah karena gugup.
“Mereka ingin bertemu denganmu,” kata Alfred dengan nada datar, tanpa menoleh ke samping.
Michelle menatapnya, bingung. “Hah? A... aku?” katanya sambil menunjuk dirinya sendiri, suaranya bergetar.
Alfred mengerutkan dahi, matanya menyipit. “Apakah di dalam sini ada orang lain, hm?”
Michelle hanya menggeleng pelan, memalingkan wajah dan menunduk. “Tidak, hanya kita berdua...” ucapnya pelan, pipinya memerah tanda malu.
Begitu pintu lift terbuka, suara pria berat menyambut. “Akhirnya tuan muda pulang juga,” Bennet menyeringai sinis, matanya berbinar menyimpan ejekan.
Alfred mendengus, langkahnya tegas menuju kursi di samping Maxime dan Jolina yang sama-sama menyunggingkan senyum kecil. Michelle berdiri kaku, tangannya menggenggam erat tas di depan dada. Tatapan bingung dan heran terpancar dari wajah teman-teman Alfred, yang juga diam menatap Michelle.
“Sudahlah, akting kalian. Kalian menakutinya,” Alfred akhirnya angkat bicara dengan suara tegas tapi dingin. Padahal setiap hari dia sendiri yang selalu membuat istrinya menunduk takut kepadanya.
Michelle menghela napas panjang, merasakan lega yang perlahan mengalir. Ia dengan senyum malu-malu, menundukkan kepala ringan sambil memperkenalkan diri, "Halo, aku Michelle."
Tiba-tiba tawa keras Bennett meledak, bergema memenuhi ruangan. Michelle segera menggaruk belakang kepalanya, senyum canggung terpancar di wajahnya.
"Al, ternyata kau nikahi gadis lugu, hahaha!" goda Bennett, masih terpingkal-pingkal.
Alfred cuma menghela napas, matanya berputar malas, sudah tahu betul bagaimana sifat Bennett yang suka menggoda semua orang.
"Duduk sini," Alfred menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Michelle merasa diselamatkan oleh suaminya dan segera duduk di sampingnya. Jolina membuka pembicaraan dengan suara lembut, "Kamu sekolah kelas berapa, Michelle?"
"Kelas dua, tante," jawab Michelle polos.
Sekali lagi tawa Bennett meledak, hingga sudut matanya sampai berair. Michelle menatapnya dengan heran. "Heh, dia manggil kamu tante, Jo. Jangan-jangan kamu juga manggil kita om?" goda Bennett sambil tersenyum nakal.
"I..iya. Karena kalian teman Om Al, aku harus panggil om dan tante," jawab Michelle dengan polos yang mengundang senyum tipis Alfred.
"Lalu dimana keponakan kita, Al. Aku ingin tahu, apakah dia betah tinggal bersama paman Al-nya," Jolina berkata dengan nada ingin tahu, karena dari tadi dia tak melihat baby Serena.
"Keponakan? jadi... Baby Serena bukan anak om Al? memalukan sekali aku!" teriak Michelle dalam hati meringis.