Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Beberapa minggu setelah konferensi pers, kehidupan Anya dan Adrian mulai menemukan ritme baru. Gosip di media perlahan mereda, berganti dengan kabar tentang keberanian Anya yang berani berbicara di depan publik. Banyak yang menyebutnya “angin segar” dalam lingkaran sosial kalangan elit bukan sekadar istri cantik seorang pewaris konglomerat, tetapi sosok dengan pendirian kuat.
Namun, di balik pujian itu, gelombang tantangan justru semakin deras.
---
Suatu sore, Anya menerima sebuah undangan resmi. Sebuah forum internasional bertajuk Women in Leadership yang akan diadakan di Singapura. Panitia mengundangnya sebagai pembicara tamu, karena penampilan publiknya beberapa minggu lalu dinilai menginspirasi banyak orang.
Anya membaca undangan itu sambil gemetar. “Mas… mereka mengundangku untuk bicara di depan panggung internasional. Aku? Seorang pemilik kafe?”
Adrian yang baru pulang kerja, langsung mengambil undangan itu. Ia membaca, lalu tersenyum bangga. “Tentu saja mereka mengundangmu. Kau bukan lagi hanya pemilik kafe. Kau adalah Anya istri yang berani, yang sudah membuktikan dirinya. Kau layak berdiri di sana.”
“Tapi… aku takut. Bagaimana kalau aku tidak cukup pintar? Bagaimana kalau aku mengecewakanmu?” suara Anya bergetar.
Adrian menatapnya dalam-dalam. “Sayang, aku jatuh cinta padamu bukan karena kau sempurna. Aku jatuh cinta karena kau selalu berusaha. Jangan pernah ragukan dirimu. Aku percaya kau bisa, lebih dari siapa pun.”
Kata-kata itu menyalakan api kecil dalam hati Anya. Ia sadar, ini bukan sekadar undangan. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia bisa melampaui batas yang selama ini ia takutkan.
---
Beberapa hari berikutnya, Anya melatih diri dengan disiplin. Mommy Amara menyewa pelatih public speaking profesional. Setiap pagi, Anya berdiri di ruang tengah vila, berlatih mengatur intonasi, bahasa tubuh, dan kontak mata.
Andara yang ceria sering menjadi “penonton uji coba.”
“Baik, Kak Anya. Anggap aku wartawan gosip. Pertanyaan pertama: ‘Benarkah kau menikahi Adrian demi uang?’” ujar Andara sambil berpura-pura memegang mikrofon.
Anya tersenyum tenang, lalu menjawab, “Tidak. Aku menikah dengan Adrian karena aku mencintai dia bahkan sebelum aku tahu siapa dia. Harta bisa habis, jabatan bisa hilang, tapi cinta yang tulus tidak bisa digantikan.”
Andara langsung bertepuk tangan. “Wah, keren banget! Kalau aku jadi wartawan, langsung jatuh cinta sama jawabannya.”
Anya tertawa kecil, tapi dalam hatinya ia tahu perjalanan ini berat. Ia mengingat masa lalunya di kafe kecil, bagaimana ia sering gugup hanya menghadapi pelanggan baru. Kini, ia akan berbicara di hadapan ratusan orang penting dunia. Namun ketakutan itu bukan lagi alasan untuk mundur.
Menjelang keberangkatan ke Singapura, kabar tentang keikutsertaan Anya tersebar ke media. Banyak yang memuji, tapi tentu saja suara sumbang juga terdengar.
“Dia hanya pemilik kafe. Apa pantas bicara soal kepemimpinan?” tulis salah satu kolumnis.
“Jangan-jangan ini hanya strategi pencitraan Bramasta Group,” ujar yang lain.
Tante Ratna pun kembali muncul. Malam sebelum keberangkatan, ia datang ke vila.
“Anya, dengar aku baik-baik,” katanya dengan nada tajam. “Acara itu bukan untuk orang sepertimu. Kau akan mempermalukan keluarga ini jika salah bicara. Mundurlah selagi bisa.”
Anya menatapnya tenang, meski hatinya sempat bergetar. “Tante, saya menghargai kekhawatiran Anda. Tapi saya tidak akan mundur. Justru karena saya berasal dari dunia yang berbeda, saya punya suara yang unik. Jika saya diam, saya benar-benar mempermalukan diri saya sendiri.”
Tante Ratna terdiam. Tidak menyangka Anya akan menjawab setegas itu. Untuk pertama kalinya, wajah dingin itu terlihat kalah.
Adrian yang berdiri di belakang istrinya hanya menambahkan, “Tante, mulai sekarang berhenti meremehkan Anya. Dia tidak butuh restu untuk membuktikan dirinya.”
Tante Ratna pergi dengan wajah masam, tapi dalam hatinya mungkin mulai menyadari: Anya bukan lagi gadis rapuh yang mudah digertak.
--
Hari itu akhirnya tiba. Aula megah di Singapura dipenuhi para pemimpin wanita dari berbagai negara: politisi, CEO, akademisi, dan aktivis. Anya duduk di barisan pembicara, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading, rambutnya disanggul rapi.
Adrian duduk di kursi penonton, menatapnya penuh dukungan.
Ketika namanya dipanggil, Anya berdiri. Jantungnya berdetak kencang, tapi ia melangkah mantap ke podium.
“Selamat pagi. Nama saya Anya Bramasta” ia memulai, suaranya bergetar sesaat, tapi lalu stabil. “Saya bukan akademisi. Saya bukan politisi. Saya hanya seorang wanita sederhana yang pernah mengelola sebuah kafe kecil. Tapi dari kafe itu, saya belajar kepemimpinan sejati: melayani dengan hati, bekerja keras, dan tidak menyerah meski dipandang sebelah mata.”
Ruangan hening. Semua mata tertuju padanya.
Anya melanjutkan dengan lantang, “Ketika saya menikah dengan seorang pria dari keluarga besar, banyak yang meremehkan saya. Mereka bilang saya tidak pantas, saya terlalu sederhana. Tapi saya belajar satu hal: keberanian untuk berdiri tegak adalah kunci untuk menghadapi semua keraguan itu. Dan saya berdiri di sini bukan untuk membuktikan diri pada mereka, tapi untuk menunjukkan pada wanita di luar sana bahwa asal-usul kita tidak menentukan seberapa tinggi kita bisa terbang.”
Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Beberapa wanita bangkit berdiri. Adrian menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca.
Untuk pertama kalinya, dunia melihat Anya bukan hanya sebagai “istri CEO,” tapi sebagai sosok dengan suara yang kuat.
---
Namun, tidak semua orang senang dengan keberhasilan itu. Sekembalinya ke Jakarta, berita tentang Anya mendominasi media. Banyak yang memuji, tapi lawan bisnis Adrian menggunakan momentum itu untuk melancarkan serangan baru.
Sebuah artikel fitnah muncul, “Kafe Sweet Anya Diduga Terlibat Pencucian Uang Bramasta Group.”
Anya kaget membaca berita itu. Ia hampir menjatuhkan ponselnya. “Mas… mereka menuduh kafe kita alat pencucian uang! Padahal aku hanya menjual roti…”
Adrian marah besar. “Ini ulah pesaing yang ingin menjatuhkan kita. Tapi kali ini, aku tidak mau kau stres. Aku yang akan—”
Anya memotong tegas, “Tidak, Mas. Kali ini biarkan aku yang maju. Itu kafe peninggalan Ibu. Itu hidupku sebelum mengenalmu. Aku tidak akan biarkan siapa pun menodainya.”
Adrian terdiam. Melihat istrinya menatap dengan api di mata, ia tahu: Anya benar-benar sudah berubah.
---
Anya memutuskan menunjuk pengacara dan mengadakan konferensi pers khusus mengenai tuduhan itu.
Di hadapan wartawan, ia membuka dokumen pembukuan kafe. “Semua transaksi kami transparan. Tidak ada aliran dana mencurigakan. Kafe Sweet Anya bukan alat pencitraan, bukan pula alat kejahatan. Ini adalah usaha keluarga, usaha yang lahir dari air mata dan kerja keras. Jangan pernah merendahkan perjuangan kecil yang jujur.”
Wartawan terdiam. Seorang bahkan berbisik, “Wanita ini… lebih berani dari politisi sekalipun.”
Anya menutup dengan kalimat tegas, “Kalau kalian ingin menjatuhkan Bramasta Group, silakan hadapi suami saya di arena bisnis. Tapi jangan pernah seret nama kafe saya, karena itu kehormatan saya.”
Suara tepuk tangan bergemuruh, bahkan dari beberapa wartawan yang biasanya sinis.
---
Malam itu, Adrian menatap istrinya di teras vila. “Kau tahu, hari ini aku melihat sesuatu yang berbeda. Kau bukan hanya istriku. Kau partnerku. Kau pejuang yang berdiri di sisiku.”
Anya tersenyum, menatap bintang. “Aku tidak mau lagi bersembunyi, Mas. Aku tidak mau disebut ‘wanita di balik pria sukses.’ Aku ingin disebut wanita yang berdiri di samping pria sukses karena kita berjuang bersama.”
Adrian memeluknya erat. “Dan itulah alasan aku akan mencintaimu selamanya.”
---
Bulan demi bulan berlalu. Gosip yang dulu menyudutkan Anya kini berganti dengan cerita inspiratif. Ia mulai sering diundang sebagai pembicara, bukan hanya soal cinta dan pernikahan, tapi juga tentang kepemimpinan perempuan.
Kafe Sweet Anya semakin ramai, bukan karena label “istri CEO,” tapi karena reputasi jujur dan hangat yang ia jaga. Banyak anak muda datang, berkata, “Mbak Anya, kami ingin belajar dari semangatmu.”
Dan di rumah, Anya bukan lagi wanita yang takut kehilangan jati diri. Ia telah menemukan sayapnya sayap yang tidak hanya membuatnya mampu terbang, tapi juga melindungi orang-orang yang ia cintai.
Dunia luar masih keras, lawan masih banyak, tapi satu hal pasti: Anya tidak lagi berjalan di belakang. Ia berjalan di samping Adrian, bahkan kadang berdiri di depan, menangkis serangan dengan keberanian yang tumbuh dari luka, cinta, dan tekad.
---
Bersambung…
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔