Vira Sita, seorang gadis yatim piatu yang sederhana, dijodohkan dengan Vito Hartawan — pewaris kaya raya — sebagai amanat terakhir sang kakek. Tapi di balik pernikahan itu, tersimpan niat jahat: Vito hanya menginginkan warisan. Ia membenci Vira dan berpura-pura mencintainya. Saat Vira hamil, rencana keji dijalankan — pemerkosaan, pengkhianatan, hingga kematian. Tapi jiwa Vira tidak pergi selamanya. Ia bangkit dalam tubuh seorang gadis muda bernama Raisa, pewaris keluarga Molan yang kaya raya, setelah koma selama satu tahun. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Vira kini hidup kembali. Dengan wajah baru, kekuatan baru, dan keberanian yang tak tergoyahkan, ia bersumpah akan membalas dendam… satu per satu… tanpa ada yang tahu siapa dirinya sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Hari-hari setelah kedatangan Eléa berjalan seperti badai tanpa suara—sunyi, namun mengguncang dari dalam. Raisa tetap bekerja seperti biasa di studio AZZURA, tapi semua orang merasakan perubahan dalam dirinya. Ia lebih diam, lebih fokus, namun juga lebih dingin.
Reinald mencoba mendekat, tapi Raisa selalu menghindar. Bukan karena marah, tapi karena sedang menyusun ulang hatinya.
Di balik layar, Reinald dan tim hukumnya terus mengupayakan tuntutan plagiarisme. Namun, D’Amélie terlalu licin—dan terlalu kuat.
Sampai akhirnya, Eléa mengirimkan satu email rahasia kepada Raisa: sebuah rekaman rapat para desainer D’Amélie, di mana nama AZZURA dan Raisa disebut secara langsung.
“Ambil saja nuansa kain etniknya. Siapa yang akan tahu? Lagian brand kecil seperti AZZURA tidak punya pengaruh di panggung Eropa,” suara pria dalam rapat itu terdengar dengan jelas.
Raisa memejamkan mata. Tangannya bergetar.
Ia tak bisa lagi tinggal diam.
---
Di ruang konferensi salah satu hotel butik Paris, Raisa berdiri di podium kecil dengan latar belakang logo AZZURA.
Wartawan-wartawan mulai berdatangan. Kamera, mikrofon, sorotan. Tak ada Reinald di sisi Raisa, hanya dirinya—dan keberaniannya.
Raisa membuka pidatonya dengan tenang, lalu memutar rekaman suara dari D’Amélie. Gemuruh memenuhi ruangan. Banyak yang kaget, beberapa langsung menuliskan artikel dengan tergesa.
“Sebagai desainer, kami berhak atas orisinalitas kami. Dan sebagai perempuan Asia yang berkarya di industri ini, saya menolak dipandang sebelah mata,” ucap Raisa lantang. “AZZURA mungkin kecil, tapi kami tidak bisa dibungkam.”
Tepuk tangan pecah dari sebagian tamu. Bahkan beberapa jurnalis fashion independen berdiri.
Di barisan belakang, Eléa berdiri diam, menatap Raisa dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukan cemburu. Bukan bangga. Tapi… hormat.
---
Sore Hari di Taman Palais-Royal
Raisa duduk sendiri di bangku kayu. Masih mengenakan busana formal dari konferensi tadi, namun syal Reinald melingkar lembut di lehernya.
Reinald datang dari arah kanan, berjalan pelan lalu duduk di sampingnya.
“Kamu hebat tadi,” katanya pelan.
“Terima kasih,” balas Raisa singkat. Ia tidak menjauh, tapi juga belum membuka pagar hatinya.
Reinald menatap ke depan. “Aku tahu kamu masih ragu padaku.”
“Bukan ragu,” Raisa menggeleng. “Aku hanya belajar mencintai diriku dulu, sebelum menyerahkan lagi semuanya pada orang lain.”
Reinald tersenyum kecil. “Kalau kamu butuh waktu, aku akan ada di sini. Menunggu. Bahkan kalau kamu tak kembali pun… aku tetap akan bangga pernah jadi bagian dari cerita kamu.”
Mata Raisa berkaca. Tapi kali ini bukan karena sedih. Melainkan karena ia sadar, dirinya semakin kuat. Bukan karena siapa-siapa, tapi karena pilihannya sendiri.
---
Kembali ke Studio AZZURA
Hari-hari berikutnya, AZZURA kebanjiran sorotan positif. Artikel demi artikel mengangkat keberanian Raisa melawan ketidakadilan di industri mode. Bahkan beberapa rumah mode besar dari Italia dan Jepang menawarkan kolaborasi.
Tapi Raisa tidak terburu-buru.
Ia ingin memulai sesuatu yang lebih jujur—sebuah lini baru, bukan untuk Paris Fashion Week, tapi untuk tanah airnya. Ia ingin pulang.
“Aku ingin buka cabang di Jakarta. Bahkan mungkin lebih kecil, seperti studio komunitas, tempat desainer muda bisa belajar tanpa harus punya nama,” katanya pada Reinald.
Reinald tak menahan. Ia hanya tersenyum. “Dan kalau kamu butuh investor... kamu tahu siapa yang bisa kamu ketuk pintunya.”
Raisa tertawa kecil. “Aku punya keluarga Molan. Kami tidak pernah kekurangan investor.”
---
Di pesawat menuju Jakarta, Raisa duduk di tepi jendela. Di tangannya, secarik sketsa baru—koleksi yang ia beri nama “Ruang Pulang.”
Ia menatap awan, tersenyum.
Dunia mode masih penuh persaingan, intrik, dan ketidakadilan. Tapi sekarang, Raisa tahu: ia tak hanya menciptakan pakaian.
Ia menciptakan suara.
Dan suara itu kini miliknya sendiri.
“Kemenangan bukan tentang siapa yang lebih dulu dikenal. Tapi siapa yang tetap setia pada dirinya… ketika dunia memaksanya berubah.”
Bersambung
krain raisa bkln jdoh sm reinald,scra ky ccok gt....tp trnyta ga....mngkn kli ni bnrn jdohnya raisa,scra kluarganya udh tau spa dia....
spa tu????clon pawangnya raisa kah????
wlau bgaimna pun,dia pst lbh ska tnggal d negri sndri....dkt dgn kluarga,dn bs mmbntu orng lain....kl mslh jdoh mh,srahkn sm yg d ats aja y.....
Smbgtttt.....
Hufftt....
jadi, berjuanglah walaupun dunia tidak memihakmu, macam thor, klw ada yg ingin menjatuhkan mu maka perlihatkan dengan karya mu yg lebih baik, semangaaaat thor/Determined//Determined/
ttp smngt...😘😘😘
aku udh mmpir lg,smpe ngebut bcanya....he....he....
smngttt.....😘😘😘