Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
“Kau bukan pilihan, tapi pelarian.”
Kamar mereka diselimuti cahaya redup dari lampu minyak. Tirai sutra bergoyang pelan ditiup angin malam yang menyusup lewat celah jendela, membawa aroma bunga gardenia yang tumbuh di taman bawah.
Vanessa terbaring di atas ranjang, rambutnya berserakan di bantal putih pucat. Pipinya masih bersemu, napasnya belum sepenuhnya tenang. Gaun tidurnya sudah setengah melorot dari bahu, menampakkan kulit yang kini dihiasi bayangan bekas-bekas kecupan yang ditinggalkan Maxime—tanda kepemilikan, juga penyembuhan.
Maxime berada di atasnya, menyanggah tubuhnya dengan satu tangan di sisi ranjang, menatap wanita itu seolah ia adalah satu-satunya hal nyata di dunia ini. Jari-jarinya menyusuri tulang selangka Vivienne, turun perlahan ke perut bagian bawah, membuatnya menahan napas tanpa sadar.
“Aku ingin mengingat setiap inci dari dirimu,” bisiknya, napas hangatnya menyapu kulit Vivienne. “Bukan karena nafsu… tapi karena aku takut jika esok pagi kau kembali menjauh.”
Vanessa hanya bisa memejamkan mata saat Maxime mencium lehernya—perlahan, lalu dalam, seperti seseorang yang akhirnya menemukan tempat pulangnya. Tubuh mereka menyatu kembali, dalam tarikan dan desahan, dalam ritme yang memabukkan dan tenang, seperti aliran musik yang tak perlu lirik untuk dimengerti.
Kain-kain sutra yang melapisi ranjang berkerut di bawah mereka. Jemari saling mencari, menggenggam, melepas, lalu menggenggam lagi—seperti mencoba menulis ulang masa lalu mereka hanya lewat sentuhan. Tak ada kata-kata, hanya napas yang tersengal pelan dan suara tempat tidur yang sesekali berderit karena gerakan mereka yang lembut namun dalam.
Ketika keduanya mencapai akhir, bukan hanya tubuh mereka yang saling melepaskan, tapi juga hati mereka—yang seolah selama ini menahan luka dan keraguan.
Maxime tak langsung bangkit. Ia tetap dalam pelukan Vanessa, dadanya naik turun pelan di atas tubuh istrinya yang basah oleh keringat dan kecupan. Ia mengecup dahi Vivienne lembut, seperti janji yang tak diucapkan dengan kata-kata.
“Aku mencintaimu,” katanya akhirnya, lirih dan berat.
Vanessa tidak menjawab dengan suara. Tapi pelukannya yang semakin erat, dan caranya menenggelamkan wajah ke leher Maxime… sudah cukup sebagai jawaban.
Malam terus berjalan, dan untuk kesekian kalinya … mereka berdua tertidur dalam rasa saling memiliki yang sebenarnya.
——
Vanessa masih tertidur di antara lipatan selimut sutra yang membungkus tubuhnya dengan anggun. Helai rambutnya terurai lembut di atas bantal, wajahnya tampak lebih tenang daripada biasanya—seolah semalam semua beban yang tersimpan di balik matanya telah mencair dalam pelukan sang suami.
Maxime mengenakan jubah raja berwarna biru tua berbordir emas. Ia berdiri di sisi ranjang beberapa saat, hanya untuk menatap wanita itu… wanita yang dulu ia benci, lalu kini, menjadi satu-satunya yang ia pikirkan saat membuka mata.
Ia duduk pelan di pinggiran ranjang, tangan besarnya membelai rambut Vivienne dengan lembut. Ada senyum yang terukir tipis di wajahnya, tapi mata itu mengandung emosi yang dalam—semacam kekaguman, dan sedikit… rasa bersalah yang tak sempat ia ungkapkan semalam.
“Tidurlah yang nyenyak, istriku,” bisiknya pelan. Ia menunduk, mencium kening Vivienne dengan penuh kelembutan. Ciuman itu terasa seperti janji… bahwa meski ia akan meninggalkan ruangan ini, pikirannya tak akan pernah jauh dari wanita ini.
Maxime berdiri. Sebelum pergi, ia membuka pintu dan memerintahkan seorang pelayan yang berjaga:
“Siapkan sarapan untuk Permaisuri. Dan pastikan tidak ada yang mengganggu tidurnya,” ucapnya tegas, namun tak kehilangan kelembutan dalam nada suaranya.
Pelayan itu membungkuk hormat. “Baik, Yang Mulia.”
Tak lama setelah Maxime pergi, Sera—yang sejak pagi telah menunggu waktu yang tepat—memasuki kamar. Langkahnya ringan, dan begitu melihat majikannya masih tertidur dengan wajah tenang, ia hanya bisa menghela napas pelan… lalu tersenyum.
Senyum yang mengandung kebahagiaan, dan sedikit rasa lega.
Sera mendekat dengan tenang, merapikan selimut yang sedikit terjatuh dari bahu Vivienne. “Akhirnya… Anda bahagia juga,” gumamnya lirih, seolah berbicara pada sahabatnya yang sedang tertidur.
——
Vanessa perlahan membuka mata, membiarkan cahaya pagi menyusup lembut melalui tirai tipis. Senyum kecil mengembang di wajahnya saat ingatan semalam kembali—hangat, intens, dan penuh rasa yang tak bisa ia sangkal.
Sera sudah berdiri di dekat meja, tampak menunggunya dengan sabar.
“Air hangat sudah siap, Yang Mulia,” ucap Sera sambil tersenyum lebar. “Apakah Anda ingin membersihkan diri terlebih dahulu, atau saya bawakan sarapan ke tempat tidur?”
Vanessa mengerutkan alis, setengah mengantuk. “Kenapa wajahmu cerah sekali pagi ini? Kau sedang jatuh cinta, ya?”
Sera terkekeh kecil. “Saya jatuh cinta… setelah melihat betapa harmonisnya Anda dan Yang Mulia Kaisar.”
Tatapannya sekilas melirik ke arah ranjang, tepat ke arah Vanessa yang masih berselimut dan tak mengenakan apa-apa di baliknya.
Vanessa buru-buru berdeham, pipinya memanas. “Aku ingin mandi dulu. Setelah itu baru sarapan.”
“Baik, Yang Mulia,” sahut Sera ringan. “Kaisar sudah berangkat ke ruang kerjanya sejak pagi tadi.”
Vanessa mengangguk pelan. “Staminanya memang tak ada habisnya…”
——
Beberapa saat kemudian, setelah membersihkan diri dan menyantap sarapan ringan, Vanessa sudah duduk di ruang kerjanya. Rambutnya masih sedikit lembap, disanggul rapi, dan jubah kerja berwarna lembut membungkus tubuhnya.
Lucien telah lebih dulu ada di sana, berdiri dengan sikap sopan, siap membantu hari itu seperti biasa. Disusul dengan kedatangan Tabib Alana.
Cahaya matahari jatuh menembus jendela lengkung yang terbuka sebagian, menghangatkan permukaan kayu tua di meja kerja Vanessa. Suara alat timbangan logam berdenting ringan setiap kali Lucien menyesuaikan takaran bahan. Sementara itu, Tabib Alana tengah meneteskan rebusan biji hylan ke dalam campuran baru menggunakan pipet kaca sederhana.
“Aku sudah mengaduknya selama tiga putaran penuh searah jarum jam,” ujar Alana, mengamati perubahan warna ramuan yang kini tampak lebih lembut—ungu keperakan yang bergradasi seperti kabut senja.
“Baunya tak lagi terlalu tajam,” sahut Vanessa sambil mendekat, mengenakan sarung tangan kulit tipis.
Lucien mencatat dengan cepat. “Komposisi baru: 1 bagian akar purnama, setengah bagian daun leiryn tua, dan satu sendok teh hylan kering. Pengencer: air salvia, bukan alkohol.”
Vanessa menatap campuran itu sejenak, lalu mengangguk. “Kita uji sekarang. Tapi kali ini… kita uji kecepatan penyerapannya lewat luka terbuka.”
Alana dan Lucien saling berpandangan. Tak ada kata yang perlu diucapkan.
Vanessa mengambil sepotong jaringan sintetis—sejenis sel kulit hasil pengeringan herbal yang mereka gunakan sebagai pengganti kulit manusia. Ia menaruhnya di atas piring tembikar, lalu menuangkan setetes ramuan baru.
Dalam beberapa detik, ramuan meresap sempurna. Jaringan tampak melembap dan menegang, seperti sedang berusaha menumbuhkan kembali tekstur kulit.
“Regenerasi berjalan…” bisik Alana. “Tapi lebih lambat.”
“Lebih aman,” sahut Vanessa. “Itu yang kita butuhkan.”
Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.
Tok. Tok.
Lucien menghampiri dan membukanya. Seorang pelayan muda masuk, membungkuk hormat. “Maaf mengganggu, Yang Mulia. Ada kiriman baru dari perpustakaan kerajaan. Surat dan dua manuskrip dari Distrik Virelle.”
Vanessa mengambil surat itu dengan cepat. Matanya membelalak pelan saat membaca capnya: Segel merah tua keluarga Cendervale, sebuah nama kuno yang pernah ia baca—terkait tanaman yang dipercaya bisa memperlambat pembusukan jaringan tubuh.
Lucien mendekat. “Apa itu… relevan dengan eksperimen kita?”
Vanessa menatap botol di atas meja, lalu kembali ke surat itu. “Bisa jadi… ini kunci stabilisasi tahap akhir.”
Alana melirik jam pasir kecil di sudut ruangan. “Kalau begitu, kita lanjut sore nanti. Tapi saya akan mempersiapkan serum penetral untuk berjaga-jaga. Ramuan ini… terlalu dekat dengan ambang batas sihir penyatu darah.”
Vanessa mengangguk pelan. “Lakukan yang perlu, Tabib Alana. Kita akan melewati batas itu hanya jika benar-benar yakin.”
Dan siang itu, cahaya tidak hanya mengisi ruangan, tapi juga menyinari secercah harapan di tengah eksperimen berisiko tinggi.
Bagi Vanessa, ini bukan hanya tentang racikan herbal atau penelitian medis. Ini adalah tentang pembuktian—bahwa dirinya, meski bukan berasal dari dunia ini, mampu meninggalkan jejak yang berguna. Bahwa nama Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, yang selama ini diwarnai tuduhan dan kebencian, bisa berdiri sebagai nama yang dihormati oleh rakyat Aragon. Ia tak membutuhkan pujian, hanya bukti bahwa keberadaannya berarti.
——
Setelah beberapa jam bergelut dengan laporan kenegaraan dan eksperimen yang melelahkan, Vanessa memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri lorong istana. Ia butuh udara, butuh menjernihkan pikiran—meskipun itu hanya sebentar.
Langkahnya terhenti saat dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing melangkah dari arah berlawanan.
Selene.
Mereka bertemu di lorong panjang yang lengang. Tak ada orang lain di sana, hanya dua wanita dengan masa lalu yang saling berbelit. Mata mereka saling bertaut sejenak—pandangan datar yang menyimpan api dalam diam.
Begitu Vanessa hendak melewati Selene tanpa berkata apa pun, suara pelan tapi tajam menyusul dari belakangnya.
“Jangan harap Anda bisa menyaingi saya.”
Langkah Vanessa terhenti. Pelan, ia membalikkan badan. Selene pun berbalik, menatapnya dengan wajah tanpa tunduk, tanpa hormat, seakan perbedaan status mereka tidak berarti apa-apa.
Vanessa menatap wanita itu tenang. “Siapa yang menyaingimu?” ucapnya datar. Tak ada nada meninggi, tak ada nada gentar—hanya ketegasan seorang ratu yang tak perlu menjelaskan posisinya.
Selene terdiam, tapi wajahnya tetap menantang. Vanessa melanjutkan dengan langkah ringan ke arah wanita itu.
“Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak punya waktu—atau minat—untuk bersaing dengan pelayan.”
Kata-katanya tajam, namun disampaikan dengan kelembutan seorang ratu yang sudah terlalu kenyang dengan intrik. Ia tidak bicara dengan amarah, karena tidak perlu. Sebab statusnya sendiri sudah cukup berbicara.
Vanessa tahu betul—bahkan dalam novel yang ia baca dahulu, Maxime akan jatuh hati pada Selene. Tapi fakta berkata lain. Takdir berubah. Ia, yang seharusnya disingkirkan dan mati di ujung pedang, justru kini berada dalam dekapan pria yang semula membencinya.
Dan ia tak melakukan apa-apa untuk meraih itu—Maxime lah yang datang sendiri.
Selene mengejek dengan senyum tipis. “Saya memang pelayan, Yang Mulia,” ucapnya, suara itu seperti pisau yang dibungkus dengan kain sutra. “Tapi setidaknya… kaisar pernah tertarik pada saya. Ia melupakan sumpah suaminya demi seorang seperti saya.”
Vanessa tersenyum kecil. Tak ada kemarahan di matanya, hanya rasa kasihan yang samar.
“Begitukah?” Ia mengangkat alis ringan. “Kalau begitu… mengapa suamiku kini tergila-gila padaku? Apa itu artinya… dia mulai melupakanmu?”
Senyumnya makin tipis, namun sangat menusuk.
Dan untuk sesaat, Selene kehilangan kata.
“Aku mengerti,” ucap Vanessa pelan, tapi tiap katanya menghujam. “Kau merasa dirimu istimewa karena kaisar pernah memandangmu. Tapi kau tahu… itu hanyalah rasa kasihan bukan cinta. Dan hasrat bukan kesetiaan.”
Tatapan Vanessa menusuk lurus ke mata Selene, membuat wanita itu merasa tak bisa berpaling.
“Yang tak kau sadari adalah bahwa kedekatan kalian dulu lahir dari kebencian Kaisar padaku, bukan karena cintanya padamu. Kau bukan pilihan… tapi hanya pelarian.”
Selene menggertakkan gigi, namun bibirnya tetap terkunci. Tangannya mengepal di balik gaun, tapi ia tak mampu membantah.
“Dan jika aku adalah wanita yang benar-benar kau benci,” lanjut Vanessa sambil perlahan mendekat, suaranya nyaris seperti bisikan, “maka berhentilah bertingkah seperti seseorang yang iri… karena pria yang kau dambakan kini memilihku… setiap malam.”
Selene menahan napas. Matanya berkaca-kaca karena emosi yang terpendam, tapi wajahnya dipaksakan tetap tegar. Namun, dari gerakan bahunya yang menegang, dari caranya menelan ludah—terlihat jelas, ia tak bisa membalas.
Vanessa tersenyum tipis. Lalu satu langkah kecil ia ambil, melewati Selene seolah wanita itu hanyalah bayangan yang tak penting.
Sebelum benar-benar pergi, Vanessa menoleh sebentar ke arah belakang. “Oh, dan satu lagi…” ucapnya, tenang tapi dingin. “Jika kau ingin tetap tinggal di istana ini… kuharap kau belajar bagaimana bersikap pada seorang permaisuri. Karena lain kali… aku tidak akan sebaik ini.”
Tanpa menunggu jawaban, Vanessa melanjutkan langkahnya. Gaunnya bergoyang anggun seiring gerakan tubuhnya yang tenang namun penuh wibawa. Sementara itu, Selene hanya berdiri di tempat—terdiam, tertunduk, dan diliputi kemarahan yang tak bisa dilampiaskan.
Untuk pertama kalinya… ia benar-benar merasa kalah.
double up thor
ya udah cerai aja vanesa